Kamis, 22 Mei 2025
Beranda / Ekonomi / Tantangan UMKM Aceh: KADIN Ajak Kolaborasi dan Bentuk Bank Devisa Syariah

Tantangan UMKM Aceh: KADIN Ajak Kolaborasi dan Bentuk Bank Devisa Syariah

Rabu, 21 Mei 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ilustrasi logo Kadin Aceh. Foto: ist


DIALEKSIS.COM | Aceh - Meski Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi tulang punggung ekonomi Aceh dengan kontribusi 61,07% terhadap PDB nasional dan menyerap 97% tenaga kerja sektor ini masih menghadapi tantangan multidimensi. Data Dinas Koperasi dan UKM Aceh mencatat 424.850 UMKM pada 2024, namun mayoritas masih berjuang untuk bertahan akibat keterbatasan akses pasar, literasi digital, dan pendampingan yang tidak konsisten.

Pemerintah dan lembaga keuangan telah menggelontorkan program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp5,03 triliun di Aceh pada 2024 16, serta pelatihan digital marketing dan pengembangan produk oleh Bank Syariah Indonesia (BSI) Aceh kepada 1.886 pelaku UMKM 4. BSI juga mencatat pertumbuhan UMKM binaan sebesar 28% pada 2024, mencapai 2.146 usaha 715.

Namun, Teuku Jailani dari KADIN Aceh mengkritik bahwa program ini seringkali bersifat parsial,"Setelah pelatihan selesai, UMKM kembali sendirian tanpa sistem pendukung yang berkelanjutan,” ujarnya.

Belum lagi disampaikan Teuku Jailani kondisi UMKM harus menanggung tingginya biaya logistik dan lesunya daya beli masyarakat seperti terlihat di Pasar Aceh yang sepi memaksa banyak pedagang gulung tikar.

Tantangan lain dihadapi UMKM Aceh dalam hal mninimnya literasi digital menghambat UMKM memanfaatkan platform pemasaran modern, meski BSI telah memberikan pelatihan hypnowriting, desain produk, dan public speaking.

“Ketergantungan Bahan Baku: Contohnya, UMKM kerajinan eceng gondok di Aceh Barat kesulitan bahan baku lokal, sehingga perlu impor dari daerah lain yang menaikkan biaya produksi,” jelasnha.

Teuku Hanansyah, Wakil Ketua KADIN Aceh Bidang Keuangan Syariah, menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dan intervensi pemerintah untuk memperkuat pasar tradisional. Lebih lanjut, ia mengusulkan pembentukan Bank Devisa Syariah di Aceh untuk memfasilitasi transaksi ekspor-impor:

"Aceh pernah jaya melalui Pelabuhan Sabang. Kini, dengan adanya BPMA dan BUMD, kita butuh bank devisa syariah sebagai bukti kesiapan menyambut investasi valuta asing. Ini akan memudahkan ekspor komoditas seperti minyak, gas, dan hasil tambang,” ungkapnya.

Usulan ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang memperkuat pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melalui instrumen seperti Sukuk Valuta Asing (SUVBI) 10. Namun, realisasi ekspor Aceh pada Januari 2025 masih didominasi batubara (USD36,8 juta), sementara produk UMKM belum signifikan.

Menurut Hanansyah penting dilakukan pendampingan berkelanjutan kepada UMKM di Aceh,”Meniru model BSI UMKM Center yang menggabungkan pelatihan, akses pembiayaan, dan promosi produk,” ungkapnya.

“Memanfaatkan momentum Aceh UMKM Expo 2024 yang menghasilkan perputaran ekonomi Rp3,4 miliar 12 untuk memperluas jaringan e-commerce. Selain itu Pemerintah perlu merancang insentif fiskal dan kemudahan perizinan bagi UMKM yang berorientasi ekspor,” jelasnya lagi.

KADIN Aceh menyerukan sinergi konkret antara pemerintah, perbankan syariah, dan pelaku usaha. Dengan dukungan Bank Devisa Syariah dan program pendampingan yang holistik, UMKM Aceh diharapkan tidak hanya bertahan, tetapi mampu menembus pasar global seperti visi Bea Cukai Aceh yang membina 25 UMKM untuk bersaing internasional. Tanpa langkah strategis ini, potensi ekonomi lokal mungkin tetap terperangkap dalam lingkaran kerapuhan.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
hardiknas