DIALEKSIS.COM | Nasional - Tren global menunjukkan perubahan arah investasi negara-negara maju dalam beberapa tahun terakhir. Jika sebelumnya modal besar banyak mengalir ke sektor teknologi digital, energi, dan manufaktur, kini sejumlah negara justru meningkatkan porsi investasi mereka pada sektor pertanian dan peternakan. Pergeseran orientasi ini dinilai sebagai sinyal penting terkait ketahanan pangan global dan perubahan strategi ekonomi dunia.
Menanggapi fenomena tersebut, Dr. T. Saiful Bahri, SP., MP., Dosen Agribisnis Universitas Syiah Kuala sekaligus Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Aceh, menilai bahwa langkah negara maju tidak dapat dipandang sebagai kebetulan. Ia menyebutkan bahwa transformasi investasi ini merupakan respon strategis terhadap dinamika risiko global yang kian kompleks.
“Ada tiga alasan utama mengapa negara maju mulai mengalihkan investasinya ke sektor pertanian dan peternakan. Pertama, sektor pangan kini dipandang sebagai sektor yang paling stabil dan memiliki daya tahan tinggi terhadap krisis global, baik krisis ekonomi, krisis energi, maupun bencana alam. Mereka ingin memastikan ketersediaan pangan bagi penduduknya tanpa terlalu bergantung pada negara lain,” jelas Saiful Bahri kepada Dialeksis, Sabtu 22 November 2025.
Ia menambahkan bahwa pandemi Covid-19 menjadi titik balik penting. Ketika rantai pasok global terganggu, banyak negara maju menyadari bahwa ketahanan pangan tidak bisa hanya mengandalkan impor. Kebutuhan akan kemandirian pangan semakin mendesak, sehingga investasi diarahkan kembali ke sektor hulu.
“Alasan kedua adalah perkembangan teknologi pertanian yang semakin maju. Negara-negara tersebut melihat peluang besar dari integrasi teknologi digital, bioteknologi, dan kecerdasan buatan dalam pertanian modern. Dengan teknologi, produktivitas bisa meningkat, biaya ditekan, dan kualitas hasil pangan lebih terjamin. Ini membuat sektor pertanian kembali menarik secara ekonomi,” katanya.
Menurutnya, alasan ketiga berkaitan dengan isu perubahan iklim. Negara-negara maju kini mengembangkan investasi pertanian dan peternakan yang berkelanjutan untuk menjawab tantangan pemanasan global. Model pertanian rendah emisi, peternakan ramah lingkungan, serta pemanfaatan energi terbarukan dalam sistem produksi pangan kini menjadi standar baru.
“Investasi mereka juga diarahkan pada inovasi pertanian hijau, seperti vertical farming, green livestock system, dan pengembangan pangan alternatif yang minim karbon. Ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga untuk memimpin pasar global pangan masa depan,” ujar Saiful.
Dalam konteks geopolitik, Saiful Bahri menilai bahwa negara maju juga mulai memproyeksikan pertanian sebagai instrumen kekuatan ekonomi baru. Dengan menguasai teknologi, pasokan, dan nilai tambah sektor pangan, negara maju ingin memperkuat pengaruh mereka dalam tatanan ekonomi internasional.
“Pertanian dan peternakan kini dianggap sebagai sektor strategis secara ekonomi dan politis. Negara yang mampu menguasai produksi pangan secara efisien akan memiliki posisi tawar kuat di masa depan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Saiful Bahri menekankan bahwa tren global ini harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia, khususnya Aceh. Ia mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh terlambat dalam memperkuat sektor pangan sebagai pilar ekonomi jangka panjang.
“Ketika negara maju saja kembali serius menanamkan modal di pertanian, itu artinya sektor pangan memiliki nilai strategis yang tidak terbantahkan. Aceh dan Indonesia harus melihat momentum ini dengan memperkuat inovasi, infrastruktur, dan kelembagaan pertanian agar tidak tertinggal,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah merespons tren ini dengan kebijakan yang lebih progresif, termasuk penguatan riset pertanian, pengembangan agribisnis modern, dan regulasi yang mendukung investasi di sektor pangan.
“Jika Indonesia mampu membaca arah ini, maka sektor pertanian dan peternakan bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru yang berkelanjutan, sekaligus benteng ketahanan pangan nasional,” tutup Saiful Bahri.