 
    Komoditas Unggulan di Aceh
Tanaman kakao menjadi salah satu komoditas perkebunan terbesar di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan pemetaan wilayah, sentra perkebunan kakao tersebar di bagian barat seperti Kecamatan Nisam, Nisam Antara, Sawang, dan Kuta Makmur.
Di wilayah tengah, produksi kakao banyak ditemukan di Kecamatan Geuredong Pase, Nibong, Tanah Luas, dan Paya Bakong. Sementara di bagian timur, komoditas ini tumbuh subur di Kecamatan Cot Girek dan Langkahan.
“Data dari Provinsi, Kabupaten Aceh Utara secara konsistem masuk dalam lima besar daerah penghasil kakao terbesar di tingkat Provinsi Aceh,” sebut Kepala Dinas Perkebunan, Perikanan dan Kesehatan Hewan Aceh Utara, Lilis Indriansyah, saat ditemui di kantornya Senin (27/10/2025).
Selama dua tahun terakhir, kata Lilis, produksi kakao di Kabupaten Aceh Utara menunjukkan peningkatan, meski belum signifikan kondisi ini disebabkan sebagian tanaman mengalami kerusakan dan membutuhkan perawatan serta program peremajaan (replanting).
Pendampingan terhadap petani telah dilakukan melalui metode sambung pucuk dan perawatan tanaman. Namun, kegiatan tersebut belum bisa dilakukan secara menyeluruh karena keterbatasan dukungan pada tahap lanjutan.
Upaya yang sudah dilakukan pemerintah setempat saat ini, sekitar 500 persil kebun kakao di beberapa kecamatan telah memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sebagai langkah awal menuju pengelolaan perkebunan yang lebih baik.
Kabupaten Aceh Utara menjadi salah satu daerah utama pemasok biji kakao kering di Aceh. Setiap minggu, daerah ini mampu mengirim sekitar 50 ton biji kakao kering ke Sumatera Utara, Medan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Pengiriman dilakukan melalui para pengumpul diambil dari petani yang berpusat di Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara. Pada masa panen raya atau panen serentak, volume pengiriman bisa mencapai 50 ton dalam sekali kirim.
Sementara itu, saat panen berlangsung secara bertahap di tingkat petani, jumlah kakao yang dikirim tetap berada di kisaran 50 ton per minggu, seluruhnya berasal dari kebun-kebun di Kabupaten Aceh Utara.
Selama sepekan ini harga jual sedang turun, dari pengumpul petani agen pengumpul biji kering kakao dibeli dengan harga Rp40.000 - Rp45.000 per kilogram tergantung kualitas biji. “Tapi biasanya harganya sampai Rp180.000 - Rp190.000 per kilogram.”
“Kami berharap para petani tetap bertahan membudidayakan kakao, meskipun saat ini banyak tantangan, seperti serangan hama dan penyakit pada buah maupun batang,” harapnya
Menurutnya, lanjut Lilis, permintaan kakao dunia masih tinggi sehingga petani memiliki peluang besar untuk terus berkembang di sektor ini. “Bersabarlah menjadi petani. Mari bersama-sama merawat kebun agar produksi kakao kita tetap bertahan dan meningkat,” ujarnya.
Menurut Pengamat Ekonomi Bisnis dari Universitas Malikussaleh, Dr Rayyan Firdaus, menjelaskan secara ekonomi pengembangan budidaya kakao harus lebih masif dan terus mengoptimalkan pelatihan bagi kelompok tani untuk meningkatkan hasil budidaya.
“Potensi kakao di Indonesia bahkan tingkat dunia terus menjanjikan. Secara bisnis ini tidak akan pernah mati. Karena biji kakao ini bahan utama yang dibutuhkan,” kata Dr Rayyan Firdaus.
Ia menilai kualitas biji kakao Indonesia masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara produsen lainnya. Kondisi ini membuat harga jual kakao dalam negeri cenderung stagnan, sementara potensi keuntungan besar justru dinikmati oleh negara lain yang menguasai industri pengolahannya.
“Secara ekonomi, ini adalah bentuk hilangnya nilai tambah. Kita masih menjual bahan mentah biji kakao dengan harga murah, sementara negara seperti Swiss justru meraup keuntungan besar dari produk olahan seperti cokelat,” terangnya.
Dr Rayyan menambahkan, pentingnya peningkatan kualitas biji dan pengembangan industri pengolahan dalam negeri menjadi langkah penting agar Indonesia tidak terus berada di posisi sebagai pemasok bahan mentah semata.
“Bisnis kakao ini sampai kapanpun menjanjikan. Apalagi pemerintah daerah akan membuka rute ekspor ekspor Aceh - Malaysia. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh petani, asalkan ada lembaga atau koperasi yang mampu menampung hasil panen mereka. Dengan begitu, harga kakao bisa tetap stabil dan tidak bergantung pada permainan pasar,” papar Rayyan.
Dia berpendapat, hingga kini, sektor kakao masih cenderung dimonopoli oleh pihak tertentu. Oleh karena itu, kehadiran lembaga penampung hasil tani menjadi penting agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik. Petani pun dituntut untuk mampu membaca tren pasar, meningkatkan produksi.
Rayyan menjelaskan, pembentukan kelompok tani dilakukan menjadi langkah penting untuk memperkuat posisi petani di lapangan. Namun, kelompok-kelompok ini perlu terus difasilitasi dan diberi edukasi agar mampu berproduksi secara berkelanjutan. Terutama untuk mendukung terciptanya kakao berkualitas tinggi.
Tidak hanya itu, dalam hal ini diperlukan juga peran pabrik pengendali mutu yang dapat melakukan evaluasi dan memastikan standar kualitas produk kakao. “Selama kualitas bisa dijaga, bisnis kakao dipastikan tidak akan mati,” tambahnya.
Lebih jauh, kata pengamat ekonomi itu, pasar global masih memiliki harapan besar untuk kakao Indonesia. Namun, semua pihak harus berkomitmen menjaga kualitas. Hanya dengan konsistensi dan kerja sama antara petani, “Pemerintah dan lembaga menjadadi pendukung, kakao Indonesia bisa terus bersaing di kancah dunia,” ujar Rayyan.
Pengamat kakao dari Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Dr Lukman, yang berpengalaman dan pernah melakukan studi banding hingga ke Swiss menilai bahwa potensi kakao di Indonesia sangat besar, asalkan dibarengi dengan pendampingan dan pelatihan yang berkelanjutan. Ia sendiri telah meneliti kakao sejak tahun 2011 hingga 2012.
“Saya sudah menguji, menanam 500 pohon kakao ini bisa mencukupi kebutuhan dua anak hingga kuliah sarjana,” kata dosen yang pernah mengunjungi beberapa perusahaan penghasil cokelat terkenal di dunia.
Menurutnya, petani kakao bisa mandiri, asal didampingi dan dilatih secara serius. Dengan teknik budidaya yang benar, tanaman kakao bisa menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan bagi petani. Kunci utama dalam budidaya kakao adalah sanitasi kebun dan pemangkasan rutin (pruning).
“Tanaman harus terjaga kebersihannya. Penyakit pada kakao sebenarnya ini sudah lama bahkan penanganannya pun sudah ada sejak dulu. Cuma peduli kepada perilaku petani merawatnya sesuai SOP budidaya kakao,” terangnya.
Ia menilai, program Pertamina PHE NSO semacam ini membentuk kelompok tani memberikan bibit, pelatihan, serta pendampingan hingga petani mandiri merupakan langkah yang sangat positif dan patut terus dilanjutkan. Banyak di luar sana kelompok tani kakao yang sudah berhasil berkat pola pembinaan semacam ini.
“Kalau harga kakao tinggi dan ada pelatihan seperti ini, petani pasti semangat berusaha,” tambahnya.
Namun, ia juga mengingatkan agar petani tidak menanam terlalu banyak tanaman pendamping, karena dapat mengganggu pertumbuhan kakao dan mengundang hama seperti tupai.
Permintaan kakao, katanya, selalu stabil dan hasil panen selalu terserap pasar. Tantangannya justru bagaimana meningkatkan kualitas biji agar bernilai jual tinggi.
“Saat saya ikut pendidikan ke swiss, disana orang luar Negeri menilai kakao Indonesia ini secara kualitas masih kurang, biji kakao dipanen belum waktunya. Tapi mereka mengapresiasi dan minat kakao Indinesia bididaya kakao menggunakan sistem organik,” katanya.
Dari sisi lingkungan, budidaya kakao juga memberikan manfaat tambahan. Akar tanaman membantu menyerap air ke dalam tanah sehingga dapat mengurangi risiko erosi, banjir, dan longsor, terutama di daerah seperti Aceh Utara yang kerap dilanda banjir setiap tahun.
“Kakao ini tahan air, tidak seperti tanaman lain. Meski bunga bisa rontok saat hujan lebat, pohonnya tetap kuat dan bisa berbuah sering,” jelasnya.
Ia berharap program pembentukan dan pendampingan kelompok tani kakao terus diperluas, terutama di wilayah bekas konflik seperti Aceh Utara. Petani di sini wajar kalau dulu kurang mendapatkan ilmu budidaya. Tapi dengan adanya program ini, ekonomi mereka mulai berkembang. Harapannya, pendampingan seperti ini terus dikembangkan agar semakin banyak kelompok tani kakao yang mandiri.
“Kita berharap para petani terus bersemangat mengembangkan budidaya kakao. Dari sisi ekonomi, tanaman ini dinilai sangat menjanjikan. Dalam kondisi normal, satu pohon kakao dapat menghasilkan 1 hingga 5 buah setiap minggu. Bayangkan jika petani menanam 500 pohon, hasil panennya cukup besar setiap bulannya,” pungkasnya. [RG]