DIALEKSIS.COM | Jakarta - Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terus menunjukkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tak hanya menjadi penopang ekonomi masyarakat, sejumlah UMKM kini juga hadir sebagai pelopor bisnis ramah lingkungan yang memberdayakan masyarakat lokal.
Dua contoh UMKM yang mencuri perhatian adalah Saree Ulos dan Batik Organik. Keduanya menonjolkan produk wastra Nusantara berbasis bahan alami dan inovasi dari limbah pertanian.
Songket Ulos dari Limbah Pertanian
Didirikan oleh Juliana Sianturi, Saree Ulos mengubah cara pandang masyarakat terhadap tenun tradisional. Bermitra dengan 50 penenun di kawasan Danau Toba, Juliana memanfaatkan limbah pertanian seperti daun nanas, pelepah pisang, batang rami, dan serat sawit untuk dijadikan bahan baku benang songket ulos.
“Kami ingin menunjukkan bahwa limbah pun bisa menjadi warisan budaya bernilai tinggi,” kata Juliana.
Tenun Saree Ulos kini bukan hanya dilirik pasar lokal, tapi juga mulai merambah ekspor ke Eropa dan Amerika. “Selembar tenun bisa dihargai hingga Rp9 juta. Tapi yang terpenting, para penenun kami mendapat upah layak dan insentif dari setiap penjualan,” ujar Juliana.
Lebih dari sekadar produk, Saree Ulos mengusung misi besar: menjadikan limbah pertanian sebagai benang khas Indonesia. Untuk mewujudkan itu, Juliana berharap dukungan pemerintah tak berhenti di program inkubasi saja.
“Kami butuh sinergi dalam pengadaan mesin pengolah limbah jadi benang. Kalau bisa diproses di dalam negeri, nilai jualnya akan jauh lebih tinggi,” tambahnya.
Batik Organik: Pewarna Alam dan Pemberdayaan Perempuan
Tak kalah inovatif, Ana Khairani dari Bogor membangun Batik Organik sejak 2013 dengan pendekatan yang serupa: menjaga lingkungan sekaligus membuka lapangan kerja.
“Kami ingin membangun pusat riset dan edukasi tentang serat serta warna alam. Semua berawal dari sehelai kain batik,” ujar Ana.
Bekerja sama dengan LIPI, Batik Organik menggunakan pewarna dari bahan alami seperti daun, bunga, kulit buah, hingga batang pohon. Untuk kainnya, Ana memilih serat alami seperti eucalyptus, akasia, katun, dan sutra eri yang mudah terurai di tanah.
Tak hanya peduli lingkungan, Batik Organik juga menjadi ruang pemberdayaan bagi perempuan di Desa Cipaku, Bogor. Saat ini, Ana membina 54 ibu pembatik yang aktif memproduksi karya.
“Mereka bukan sekadar pekerja. Kami beri pelatihan, kaderisasi, dan pendampingan agar bisa mandiri secara ekonomi,” jelasnya.
Ana juga mengapresiasi peran Kementerian UMKM yang memberikan mentoring dan pelatihan produksi melalui program Entrepreneur Development.
“Program ini sangat membantu kami dari sisi legalitas, pasar, hingga jejaring bisnis,” tuturnya.
UMKM Lokal, Potensi Global
Saree Ulos dan Batik Organik menjadi bukti bahwa UMKM Indonesia mampu naik kelas dengan inovasi berkelanjutan. Produk mereka bukan hanya bernilai ekonomis tinggi, tapi juga ramah lingkungan dan berdampak sosial.
Kini, keduanya sama-sama bersiap memperluas pasar, sekaligus membawa semangat kearifan lokal ke panggung internasional. [red]