DIALEKSIS.COM| Feature- Hampir sebulan bencana di ujung Sumatera. Gerbang kemiskinan itu sudah terbuka lebar. Kemiskinan massal. Rakyat tidak berdaya. Mampukah negara?
Mereka yang selamat dan terdampak bencana termenung. Mereka cemas, sudah membayangkan kemiskinan massal akan tercipta. Tempat tinggal sudah ditelan alam, sumber penghidupan luluh lantak. Mengerikan, namun yang lebih mengerikan adalah masa depan mereka.
Kini para korban terdampak bencana berjuang dengan susah payah untuk tetap hidup. Letih, lelah, perasaan bercampur aduk, semuanya menyatu. Mereka tidak akan mampu bangkit, bila tidak ada pihak lain yang menggengam tangangan.
Lihatlah bagaimana luluh lantaknya sapuan musibah ini. Lebih seribu yang meregang nyawa. 186 dinyatakan hilang. 7 ribu lebih luka-luka. 52 kota/ kabupaten terdampak. Mendekati 150.000 perumahan penduduk hancur lebur.
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dalam balutan duka. Menurut data BPNB, 1,6 ribu lebih fasilitas umum rusak. 967 fasiltas pendidikan, 434 rumah ibadah, 219 fasiltas kesehatan, 290 gedung perkantoran, 145 jembatan (itu jembatan nasional, belum lagi jembatan provinsi dan kabupaten), semuanya disapu air bercampur material.
Belum lagi harta benda, sumber pengidupan rakyat yang data rilnya belum muncul. Mengerikan. Namun jauh lebih mengerikan masa depan para korban, mereka yang terdampak musibah. Sampai saat ini pemerintah masih “membusungkan”dada, menyatakan kemampuanya untuk mengatasi persoalan.
Kemiskinan itu sudah di depan mata. Untuk tingkat emergency saja, saat darurat bencana pemerintah kelimpungan. Daerah tidak mampu, Pemerintah Pusat sudah berbuat, sudah mengerahkan kekuatan, namun tidak maksimal. Ancaman kelaparan, jeritan pilu para korban menggema di mana mana.
Untuk tingkat emergency, masa tanggap darurat saja pemerintah kelimpungan (mengharapkan pemerintah daerah, sudah banyak yang angkat bendera), lantas bagaimana dengan jangka panjang, dimana gerbang kemiskinan massal itu sudah ada di depan mata?
150 ribu lebih perumahan penduduk hancur diamuk alam. Banyak pemukiman yang harus direlokasi. Ratusan ribu hektar lahan pertanian, perkebunan, peternakan, berubah wujud dipenuhi lumpur, kayu gelondongan dan bebatuan. Sumber penghidupan masyarakat benar benar hancur.
Mampukah mereka kembali mengusahakan sumber penghidupan untuk menghidupi diri. Butuh waktu berapa lama untuk mereka bangkit? Bagaimana masa depan mereka, akankah mereka menjadi zombie?
Saat emergency saja negara kelimpungan. Walau sudah berupa, namun tidak maksimal. Jangka pendek darurat bencana pemerintah sudah “kewalahan”, bagaimana dengan jangka panjang masa depan para korban yang ditimpa musibah.
Mampukah negara? Sampai kini tidak menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Ketika ada pihak yang dengan tulus mengulurkan tanganya, ingin berbagi untuk membantu, namun pejabat negara seperti membusungkan dada menyatakan kemampuanya. Bahkan ada yang menilai rendah bantuan negara lain.
Lihatlah Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dia menangis. Mualem merasakan ketidakmampuanya dalam mengatasi bencana. Dia membuka diri untuk menerima bantuan kemanusiaan dari pihak manapun. Sikap Mualem ini bertentangan dengan keinginan pemerintah pusat.
Dalam linangan air mata Mualem menyakini, dia lebih berharap kepada sang Khaliq daripada berharap kepada manusia yang berbuah kecewa. Harapanya kepada sang Khaliq ada jawaban, selain perhatian pemerintah pusat dan relawan, kini ada bantuan dari pihak asing.
Mualem mengakui keterbatasan Aceh dalam menangani bencana, akhirnya Mualem mempersilakan bantuan asing untuk membantu Serambi Mekkah. Jawaban yang keluar dari relung hati terdalam dari seorang pemimpin yang negerinya kita porak poranda.
Kini kemiskinan massal itu sudah di depan mata. Negara menyatakan kemampuanya untuk menangani bencana Sumatera. Tidak perlu bantuan asing. Namun publik bertanya, mampukah?
Lihatlah data kerusakan banjir bandang yang melanda Sumatera, angkanya mengerikan. Butuh berapa lama untuk memperbaiki semua ini. Sesuatu yang tidak bisa dielakan, kemiskinan massal itu kini sudah di depan mata.
