DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masuknya 250 ton beras ilegal ke Sabang yang ditemukan di gudang milik PT Multazam Sabang Group (MSG) memantik respons kritis dari Teuku Jailani, Direktur Eksekutif sekaligus Wakil Ketua Umum Bidang Vokasi dan Sertifikasi Kadin Aceh. Ia menilai kasus ini berpotensi menciptakan preseden negatif bagi iklim investasi dan implementasi regulasi di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang.
Jailani menegaskan bahwa dinamika pemberitaan yang berkembang belakangan ini justru menunjukkan adanya implementasi aturan yang terkesan reaktif dan tiba-tiba. Pola penegakan seperti ini, menurutnya, sangat bertentangan dengan upaya daerah yang selama ini gencar mempromosikan fasilitas dan kemudahan investasi di kawasan KPBPB.
“Isu masuknya beras ilegal ini dapat terbaca oleh publik sebagai tindakan yang impulsif dan reaksioner. Situasi seperti ini sangat tidak mendukung perjuangan daerah untuk keluar dari perangkap perlambatan pertumbuhan ekonomi,” ujar Jailani kepada Dialeksis.com, Senin 24 November 2025.
Ia menjelaskan bahwa keberadaan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sebagai representasi lembaga pusat di daerah seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan setiap aturan teknis dijalankan secara clear and clean. Artinya, seluruh aktivitas pelabuhan dan perdagangan di kawasan KPBPB harus mengikuti mekanisme tata kelola yang jelas, terukur, dan berlandaskan pada regulasi yang berlaku.
“Bila isu impor ilegal terlanjur berkembang menjadi berita viral, maka ini menjadi tantangan besar bagi kita di daerah untuk memberikan klarifikasi yang benar-benar terang dan tuntas. Hal ini bukan sekadar masalah operasional, tetapi juga menyentuh aspek paling fundamental: kepastian hukum,” tegasnya.
Menurut Jailani, pembangunan ekonomi daerah memiliki keterkaitan erat dengan keberlangsungan usaha sektor riil. Para pelaku usaha membutuhkan kepastian regulasi agar dapat menjalankan aktivitas perdagangan dan distribusi tanpa dihantui ketidakjelasan prosedur. Ketika muncul isu pelanggaran impor yang tidak dikelola dengan baik informasinya, hal tersebut berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap integritas kawasan KPBPB Sabang.
“Kepastian hukum adalah fondasi utama iklim investasi. Karena itu, setiap pelabuhan memiliki fungsi clearance untuk memastikan prosedur keluar-masuk barang dilakukan secara akuntabel dan terstandar. Jika fungsi itu bekerja optimal, maka potensi kesalahpahaman publik juga bisa dihindari,” imbuhnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa narasi soal “beras ilegal” harus dipilah antara persoalan administratif, kesalahan prosedur, atau benar-benar tindak pelanggaran hukum. Tanpa pemetaan yang jelas, istilah “ilegal” dapat menjadi bumerang yang merugikan citra Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas.
“Kita harus berhati-hati dalam membangun persepsi publik. Kesalahan dalam framing isu bisa merusak reputasi kawasan yang selama ini kita bangun sebagai pusat investasi yang kompetitif,” ujarnya.
Jailani mendorong BPKS, pemerintah daerah, dan instansi penegak hukum untuk memberikan penjelasan resmi dan komprehensif mengenai temuan tersebut agar tidak menimbulkan spekulasi lanjutan. Ia menilai koordinasi lintas lembaga menjadi kunci agar Sabang tetap dipandang sebagai kawasan yang menjunjung kepastian hukum dan kepatuhan pada regulasi perdagangan internasional.
“Ini bukan sekadar problem satu perusahaan atau satu lembaga. Ini menyangkut bagaimana wajah Sabang dipersepsikan sebagai kawasan ekonomi strategis di Indonesia. Klarifikasi yang tegas, sistematis, dan terukur sangat diperlukan,” tutupnya.