Kamis, 23 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / Mampukah Aceh Lepas dari Bayang Medan? Ini Pandangan Ekonom USK

Mampukah Aceh Lepas dari Bayang Medan? Ini Pandangan Ekonom USK

Kamis, 23 Oktober 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ahli ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ. Foto: doc pribadi/Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh “ Ketergantungan Aceh terhadap Medan, terutama dalam pasokan barang komoditi dan produk penting, masih menjadi persoalan klasik yang belum menemukan jalan keluar. Kondisi ini mencerminkan belum optimalnya kemampuan daerah dalam mengelola potensi ekonomi secara mandiri.

Ahli ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ, menilai bahwa ketergantungan tersebut bukan sekadar masalah distribusi barang, tetapi juga berakar dari struktur ekonomi Aceh yang belum terintegrasi secara kuat.

“Ketergantungan Aceh terhadap Medan sudah berlangsung lama. Ini terjadi karena Aceh belum memiliki sistem produksi dan distribusi yang efisien serta tidak didukung dengan infrastruktur logistik yang memadai,” ujar Rustam kepada Dialeksis.com saat diminta pendapatnya, Kamis (23/10/2025).

Menurutnya, sebagian besar kebutuhan pokok masyarakat Aceh mulai dari bahan pangan, material industri, hingga barang konsumsi rumah tangga masih dipasok dari Sumatera Utara. Situasi ini membuat harga barang di Aceh relatif lebih tinggi, sebab biaya distribusi menjadi beban tambahan yang harus ditanggung konsumen.

Rustam menjelaskan, kondisi ini terjadi karena rantai pasok ekonomi Aceh tidak berkembang secara utuh. Sektor produksi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan aktivitas perdagangan lebih bersifat konsumtif ketimbang produktif.

“Kita punya potensi besar di sektor pertanian, perikanan, dan energi. Namun potensi itu belum dikembangkan secara terintegrasi. Akibatnya, Aceh menjadi pasar, bukan produsen. Padahal, jika sistemnya dibenahi, Aceh bisa mandiri bahkan mengekspor ke daerah lain,” tegasnya.

Rustam memaparkan, setidaknya ada tiga faktor utama yang membuat Aceh sulit keluar dari ketergantungan pada Medan. Pertama, lemahnya struktur industri daerah. Kedua, kurangnya integrasi antara sektor produksi dan distribusi. Ketiga, infrastruktur transportasi yang belum efisien, terutama di pelabuhan dan jalur darat.

“Selama ini, pelaku usaha lebih memilih mengambil barang dari Medan karena pasokan di sana terjamin, harganya kompetitif, dan rantai distribusinya lebih cepat. Artinya, sistem ekonomi Aceh masih kalah efisien dibandingkan Medan,” jelas Rustam.

Ia mencontohkan, pelabuhan di Aceh seperti Malahayati, Calang, dan Lhokseumawe belum beroperasi optimal untuk menopang perdagangan antardaerah. Di sisi lain, biaya logistik dari Banda Aceh ke Medan justru lebih murah dibandingkan dari Banda Aceh ke daerah tengah atau selatan Aceh sendiri.

“Ini paradoks. Dalam satu provinsi saja, biaya logistik bisa lebih tinggi daripada ke luar provinsi. Ini harus segera dibenahi bila Aceh ingin mandiri secara ekonomi,” tambahnya.

Meski tantangan besar di depan mata, Rustam menilai Aceh masih memiliki peluang besar untuk keluar dari ketergantungan tersebut. Syaratnya, pemerintah daerah harus serius memperkuat sektor produksi lokal dan mengembangkan industri hilir.

“Aceh harus berani mengambil langkah strategis dengan mengembangkan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal. Misalnya, komoditas kopi, perikanan, kelapa sawit, dan hasil hutan non-kayu harus diolah di sini, bukan dikirim mentah ke luar daerah,” katanya.

Selain itu, Rustam menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha. Tanpa sinergi tersebut, kebijakan ekonomi daerah hanya akan berhenti di tataran wacana.

“Peran universitas sangat penting untuk riset dan inovasi produk. Dunia usaha bisa menjadi motor implementasi, sementara pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang sehat dan mendukung industrialisasi,” tambahnya.

Rustam juga menilai, untuk keluar dari bayang Medan, Aceh perlu memiliki kebijakan ekonomi regional yang jelas, berorientasi pada penguatan basis produksi dan distribusi lokal.

Ia mencontohkan model pembangunan ekonomi di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur yang berhasil memperkuat ketahanan ekonomi daerah dengan mengembangkan klaster industri berbasis komoditas unggulan.

“Aceh harus belajar dari daerah lain. Jangan hanya mengandalkan dana transfer pusat atau hasil migas. Harus ada keberanian untuk membangun ekosistem ekonomi yang berpihak pada produksi dalam negeri,” ujarnya.

Rustam menambahkan, Aceh sebetulnya memiliki posisi geografis yang strategis berbatasan langsung dengan jalur pelayaran internasional Selat Malaka. Namun posisi strategis itu belum diterjemahkan menjadi kekuatan ekonomi yang nyata.

“Kalau pelabuhan-pelabuhan di Aceh bisa diaktifkan sebagai simpul perdagangan internasional, maka arus barang tidak harus lewat Medan lagi. Tapi untuk itu, perlu keberanian politik dan kebijakan ekonomi yang terarah,” ucapnya menegaskan.

Di akhir wawancara, Rustam menekankan bahwa membangun kemandirian ekonomi Aceh bukanlah pekerjaan instan. Diperlukan visi jangka menengah-panjang, strategi yang tepat, kebijakan yang konsisten, dan keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan daerah.

“Kalau Aceh ingin mandiri, harus dimulai dengan menggeser struktur ekonomi Aceh. Dominasi sektor primer (pertanian dan pertambangan) harus diimbangi dengan sektor sekunder, terutama dengan mengembangkan hilirisasi. Sektor primer tetap diperkuat dengan meningkatkan produktivitas produksi lokal. Sertai dengan memperbaiki logistik, sampai menghidupkan pelabuhan dan kawasan industri. Hanya dengan strategi ini Aceh dapat meminimalkan ketergantungannya pada Medan (Sumut). Ini bukan mimpi. Butuh keberanian untuk mengeksekusi. Sikap ini diyakini terdapat pada Gubernur Mualem,” tutup Rustam yang juga anggota Dewan Ekonomi Aceh.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI