Selasa, 24 Juni 2025
Beranda / Ekonomi / Bank Aceh Syariah di Era Mualem: Tantangan Transformasi, Harapan Profesionalisme

Bank Aceh Syariah di Era Mualem: Tantangan Transformasi, Harapan Profesionalisme

Senin, 23 Juni 2025 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Dr. Amri, SE., M.Si, pengamat ekonomi dari Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Bank Aceh Syariah (BAS), lembaga keuangan yang selama ini digadang sebagai garda depan ekonomi syariah di Tanah Rencong, berada pada titik krusial. 

Di tengah berbagai persoalan struktural dan performa keuangan yang belum memuaskan, muncul harapan baru menyambut kepemimpinan Gubernur Aceh terpilih, Muzakir Manaf (Mualem)

Harapan itu bukan hanya soal stabilitas politik, tetapi menyangkut transformasi menyeluruh pada institusi keuangan milik daerah ini.

Dr. Amri, SE., M.Si, pengamat ekonomi dari Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menyatakan bahwa Bank Aceh Syariah harus segera melampaui sekadar fungsi administrasi keuangan daerah dan menjelma menjadi lembaga keuangan yang mampu bersaing setara dengan bank-bank nasional syariah.

“Bank Aceh saat ini masih dibatasi oleh cara berpikir birokratis dan terlalu dominan dikendalikan logika politik. Ini tidak bisa dibiarkan jika kita ingin BAS menjadi pondasi ekonomi Aceh ke depan,” ungkapnya, Sabtu (23/06/2025).

Dr. Amri memetakan berbagai tantangan utama yang selama ini melemahkan kinerja BAS, antara lain:

*Jaringan yang terbatas hanya sekitar 50 cabang, mayoritas di Aceh.

*Kinerja keuangan belum stabil, dengan ROA hanya 0,5% dan NPL sempat menyentuh >5%, jauh di atas batas aman regulasi.

*Ketergantungan besar pada dana APBA, di mana >60% dana pihak ketiga berasal dari Pemda Aceh.

*Aplikasi digital tertinggal, serta minim inovasi layanan dan produk keuangan.

*Kondisi tata kelola yang kerap terganggu oleh intervensi politik, termasuk pergantian direksi yang terlalu sering.

Menurutnya, kondisi ini mengindikasikan bahwa BAS belum sepenuhnya berfungsi sebagai institusi bisnis yang sehat, melainkan masih berperilaku sebagai perpanjangan tangan kebijakan daerah--terutama dalam hal pengelolaan kas dan penyaluran anggaran, bukan sebagai motor penggerak ekonomi riil.

Kriteria Dirut: Profesional, Progresif, dan Bebas Intervensi

Menanggapi isu strategis mengenai seleksi Direktur Utama BAS, Dr. Amri menegaskan bahwa hanya figur yang memiliki kapasitas teknis, integritas, dan independensi yang layak memimpin transformasi BAS ke depan.

“Kita tidak butuh Dirut yang datang karena konsensus politik. Kita butuh figur yang bisa bekerja di bawah tekanan profesional, bukan tekanan politik,” tegasnya.

Dirut ideal menurutnya adalah mereka yang:

*Berpengalaman dalam industri keuangan syariah nasional.

*Mampu membangun strategi digitalisasi layanan dan efisiensi biaya.

*Paham regulasi OJK dan mampu menjaga compliance serta good governance.

*Mampu mendiversifikasi sumber pendanaan dan memperluas portofolio pembiayaan produktif.

Netralitas OJK dan Sanksi Jika Seleksi Cacat

Ia juga mengingatkan bahwa proses seleksi Direksi harus diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

OJK memiliki kewenangan penuh untuk membatalkan calon yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam POJK 27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan.

Jika dalam prosesnya ditemukan rekam jejak negatif, benturan kepentingan, atau manipulasi data, maka OJK wajib bertindak tegas. 

Sanksinya bisa berupa penolakan pengangkatan, pembekuan kewenangan pemegang saham pengendali, hingga pembatasan aktivitas usaha bank.

“OJK harus berdiri netral. Ini momentum untuk membuktikan bahwa tata kelola sektor keuangan daerah juga bisa steril dari praktik transaksional,” tambah Dr. Amri.

Peluang Terbuka Lebar Pasca Hengkangnya Bank Nasional

Menariknya, di balik semua tantangan tersebut, Bank Aceh sesungguhnya memiliki momentum emas yang belum dimanfaatkan secara maksimal. 

Dalam lima tahun terakhir, sejumlah bank besar seperti PT Bank Mandiri, PT Bank BNI, PT Bank BRI, hingga PT BNI Syariah dan BRI Syariah telah menutup sebagian besar cabangnya di Aceh, sebagai konsekuensi dari penerapan Qanun LKS (Lembaga Keuangan Syariah).

Ini seharusnya menjadi panggung terbuka bagi BAS untuk mengisi kekosongan pasar, merebut hati masyarakat, serta memperluas pengaruh di sektor UMKM, korporasi lokal, dan diaspora.

“Jangan sampai kekosongan itu justru diisi oleh lembaga keuangan dari luar yang lebih adaptif secara digital. BAS harus bangkit sebagai pemain dominan, bukan hanya sekadar pengelola dana APBA,” kata Dr. Amri.

Bank Aceh Syariah adalah entitas simbolis dan strategis. Namun agar bisa menjadi pondasi ekonomi Aceh yang sesungguhnya, bank ini membutuhkan figur pemimpin yang membawa perubahan, bukan kompromi.

Kepemimpinan Mualem sebagai Gubernur Aceh diharapkan menjadi momen pembebasan BAS dari dominasi politik jangka pendek, menuju bank daerah yang profesional, mandiri, dan berorientasi pada penguatan ekonomi rakyat.

“Transformasi BAS bukan pilihan, tapi keniscayaan. Jika tidak berubah sekarang, kita akan kehilangan momentum besar dalam sejarah perbankan Aceh,” pungkas Dr. Amri, SE., M.Si., yang juga pemegang sertifikat Planning and Budgeting baik pada level nasional maupun internasional dari Graduate Research Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang, serta mantan Sekretaris Program Magister Manajemen (MM) Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.[]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
dpra