DIALEKSIS.COM | Feature - Sudah lebih sepekan mereka dibalut kecemasan. Letih, lelah, trauma, dan upaya bertahan hidup, bercampur aduk. Mereka yang terkena dan terdampak musibah sangat sensitif, emosionalnya tinggi. Bagai daun kering yang mudah tersulut api.
Kondisi yang belum normal, masih banyak kawasan yang terisolir. Rakyat bertahan untuk hidup, berjuang dalam bayang-bayang maut. Yang dinyatakan hilang masih sulit ditemukan diantara tumpukan reruntuhan longsor, banjir bandang.
Kondisi masyarakat seperti ini terlihat jelas dari raut wajah mereka yang tertimpa musibah di Aceh Tengah. Harapan hidup dalam bayang bayang maut, terukir disorot matanya. Di seputar Kota Takengon, untuk bertahan hidup mereka harus antri mendapatkan beras 3 kilogram jenis beras Bulog (SPHP). Antrean panjang, tidak peduli terik matahari.
Hingga Kamis (4/12/2025), masih ada 7 kecamatan di Aceh Tengah yang terisolir. Kisah mereka yang berjalan kaki puluhan dan ratusan kilometer dengan perut keroncong, terdengar hampir seluruh penjuru wilayah terisolir.
Bahkan sebagian rakyat Aceh Tengah demi menyelamatkan buah hatinya yang menuntut ilmu ke luar daerah, rela berjalan kaki demi menyelamatkan anaknya yang terancam kelaparan.
Mereka yang terisolir akibat sapuan bandang dan banjir ini tersebar di puluhan titik pengungsi, mereka sudah mendapatkan bantuan logistik, namun ada juga diantara mereka yang terperangkap masih sulit disentuh bantuan.
Pemda Aceh Tengah sudah menyepakati penyaluran bantuan langsung ke kecamatan, baru pihak kecamatan yang menyalurkan ke kampung, selanjutnya aparat kampung yang mendistribusikan ke warganya.
Pengungsi yang mengungsi di luar desanya karena tidak memungkinkan mengungsi di desa, teknis penyaluran bantuan disampaikan langsung ke kawasan pengungsi, bukan lagi ke desa tempat mereka di dera musibah.
Kawasan-kawasan yang sangat sulit terjangkau dan masih terisolir, bantuan logistik sudah disalurkan melalui udara. Mereka harus bertahan hidup hingga adanya bantuan selanjutnya.
Cemas dan Emosional
Korban dan mereka yang terdampak musibah di Aceh Tengah tingkat emosionalnya tinggi, senstitif. Bagaikan daun kering yang mudah tersulut api. Dari himpunan keterangan yang berhasil Dialeksis.com rangkum di lapangan, mereka menyatakan kekecewaannya kepada pemerintah daerah dan provinsi.
Apalagi dikaitkan dengan pernyataan Bupati Aceh Tengah Haili Yoga yang menyatakan atas ketidakmampuan Pemkab dalam menangani tanggap darurat bencana sebagaimana mestinya. Pernyataan itu telah membuat emosional masyarakat tersulut, walau terjadi pro dan kontra.
Sensitivitas masyarakat tinggi bukan hanya terlihat dari raut wajahnya. Di seputaran Kota Takengon misalnya, walau keletihan dan kelelahan itu berbeda dengan mereka yang tertimpa musibah langsung dan mendiami kawasan pengungsian.
Pagi-pagi masyarakat sudah membanjiri kantor Bupati Aceh Tengah, kantor Telkom, Masjid Raya Ruhama, atau kawasan yang memiliki jaringan listrik. Masyarakat dengan membawa kabel gulung, duduk sabar menunggu untuk mengecas HP sambil sesekali berusaha berkomunikasi di tengah jaringan yang sulit.
Dilain sisi, sungai sungai di manfaatkan masyarakat untuk mencuci, mandi. Terlihat pemandangan tak lazim, sungai dan pinggiran Danau Lut Tawar dibanjiri manusia.
Masyarakat banyak lalu lalang untuk mendapatkan air bersih. Berburu informasi di area mana ada dijual beras Bulog, walau harus melalui antrian panjang. Sementara BBM dan elpiji sudah merupakan barang yang sangat langka.
Dampaknya masyarakat mulai mencari kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asap asap mulai mengepul di berbagai sudut kota. Masyarakat ada yang bahu membahu secara mandiri untuk masak bersama, dibuat dapur umum.
Sementara di kawasan perkotaan terlihat sampah menumpuk dimana mana. Tidak adanya BBM menyebabkan penumpukan sampah sulit diangkut semuanya. Semuanya aktivitas terkendala di BBM. Demikian dengan transportasi ke kawasan terisolir Bintang yang kini hanya mengandalkan kapal, para operator kapal kesulitan bahan bakar.
Hingga 4 Desember 2025 tercatat ada 2.308 rumah yang hancur, dan sebagian besar lainya terkena dampak. Meninggal dunia 22 orang, dinyatakan hilang 23 jiwa. Jumlah pengungsi terus meningkat diperkirakan mencapai 37.000 jiwa yang tersebar diseluruh wilayah. Jumlah masyarakat terisolir dari setiap kampung mencapai 56.539 jiwa.
Seluruh rakyat Aceh Tengah sudah terkena dampak musibah banjir dan longsor pada Rabu (17/11/2025). Angkanya mencapai 234 ribu jiwa lebih masyarakat terkena dampak musibah.
Pemerintah daerah dan Provinsi Aceh tidak mampu menangani musibah Aceh ini secara menyeluruh sesuai dengan tanggap darurat bencana. Akhirnya pemerintah menetapkan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatra Barat masuk dalam kategori bencana nasional.
Walau surat resminya belum ditanda tangani presiden, tapi kabar telah ditetapkan menjadi bencana nasional telah membuat yang hidup dalam bayang-bayang maut di kawasan bencana, memiliki harapan hidup bila pemerintah pusat turun tangan.
Bila melihat kondisi lapangan dengan keparahan musibah yang luar biasa, waktu perbaikan diprediksikan berbulan-bulan untuk menormalkan kembali.
Rakyat yang tertimpa musibah kini bertahan hidup dalam bayang-bayang maut, emosionalnya tinggi. Bagaikan daun kering yang sangat mudah tersulut api.
Dalam kondisi yang serba prihatin ini, rakyat berharap jangan ada yang memanfaatkan musibah ini untuk mendapatkan keuntungan. Ketika hak rakyat harus disalurkan, maka berikanlah kepada mereka yang membutuhkan.
Jangan dijadikan musibah sebagai lahan untuk mengumpulkan pundi pundi keuntungan. Negeri lagi musibah jangan ditambah lagi musibah dengan sikap dan prilaku serakah. Rakyat sekarang sedang hidup dalam bayang-bayang maut yang mudah tersulut.[bg]