DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua Komisi Informasi Aceh (KIA), Sabri mengatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh merupakan badan publik yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Karena itu, lembaga tersebut memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan dan memberikan akses informasi kepada masyarakat secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Pernyataan ini menanggapi kasus yang melibatkan redaksi KBA.ONE, yang mengaku ditolak saat meminta data kepada OJK Aceh terkait jumlah UMKM, usaha pertanian, peternakan, dan perikanan yang mengalami kredit macet dan telah dibebaskan piutangnya di Aceh.
Permintaan informasi tersebut dimaksudkan untuk memverifikasi implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan kredit macet (white-off), sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Sabri, setiap badan publik, termasuk OJK, harus memahami bahwa hak dan kewajiban keterbukaan informasi melekat pada institusi mereka.
"Setiap badan publik wajib menyediakan informasi yang dikuasai kepada masyarakat dan dapat diakses dengan cepat, mudah, dan murah,” ujarnya saat dimintai tanggapan oleh media dialeksis.com, di Banda Aceh, Jumat (17/10/2025).
Ia menambahkan, bila informasi yang dimohonkan tidak tersedia atau tidak dikuasai oleh badan publik, maka Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) wajib segera memberikan penjelasan tertulis kepada pemohon informasi.
“Termasuk jika informasi tersebut masuk kategori dikecualikan, harus tetap dijelaskan dasar pengecualiannya. Ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pemohon,” jelasnya.
Ia menilai apa yang dialami KBA.ONE menjadi pembelajaran penting bagi seluruh badan publik di Aceh untuk memperbaiki pelayanan informasi.
"Apalagi permintaan informasi tersebut menyangkut kepentingan pemberitaan yang berdampak langsung pada publik. Sudah seharusnya lembaga publik bersikap proaktif dan transparan,” katanya.
Meski begitu, ia mengaku menghormati langkah OJK Aceh yang tengah berkoordinasi dengan OJK Pusat terkait penyediaan data yang diminta. Namun, ia berharap proses tersebut tidak menghambat hak publik untuk memperoleh informasi.
“Kita memahami bahwa dalam struktur kelembagaan, ada koordinasi internal antara kantor daerah dan pusat. Tapi itu tidak boleh menjadi alasan untuk menunda atau menolak permintaan informasi publik yang sebenarnya terbuka,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa selama informasi yang diminta tidak termasuk kategori rahasia atau dikecualikan, maka OJK Aceh wajib memberikan respon cepat dan proporsional.
“Transparansi menjadi bagian dari akuntabilitas publik, dan ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan, apabila KBA.ONE merasa keberatan karena permintaan informasinya tidak direspons dalam batas waktu yang diatur undang-undang, maka dapat menempuh jalur penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Aceh.
“Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 sudah jelas mengatur, ketika keberatan atas layanan informasi tidak direspon dengan baik oleh atasan PPID, pemohon berhak mengajukan permohonan sengketa informasi ke Komisi Informasi,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui mediasi dan ajudikasi non-litigasi dengan batas waktu maksimal 100 hari sejak permohonan diregistrasi di KIA, sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2013.
Ia menambahkan bahwa mekanisme ini bertujuan memberikan ruang penyelesaian yang adil, cepat, dan tanpa biaya besar bagi masyarakat yang hak informasinya terhambat.
"Kami siap memfasilitasi proses tersebut bila pemohon mengajukan permohonan secara resmi,” tutupnya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh berpotensi menghadapi gugatan sengketa informasi setelah menolak memberikan data yang diminta redaksi KBA.ONE terkait jumlah UMKM, usaha pertanian, peternakan, dan perikanan 7 Aceh yang mengalami kredit macet dan telah dibebaskan piutangnya.
Data tersebut diperlukan untuk memverifikasi apakah pelaku usaha di Aceh telah menerima manfaat dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan kredit macet (write- off).
PP ini merupakan perintah dari Presiden Rl, Prabowo Subianto, kepada perbankan nasional(BUMN) untuk menghapus kredit macet bagi pelaku usaha yang terdampak pandemi Covid-19, bencana alam, konflik, atau peristiwa lain yang menghambat usaha mereka. [nh]