DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh, Muhammad Iqbal Piyeung menilai persoalan kelangkaan LPG dan terganggunya pasokan energi kembali menghantam masyarakat Aceh.
Menurutnya, kondisi ini sudah sangat memprihatinkan, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Iqbal Piyeung mengatakan, kelangkaan LPG yang terjadi di berbagai daerah membuat banyak UMKM tidak bisa berproduksi sama sekali. Usaha kuliner, rumah tangga, hingga sektor jasa yang sangat bergantung pada gas elpiji kini berada di ambang bangkrut.
“LPG ini persoalan serius hari ini. Banyak UMKM tidak bisa produksi apa-apa karena LPG tidak ada di pasar. Mau memasak bagaimana? Ini bukan cuma soal usaha, tapi soal hidup rakyat,” kata Iqbal kepada wartawan Dialeksis.com, Sabtu, 13 Desember 2025.
Menurutnya, masalah kelangkaan LPG tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga rumah tangga. Gas elpiji yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar justru sulit diperoleh, sementara harga melonjak dan distribusi tak jelas.
Iqbal mempertanyakan peran dan keseriusan dinas teknis, khususnya Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina dalam mengawasi dan menangani distribusi LPG di lapangan.
Ia menilai, hingga saat ini belum terlihat langkah konkret yang benar-benar menyentuh akar persoalan.
“Seharusnya dinas terkait betul-betul serius menangani kelangkaan LPG ini. Turun ke lapangan, cek distribusinya, cek agen dan pangkalan. Jangan sampai rakyat merasa seperti tidak ada yang mengurus,” ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi di lapangan menunjukkan masyarakat benar-benar terjepit. Di saat listrik sering padam, BBM terbatas, dan LPG langka, rakyat Aceh seolah dipaksa bertahan dalam situasi krisis yang berlapis.
Ketua KADIN Aceh itu mengatakan bahwa BBM, LPG, dan listrik merupakan kebutuhan vital. Jika salah satunya terganggu, maka dampaknya akan langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama sektor ekonomi rakyat.
“Ini semua vital. BBM, LPG, listrik. Kalau ini terganggu, ekonomi lumpuh. UMKM berhenti, rakyat susah. Ini bukan persoalan sepele,” tegasnya.
Ia juga menilai, pemerintah daerah memiliki keterbatasan ruang gerak dalam situasi seperti ini. Karena itu, Iqbal menegaskan bahwa tanggung jawab utama berada di tangan pemerintah pusat.
Lebih jauh, Iqbal Piyeung kembali mendorong pemerintah pusat agar segera menetapkan Aceh sebagai daerah bencana nasional.
Menurutnya, kompleksitas persoalan yang dihadapi Aceh saat ini sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah jika hanya mengandalkan APBD.
“Kalau kita hanya berharap gubernur, tentu tidak bisa berbuat banyak. Ini tanggung jawab pusat. Kondisi Aceh hari ini adalah musibah. Seharusnya pemerintah pusat berani menetapkan ini sebagai bencana nasional,” katanya.
Ia mengaku heran mengapa hingga kini status tersebut belum ditetapkan, padahal dampak yang dirasakan masyarakat sangat luas, mulai dari kerusakan infrastruktur, lumpuhnya ekonomi, hingga krisis energi dan pangan di beberapa wilayah.
“Kalau pemerintah bilang sanggup, kenapa rakyat masih kesulitan? Kenapa ruang-ruang untuk membantu Aceh justru terasa tertutup? Ini yang membuat rakyat bertanya-tanya,” ujarnya.
KADIN Aceh mencatat, dalam beberapa pekan terakhir banyak pelaku UMKM terpaksa menghentikan aktivitas usahanya.
Tidak sedikit yang kehilangan pendapatan harian, bahkan terancam gulung tikar karena biaya operasional membengkak dan bahan baku energi tak tersedia.
Iqbal mengingatkan, jika situasi ini terus dibiarkan, maka dampaknya bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga stabilitas sosial.
“Kalau UMKM mati, maka pengangguran meningkat, daya beli turun, dan kemiskinan bertambah. Ini harus segera ditangani secara serius dan menyeluruh,” pungkasnya.