Minggu, 19 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / Ketua PWI Aceh Tanggapi Tantangan dan Peluang Media Online

Ketua PWI Aceh Tanggapi Tantangan dan Peluang Media Online

Minggu, 19 Oktober 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin. Foto : Dok PWI Aceh.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Nasir Nurdin, menyatakan melalui Dialeksis bahwa perusahaan media online di Aceh tengah dihadapkan pada berbagai tantangan berat sekaligus peluang perkembangan yang signifikan di era digital. 

Ia mengungkapkan bahwa sekitar 45 media di Aceh (siber dan cetak) telah terverifikasi administrasi dan faktual oleh Dewan Pers hingga pertengahan 2024, yang mencerminkan peningkatan profesionalisme pers daerah tersebut. 

Di sisi lain, banyak media lokal yang belum terverifikasi menghadapi kendala untuk berkembang, terutama di tengah penurunan pendapatan iklan serta persaingan ketat dengan platform media sosial global. 

Nasir Nurdin menegaskan perlunya langkah-langkah adaptasi dari pelaku media siber Aceh agar mampu bertahan dan tetap menyajikan jurnalisme berkualitas di tengah arus digitalisasi yang deras.

Nasir mengakui disrupsi digital telah membawa dampak serius bagi bisnis media massa di Aceh, sejalan dengan tren nasional. 

Belanja iklan perusahaan untuk media konvensional menurun, sementara dominasi platform global (seperti media sosial) menekan pendapatan media online lokal. 

Kondisi ini diperparah oleh pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu yang sempat membuat banyak perusahaan pers kesulitan, termasuk menggaji karyawan akibat anjloknya pemasukan iklan. 

“Industri media massa dituntut menyesuaikan diri dengan pasar era digital,” begitu pendapat Aldin Nainggolan, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh, dalam sebuah diskusi di Banda Aceh, seraya mendorong inovasi model bisnis dan dukungan permodalan bagi media lokal. 

Pendapat Aldin diamini Nasir Nurdin yang melihat transformasi digital sebagai keniscayaan: media online Aceh harus berinovasi, termasuk memanfaatkan data pembaca dan mengembangkan model berlangganan, untuk memastikan keberlanjutan usaha di masa depan.

Tantangan lain adalah soal kredibilitas dan profesionalisme. Nasir Nurdin menyoroti masih adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan profesi kewartawanan demi keuntungan pribadi. 

Baru-baru ini, PWI Aceh mengecam keras tindakan seorang oknum yang mengaku wartawan dan melakukan pemerasan terhadap sejumlah kepala sekolah di Aceh Utara dengan dalih dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

“Proses pendidikan tidak boleh diganggu oleh siapapun... Apalagi, jika ada yang mengancam dengan motif dana BOS dan memeras kepala sekolah,” tegas Nasir Nurdin kepada Dialeksis, seraya mendukung langkah hukum agar pelaku mendapat efek jera.

Kasus tersebut mencuatkan fakta bahwa pelaku bukan wartawan terdaftar di organisasi pers manapun, sehingga dicap sebagai wartawan gadungan. Fenomena media abal-abal dan wartawan tanpa kompetensi ini turut mencederai citra pers lokal. 

Bahkan, sebuah investigasi nasional mengungkap sindikat wartawan gadungan beranggotakan ratusan orang yang beroperasi lintas provinsi diduga jaringannya juga merambah Aceh. 

“Situasi ini menjadi alarm bagi industri media di Aceh untuk terus meningkatkan standar etik dan kompetensi,” tandas Nasir.

Dari sisi regulasi dan kemitraan, tantangan muncul bagi media yang belum memenuhi standar. 

Beberapa pemerintah daerah di Aceh mulai menerapkan kebijakan tegas terkait kerjasama informasi. 

Di Kabupaten Bireuen, misalnya, hanya media massa berbadan hukum dan terverifikasi Dewan Pers yang diizinkan menjalin kontrak publikasi dengan pihak pemerintah setempat. 

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Bireuen Nomor 46 Tahun 2022 dan diberlakukan tanpa pengecualian. 

Akibatnya, perusahaan media online yang belum terverifikasi menghadapi keterbatasan dalam memperoleh iklan atau kerja sama resmi dengan pemerintah. 

Meskipun kebijakan ini dimaksudkan untuk memastikan penggunaan anggaran publik pada media yang akuntabel, ia sekaligus menjadi pemicu bagi para pengelola media untuk segera melengkapi persyaratan verifikasi dan meningkatkan kualitas pengelolaan perusahaannya.

Di balik tantangan tersebut, terdapat perkembangan positif dan peluang bagi media online di Aceh. 

Nasir Nurdin mengungkapkan bahwa pertumbuhan media siber di Aceh cukup subur, dengan estimasi total lebih dari 100 portal berita lokal yang aktif. Semakin banyak di antaranya yang berhasil memenuhi standar Dewan Pers. 

“Hingga 25 Juli 2024, sudah 45 media di Aceh yang terverifikasi Dewan Pers. Katakanlah jumlah media di Aceh ada 100, berarti sudah hampir 50 persen terverifikasi,” ujar Nasir Nurdin menegaskan kepada Dialeksis. 

Capaian ini menunjukkan tren profesionalisasi yang menggembirakan hampir separuh media Aceh kini diakui secara administrasi dan faktual oleh Dewan Pers, sehingga lebih dipercaya oleh publik maupun mitra kerja. 

PWI Aceh sendiri aktif mendorong peningkatan kapasitas insan pers melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan pelatihan. 

Hingga akhir 2024, jumlah wartawan Aceh yang dinyatakan kompeten mencapai 367 orang (dengan berbagai jenjang kualifikasi) setelah mengikuti UKW yang digelar Dewan Pers bersama PWI. 

Ketersediaan SDM pers yang teruji kompetensinya ini menjadi modal berharga bagi perkembangan media digital lokal ke depan.

Selain itu, era digital juga membuka peluang bagi media Aceh memperluas jangkauan audiens. 

Tingginya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia mencapai 221 juta pengguna (79,5% populasi) pada awal 2024 menandakan pasar pembaca daring yang kian besar. 

Media lokal Aceh dapat memanfaatkan tren ini dengan menyajikan konten-konten khas Aceh yang mampu menjangkau pembaca, bukan hanya di daerah tetapi juga diaspora Aceh dan masyarakat luas di tingkat nasional bahkan global. 

Dukungan berbagai pihak pun mulai terasa. Pemerintah daerah dan lembaga terkait menyadari pentingnya pers dalam pembangunan. 

Baru-baru ini, Sekretaris Daerah Aceh, Muhammad Nasir, S.IP., MPA, menegaskan bahwa dukungan media sangat dibutuhkan untuk menyebarluaskan capaian pembangunan dan kebijakan pemerintah kepada masyarakat, seraya mendorong kemitraan strategis dengan insan pers lokal.

Kalangan dunia usaha seperti perbankan daerah juga menunjukkan itikad membantu. 

Bank Aceh Syariah, misalnya, membuka peluang skema pembiayaan lunak bagi perusahaan media berstatus Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Aceh, asalkan memiliki rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan. 

Kolaborasi lintas sektor seperti ini memberikan harapan bahwa media lokal dapat memperoleh akses permodalan untuk berkembang tanpa mengorbankan independensi editorial.

Nasir Nurdin menyimpulkan bahwa kondisi media online di Aceh ibarat dua sisi mata uang: satu sisi penuh tantangan berat, namun di sisi lain tersedia peluang untuk bangkit dan berbenah. 

Adaptasi teknologi, peningkatan kompetensi, serta menjaga integritas jurnalistik menjadi kunci agar media siber Aceh dapat terus eksis dan berdaya saing.

“Dengan hampir separuh media lokal telah terverifikasi Dewan Pers dan dukungan berbagai pihak, pers Aceh berada pada jalur yang tepat menuju ekosistem media yang lebih sehat, profesional, dan berkelanjutan,” harapnya. 

Nasir optimistis, dengan komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan pers, media online di Aceh dapat tumbuh semakin kuat sebagai pilar informasi dan kontrol sosial yang kredibel di tengah dinamika era digital.[]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI