DIALEKSIS.COM | Surabaya - Senyum ramah dan jabat tangan hangat Umar Patek (alias Hisyam bin Ali Zein) menyambut puluhan tamu yang hadir di Hedon Estate Surabaya, Selasa (3/6) malam. Mantan narapidana kasus terorisme (napiter) yang pernah menjadi buronan internasional itu terlihat percaya diri, berbincang, dan berfoto bersama para undangan dalam acara peluncuran resmi produk kopi racikannya, 'Kopi Ramu'.
Acara berlangsung di restoran bergaya industrial mewah itu. Para tamu yang telah bersalaman dengan Patek mencicipi kopi sambil duduk di kursi dan sofa yang berjejer, bersiap menyaksikan grand launching. Kehadiran tokoh-tokoh seperti mantan Kepala Densus 88 Antiteror Polri Komjen Marthinus Hukom (kini Kepala BNN) dan pengusaha drg. David Andreasmito yang disebut sebagai mentor bisnis Patek menambah kesan istimewa malam itu.
Saat gilirannya naik panggung, Patek muncul dengan kemeja polo putih, celana hitam, dilengkapi apron barista dan sepatu sport yang necis. Penampilannya dari lantai dua menuju panggung disambut tepuk tangan meriah. Di atas panggung, Patek membagikan kisah perjalanan hidupnya pascabebas bersyarat dari Lapas Porong Sidoarjo pada Desember 2022.
"Sejak bebas 7 Desember 2022, saya luntang-lantung mencari kerja kesana kemari. Tidak ada yang mau menerima saya selaku mantan napiter," ungkap Patek, mengawali cerita.
Stigma sebagai teroris pelaku Bom Bali 2002 (yang menewaskan lebih dari 202 orang) dan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, masih melekat kuat.
Patek pernah menjadi buronan paling dicari di Asia Tenggara dengan harga kepala US$1 juta, sebelum akhirnya ditangkap di Pakistan tahun 2011 dan divonis 20 tahun penjara. Ia dibebaskan setelah sekitar 10 tahun menjalani hukuman, berkat remisi, perilaku baik, ikrar setia NKRI, dan partisipasi dalam program deradikalisasi.
Jalan hidupnya berubah awal Januari 2023 ketika drg. David Andreasmito berinisiatif mencarinya. "Dokter David mencari saya. Hingga akhirnya kami dipertemukan di Hedon Estate ini," kenang Patek.
Saat ditanya keahliannya, Patek mengaku tidak punya. David kemudian mengunjungi rumah Patek di Porong, Sidoarjo. Di sanalah Patek menyuguhkan kopi rempah racikan ibunya. David tertarik dan menawarkan untuk mengembangkannya menjadi produk komersial.
"Sampai akhirnya, beliau datang ke rumah saya... dan menyuruh saya buatkan kopi seperti ini. Dokter David menawarkan, 'kita jual kopi kamu ini ke kafe saya'," ujar Patek menirukan David.
Meski sempat ragu dan menolak berkali-kali karena takut mencoreng nama David, dorongan sang mentor dan keinginan untuk mengubah hidup akhirnya menguatkan tekadnya. Empat varian 'Kopi Ramu' resmi diluncurkan; Kopi Rempah, Kopi Signature, Kopi Tubruk, dan Kopi Ijen.
"Dulu saya meramu bom, sekarang saya meramu kopi," tegas Patek dengan penuh keyakinan. Nama 'Ramu' sendiri, jika dibaca terbalik, menjadi 'Umar'.
Selain bisnis kopi, Patek menemukan kedamaian baru dalam fotografi makro—teknik memotret objek kecil dari jarak sangat dekat. Ketertarikannya bermula saat menyaksikan tayangan CNN Indonesia tentang seni berburu foto serangga di penjara. Selepas bebas, ia mulai serius mempelajarinya, bahkan bergabung dengan komunitas.
"Saya memotret malam hari di hutan Baturraden, selama satu minggu saya menginap di rumah sahabat saya yang beragama Nasrani," cerita Patek. Ia mengaku pengalaman ini membuka matanya.
"Saya sudah tidak melihat batas agama, ras, suku... semua kita anak bangsa Indonesia." Ia memamerkan beberapa hasil jepretannya yang menangkap detail indah katak, kupu-kupu, dan serangga.
Komjen Marthinus Hukom, yang dulu memburunya, mengaku terkesan dengan transformasi Patek. "Umar Patek ini... kepalanya dibanderol Rp10 miliar, dia orang termahal di republik saat itu," kenang Marthinus. "Hari ini kita melihat seorang Umar Patek yang baik... berjuang untuk menegakkan kemanusiaan, cinta kasih." Ia memberi penghargaan pada David yang membantu dengan dasar cinta sesama manusia.
David Andreasmito membenarkan awalnya sempat takut melihat sorot mata Patek. Namun, kesungguhan Patek yang menolak pemberian uang dan hanya meminta pekerjaan meyakinkannya. "Dia bisa jadi orang baik... Dia lebih dulu mencintai saya, dia tahu saya orang Kristen... dia dekat karena bisa bercanda dan banyak ketawa," pungkas David.
Kehadiran Chusnul Chotimah, penyintas Bom Bali 2002 dengan luka bakar 70%, memberi dimensi mendalam. Di depan Patek, dengan suara bergetar ia berkata, "Alhamdulillah, Bapak sekarang masih sehat... Kami sebenarnya sulit memaafkan." Chusnul bercerita tentang penderitaan panjangnya, puluhan operasi, dan ketergantungan pada bantuan. Berkat pendampingan BNPT dan LPSK, ia akhirnya mampu memaafkan.
"Saya... memaafkan perbuatan Bapak. Dan saya berharap jika Bapak berhasil, tolong intip sedikit kehidupan kami, bantu kami, bantu anak-anak kami, bukan dalam uang, tapi pekerjaan," harap Chusnul, menutup kesaksiannya yang sarat emosi, menegaskan bahwa perjalanan menuju pemulihan dan rekonsiliasi terus berlanjut. [cnnindonesia]