Senin, 18 Agustus 2025
Beranda / Ekonomi / Potensi Tambang Aceh Luar Biasa, Tapi Butuh Kebijakan Tepat dan Infrastruktur Memadai

Potensi Tambang Aceh Luar Biasa, Tapi Butuh Kebijakan Tepat dan Infrastruktur Memadai

Senin, 18 Agustus 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Teuku Zulfikar, Praktisi sekaligus dosen senior Teknik Pertambangan Universitas Syiah Kuala (USK). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Potensi sumber daya mineral di Aceh disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di Indonesia.

Namun, tanpa kebijakan yang tepat dan dukungan infrastruktur, kekayaan alam tersebut belum tentu memberi manfaat maksimal bagi rakyat.

Hal ini disampaikan oleh Teuku Zulfikar, Praktisi sekaligus dosen senior Teknik Pertambangan Universitas Syiah Kuala (USK) kepada media dialeksis.com, Senin (18/8/2025).

“Sejak 2009 ketika saya menjabat Kepala Bidang ESDM di Aceh, saya sudah melihat betapa besarnya potensi mineral di daerah ini. Mulai dari bijih besi, emas, hingga batubara, Aceh sebenarnya sangat kaya,” ungkap Zulfikar.

Namun, ia menegaskan bahwa banyak cadangan mineral tersebut berada di kawasan hutan lindung dan ekosistem penting (kawasan Leuser).

Hal ini membuat tambang terbuka tidak dimungkinkan, tetapi masih bisa dikembangkan dengan tambang bawah tanah.

On the ground mining dimungkinkan. Hanya saja memang butuh teknologi dan investasi besar,” jelasnya.

Menurut Zulfkar, sektor pertambangan memiliki karakteristik padat modal, padat teknologi, dan padat karya. Artinya, selain membuka lapangan kerja besar, industri ini mampu memberikan efek berantai terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Ia mencontohkan PT Mifa Bersaudara (Mifa) di Aceh Barat, yang mempekerjakan sekitar 3.000 orang dengan rata-rata gaji Rp5-8 juta per bulan.

“Kalau 3.000 pekerja itu minimal gajinya Rp5 juta, berarti ada Rp15 miliar berputar setiap bulan di Aceh Barat. Uang itu dibelanjakan di pasar, warung, hingga sektor transportasi. Itulah yang membuat ekonomi masyarakat bergerak,” terangnya.

Tak hanya dari sisi penghasilan pekerja, pertambangan juga menyumbang royalti yang nilainya sangat signifikan. Data tahun 2024 mencatat sekitar Rp500 miliar royalti pertambangan masuk ke Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, pembagian royalti adalah 20 persen untuk pusat, 16 persen untuk provinsi, 32 persen untuk kabupaten penghasil, dan 32 persen lagi dibagikan ke seluruh kabupaten/kota lain di Aceh.

“Artinya, satu tambang saja bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh, meski porsinya berbeda-beda,” tambahnya.

Meski potensinya besar, Zulfikar menilai ada dua tantangan utama yang menghambat investasi tambang di Aceh yaitu infrastruktur yang belum memadai dan kepastian hukum yang lemah.

“Kita lihat, daerah barat selatan Aceh punya prospek besar, tapi sampai sekarang belum ada pelabuhan yang layak. Melaboh, Calang, Aceh Selatan, Abdya semuanya belum punya pelabuhan ekspor. Akibatnya biaya logistik tinggi, investor pun ragu masuk,” ungkapnya.

Selain itu, kepastian hukum juga menjadi kunci. Menurutnya, investasi pertambangan adalah investasi jangka panjang. 

“Biasanya butuh 15 tahun hanya untuk balik modal. Kalau iklim hukum tidak jelas, siapa yang berani menanamkan modal?” ujarnya.

Menanggapi kritik bahwa tambang identik dengan kerusakan lingkungan, Zulfikar memberikan analogi menarik. 

“Orang tambang itu sama dengan dokter bedah. Kalau dokter bedah membedah tubuh manusia untuk mengangkat penyakit, orang tambang membedah bumi untuk mengambil mineral. Bedanya, setelah operasi selesai, ada proses pemulihan. Dalam pertambangan, itulah yang disebut reklamasi,” jelasnya.

Menurutnya, reklamasi tidak harus mengembalikan lahan seperti semula, tetapi bisa diarahkan untuk sektor ekonomi baru.

“Ada tambang yang ditutup lalu dijadikan kawasan hutan sengon, ada yang ditanami durian, bahkan bisa dijadikan bendungan atau pariwisata. Itulah yang dimaksud good mining practices, pertambangan berkelanjutan,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa sebelum operasi tambang dimulai, perusahaan wajib menyetor dana reklamasi ke bank sebagai jaminan. Uang ini hanya bisa dicairkan untuk kegiatan reklamasi dengan persetujuan pemerintah.

Lebih jauh, Fikar menekankan bahwa Aceh tidak boleh hanya bergantung pada tambang. Sektor perkebunan dan pertanian juga perlu mendapat perhatian.

"Kita punya lahan sawit sangat luas, tapi kontribusinya kecil. Padahal seharusnya ada pabrik biosolar, minyak makan, atau hilirisasi lainnya di Aceh,” ujarnya.

Menurutnya, tanpa industrialisasi, hasil bumi Aceh hanya akan keluar sebagai bahan mentah dan minim nilai tambah.

"Hari ini saja beras, telur, minyak makan, banyak yang kita beli dari Medan. Seharusnya Aceh bisa swasembada kalau ada pabrik dan industri pengolahan,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI