DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengusaha sekaligus Ketua Harian Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (Ikafensy), Zubir Husen, menilai bahwa arah pembangunan ekonomi Aceh ke depan perlu lebih serius memanfaatkan potensi sumber daya alam yang dimiliki daerah, khususnya di sektor pertanian, perikanan, dan pertambangan.
Menurutnya, tiga sektor ini menjadi kunci untuk memulihkan kemakmuran rakyat Aceh sekaligus memperkuat fondasi ekonomi lokal.
Sebagai pengusaha lokal yang lama bergelut dalam dunia bisnis dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, Zubir mengingatkan bahwa potensi yang dimiliki Aceh bukanlah hal baru, melainkan warisan panjang dari nenek moyang yang telah dikenal sejak masa kolonial.
“Kalau kita lihat sejarah, Belanda dulu datang ke Aceh bukan tanpa alasan. Mereka tertarik karena sektor pertaniannya yang sangat kaya. Waktu itu, produk-produk seperti lada, kapur barus, dan kemenyan Aceh memiliki nilai jual yang sangat tinggi di pasar Eropa,” ujarnya dalam wawancara bersama media dialeksis.com, Sabtu (18/10/2025).
Zubir menjelaskan, saat ini potensi tersebut mulai terlupakan karena kurangnya perhatian dan inovasi di tingkat daerah. Padahal, jika pemerintah serius mengembangkan kembali komoditas pertanian unggulan, maka sektor ini bisa menjadi tumpuan ekonomi masyarakat pedesaan.
“Nilai jual komoditas kita sebenarnya luar biasa besar. Pemerintah daerah bersama para pelaku usaha harus kembali menghidupkan potensi tanaman pertanian lokal ini. Kalau sektor pertanian kita perkuat, rakyat Aceh akan makmur lagi,” tegasnya.
Selain pertanian, Zubir juga menyoroti potensi besar sektor perikanan di Aceh yang hingga kini belum tergarap maksimal. Dengan garis pantai yang panjang dan wilayah laut yang luas, Aceh memiliki peluang untuk menjadi sentra perikanan tangkap dan budidaya berteknologi tinggi di kawasan barat Indonesia.
“Rata-rata masyarakat kita tinggal di wilayah pesisir. Potensi laut kita luar biasa besar. Tapi permasalahannya, nelayan kita masih kekurangan teknologi. Kalau alat tangkap kita modernisasi misalnya kapal bisa langsung mengawetkan ikan di laut nilai ekonomi hasil tangkapan akan jauh meningkat,” katanya.
Ia menilai bahwa peningkatan teknologi nelayan menjadi kunci agar hasil laut Aceh tidak hanya dijual mentah, tetapi bisa diolah dan dipasarkan dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
Lebih jauh, Zubir juga menyinggung sektor pertambangan sebagai salah satu potensi besar yang belum tergarap optimal. Ia mengingatkan bahwa banyak daerah di Aceh memiliki cadangan emas dan mineral lainnya dalam jumlah besar, namun belum dikelola dengan baik untuk kepentingan masyarakat daerah.
“Tambang di Aceh ini sangat luar biasa. Banyak alat berat beroperasi, tapi kita jarang tahu berapa sebenarnya hasilnya untuk masyarakat. Saya harap pemerintah betul-betul memperhatikan ini, jangan sampai potensi besar ini hanya dinikmati segelintir pihak,” ungkapnya.
Zubir juga menyoroti sejumlah industri lama di Aceh yang kini sudah tidak lagi beroperasi, seperti pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) di Lhokseumawe dan PT ASEAN di wilayah kepulauan Aceh. Menurutnya, keberadaan industri semacam itu dulu menjadi tumpuan ekonomi lokal, namun kini tinggal kenangan.
“Di kampung saya, Dewantara, ada pabrik KKA. Sekarang nasibnya kita pun tidak tahu lagi bagaimana. Dulu kita juga punya PT ASEAN di pulau-pulau, tapi semuanya sudah disuntik mati. Ini harus jadi perhatian pemerintah,” ucapnya.
Ia berharap pemerintah Aceh saat ini, termasuk para pemimpin muda seperti Gubernur dan kepala daerah kabupaten/kota, benar-benar memberi perhatian serius terhadap pengembangan ekonomi berbasis sumber daya lokal.
“Kalau tiga sektor utama ini pertanian, perikanan, dan tambang digarap dengan serius, saya yakin rakyat Aceh akan makmur kembali. Kita punya semua modal alamnya, tinggal kemauan dan keberpihakan kebijakan saja,” tutup Zubir. [nh]