Sabtu, 12 Juli 2025
Beranda / Ekonomi / Risiko Kredit Meningkat, Ekonom: Jangan Anggap Enteng, Ada Masalah Serius di Hulu

Risiko Kredit Meningkat, Ekonom: Jangan Anggap Enteng, Ada Masalah Serius di Hulu

Rabu, 09 Juli 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ akademisi FEB Universitas Syiah Kuala. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Surabaya - Kualitas kredit perbankan kembali mendapat sorotan. Laporan terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan indikasi perlambatan di sektor kredit yang tak bisa lagi diabaikan. Perlahan tapi pasti, sejumlah rasio penting mencerminkan pemburukan yang sistematis.

Per Mei 2025, rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan tercatat sebesar 2,29 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya, April 2025, yang sebesar 2,24 persen, dan cukup melonjak dari posisi akhir Desember 2024 di 2,08 persen. Meski demikian, secara tahunan, tren ini sedikit membaik dibanding Mei 2024 yang saat itu menyentuh 2,34 persen.

Kondisi serupa juga terjadi pada NPL net yang mencapai 0,85 persen pada Mei 2025. Angka ini naik berturut - turut dari 0,83 persen di April, 0,74 persen pada Desember 2024, dan 0,79 persen pada Mei tahun lalu.

Rasio Loan at Risk (LaR) pun tak ketinggalan menunjukkan arah yang sama. Pada bulan yang sama, LaR berada di angka 9,93 persen naik dari 9,28 persen pada akhir tahun lalu, dan sedikit lebih tinggi dibanding posisi April 2025 di 9,92 persen.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebut kondisi ini masih dalam koridor aman. “Kualitas kredit tetap terjaga,” katanya, Selasa (8/7). Namun, data berkata lain. Perlahan, sinyal tekanan mulai tampak. Dan itu perlu dicermati lebih dalam.

Dialeksis mewawancarai ekonom dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ, untuk membaca dinamika di balik angka-angka tersebut.

Menurut Rustam, penyebab memburuknya kualitas kredit tidak tunggal. Ia melihat ada tekanan dari dua sisi: eksternal dan internal. “Kondisi makroekonomi global yang tidak menentu turut jadi pemicu utama,” ujarnya.

Pelarangan ekspor atau pemberlakuan tarif impor tinggi oleh negara besar seperti Amerika Serikat, kata dia, ikut mengguncang kestabilan ekonomi mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Belum lagi tekanan dari lonjakan inflasi dan naiknya suku bunga, yang memperkecil ruang gerak pelaku usaha.

Di sisi domestik, dunia usaha tak punya daya tahan yang cukup. Penurunan omzet menjadi kenyataan sehari-hari. “Pasar sepi. Daya beli lemah. Banyak pelaku usaha yang salah langkah, salah strategi. Bahkan, ada juga yang menyalahgunakan kredit,” kata Rustam. Lebih parah lagi, ada yang sejak awal berniat tak membayar pinjaman”moral hazard.

Ia mencontohkan, tak sedikit debitur yang sudah terlilit banyak utang di beberapa bank sekaligus. “Over leverage jadi isu besar, tapi masih diabaikan,” katanya.

Tak semua kesalahan datang dari debitur. Rustam menyebut lembaga keuangan juga punya andil besar dalam menciptakan krisis kredit. “Banyak bank yang gegabah menyalurkan kredit tanpa memeriksa prinsip 5C secara benar,” ujarnya.

Prinsip yang dimaksud Rustam adalah: character (karakter), capacity (kemampuan bayar), capital (modal), collateral (jaminan), dan conditions (kondisi usaha dan ekonomi). Ketika satu saja diabaikan, risiko pasti meningkat.

Masalahnya, banyak bank hanya berpatok pada kecepatan penyaluran pembiayaan (kredit), bukan kelayakannya. “Seringkali monitoring lapangan tak dilakukan dengan intens. Mereka percaya saja pada kertas,” kata Rustam.

Ia juga mengkritik skema pembiayaan yang acapkali tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan arus kas debitur. “Bayangkan, kredit jangka pendek diberikan untuk usaha yang butuh waktu lama balik modal. Itu pasti bermasalah,” ujarnya.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Rustam menegaskan bahwa perbankan harus kembali ke akar: prinsip kehati-hatian. “Mitigasi risiko harus dimulai sejak awal. Jangan baru panik saat kredit alami macet,” katanya.

Ia menyarankan pendekatan lebih persuasif kepada debitur. Komunikasi intensif, restrukturisasi, dan penjadwalan ulang pembayaran bisa menjadi opsi sebelum menempuh jalur hukum. 

“Eksekusi jaminan (agunan) seharusnya menjadi langkah terakhir, bukan yang pertama,” ujarnya.

Namun Rustam juga mengingatkan, bila situasi ini dibiarkan, potensi efek sistemik bisa membesar. “Kredit bermasalah bukan hanya masalah satu-dua bank. Kalau terus merambat, bisa mengganggu fungsi intermediasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.

Kondisi ini, kata Rustam, adalah panggilan untuk membenahi fondasi sistem perbankan, baik dari sisi regulasi maupun kultur lembaga keuangan. 

“Kita harus kembali membangun konsolidasi etis. Keuangan itu soal kepercayaan. Ketika kepercayaan hilang, sistem akan rapuh,” ujarnya.

Meningkatnya risiko pembiayaan bukan sekadar gejala sesaat. Ia adalah refleksi dari masalah struktural yang menuntut pembenahan mendalam. Bukan hanya oleh bank, tapi juga oleh pelaku usaha (debitur) itu sendiri sebagai pihak peminjam.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI