DIALEKSIS.COM | Feature - Aceh dilanda bencana banjir bandang dan tanah longsor hebat pada akhir November 2025, menerjang 18 kabupaten/kota di provinsi tersebut. Data posko darurat mencatat sedikitnya 430 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya hilang, dengan hampir 2 juta penduduk terdampak akibat bencana yang meluas ini.
Dari sekian banyak kisah Dialeksis menelusuri jejak digital para penyintas bencana banjir bandang dan longsor di Aceh potongan-potongan kisah yang tersebar di media sosial, laporan warga, hingga kesaksian langsung dari mereka yang selamat. Dari unggahan sederhana yang ditulis dengan tangan gemetar, video singkat penuh kepanikan, hingga cerita lisan yang diwariskan dari mulut ke mulut, jejak-jejak itu menjelma menjadi rangkaian narasi kemanusiaan yang kuat.
Di balik angka korban dan laporan kerusakan, tersimpan pengalaman pahit tentang perjuangan hidup, kehilangan, ketakutan, sekaligus harapan. Kisah-kisah inilah yang dirangkai Dialeksis menjadi cerita feature bukan sekadar untuk dikenang, tetapi juga sebagai pembelajaran bersama tentang ketangguhan manusia saat berhadapan dengan murka alam.
Tersimpan kisah-kisah dramatis tentang perjuangan warga penyintas yang bertahan hidup di tengah terjangan bencana. Berikut adalah cerita tiga di antara mereka, disajikan dalam gaya feature news yang menggugah.
Hendra Vramenia - Berjalan Demi Anak-Anak di Tengah Banjir
Kondisi kerusakan akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, akhir November 2025. Rumah-rumah warga porak poranda tertimbun lumpur tebal setelah luapan sungai yang dahsyat.
Di Kabupaten Aceh Tamiang, Hendra Vramenia seorang jurnalis dan Pemimpin Redaksi kabartamiang.com mengalami langsung ganasnya banjir bandang. Air mulai menggenangi rumahnya di Kampung Bundar, Karang Baru, sejak dini hari 26 November. Dalam hitungan jam, ketinggian air terus naik hingga mencapai dada orang dewasa, memaksa Hendra, istri, dan anak-anaknya mengungsi ke lantai dua masjid setempat.
Mereka bertahan di sana hingga lebih dari sepekan, terisolasi tanpa listrik dan sinyal komunikasi. Persediaan makanan menipis setiap hari; susu, mi, hingga camilan anak-anak habis tak bersisa. “Milo habis, susu habis, tahu habis… kue-kue habis. Anak-anak minum air tampungan hujan karena tak ada air lagi,” kenang Hendra dengan suara bergetar.
Saat anak-anaknya mulai kelaparan, Hendra nekat keluar menerobos arus banjir mencari makanan. Ia berenang melawan arus yang deras dan menembus lumpur, bahkan sempat terseret hingga beberapa meter sebelum berhasil diselamatkan warga[6]. Tangan dan kakinya terluka tersayat seng dan tertusuk paku, namun ia pantang menyerah. Dengan sisa uang di sakunya, Hendra berhasil membeli beberapa bungkus mi instan dan roti dari desa tetangga yang masih memiliki persediaan. “Hari itu anak-anak akhirnya bisa makan,” ujarnya haru, mengenang momen kembalinya ia ke masjid dengan bahan makanan setelah hampir dua malam perut kosong.
Banjir bandang tak hanya mengancam nyawa, tapi juga meluluhlantakkan harta benda Hendra. Rumahnya sendiri hanyut diseret arus dan rata dengan tanah. Setelah memastikan keluarganya selamat, Hendra mengambil keputusan berani: berjalan kaki menembus banjir hingga ke Pangkalan Susu di provinsi tetangga (Sumatra Utara) demi mengevakuasi anak-anaknya ke tempat yang lebih aman.
Perjalanan lintas provinsi sejauh belasan kilometer itu ditempuh dengan penuh perjuangan, melewati jalan berlumpur dan jembatan rusak, namun baginya tidak ada yang lebih berharga selain menyelamatkan buah hati. “Saya selamat… tapi saya tak sanggup melihat mata anak-anak yang kosong karena kelaparan,” ujarnya lirih.
Hendra bukan satu-satunya orang tua yang putus asa di tengah bencana besar ini. Ribuan warga Aceh Tamiang lain juga terjebak di kepungan banjir dan lumpur, menunggu pertolongan. Banyak desa di pedalaman terisolasi total; beberapa kampung hilang tak berbekas disapu banjir bandang.
Akses jalan terputus membuat bantuan sulit menjangkau mereka, menimbulkan ancaman kelaparan massal. Hendra mengaku khawatir: “Jangan sampai warga Aceh Tamiang meninggal bukan karena banjir, tapi kelaparan,” pintanya, mendesak pemerintah segera bertindak.
Berkat kegigihan sosok-sosok seperti Hendra yang bersuara, status tanggap darurat pun ditingkatkan. Namun bagi Hendra pribadi, pengalaman ini meninggalkan trauma mendalam air mata tak tertahan jatuh saat ia berdiri di rumah ibunya yang penuh lumpur, menyadari betapa tipisnya batas antara hidup dan mati ketika bencana datang.
Agus - Dua Malam di Atap Rumah yang Terendam
Agus, warga Desa Beurawang, Pidie Jaya, Aceh, berdiri di depan rumahnya yang tertimbun lumpur pascabanjir bandang. Empat karung padi yang berhasil diselamatkannya tampak mulai tumbuh kecambah akibat terendam air berhari-hari.
Di Pidie Jaya, wilayah barat Aceh, Agus merasakan pilu yang serupa. Banjir bandang menerjang desanya, Beurawang, Kecamatan Meureudu, dengan cepat dan nyaris tanpa peringatan. “Kebutuhan pakaian, makanan... itu nggak seberapa. Ada kita makan, kalau nggak ada, kek mana?” ucapnya lirih, menggambarkan betapa putus asanya mereka saat air bah merendam seisi kampung.
Malam itu, Agus sekeluarga terjaga ketika air sudah setinggi lutut di dalam rumah. Dalam waktu singkat, ketinggian air naik hingga mencapai dada, memaksa Agus membawa anaknya yang berumur 11 tahun memanjat ke loteng rumah untuk menyelamatkan diri. Di atas loteng sempit itu mereka berdesakan bersama 10 warga lain, bergelap-gelapan tanpa listrik. Tak ada air, tak ada makanan dua malam dilalui di ketinggian dengan perut kosong. “Kalau soal makanan itu jangan ditanya,” kenang Agus tentang malam-malam mencekam di atas atap rumah.
Dari ketinggian loteng, gelap total, Agus hanya bisa mendengar gemuruh air bah dan tangis anak-anak kecil yang kehausan di sekitarnya. Anaknya yang masih kecil terduduk lemah di atas balok kayu, sementara dua balita tetangga digendong ibunya sambil terus menangis meminta minum.
Tak jauh dari mereka, arus deras menghanyutkan apa saja; bahkan seorang tetangga terseret banjir dan hilang terbawa arus malam itu. Selama dua malam penuh ketidakpastian, mereka bertahan hanya dengan doa dan harapan tipis agar air segera surut.
Ketika akhirnya banjir reda dua hari kemudian, Agus turun dari loteng dan menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya remuk redam. Rumahnya hanyut terendam lumpur setebal lutut, menyisakan hanya puing-puing dan kenangan. Empat karung padi miliknya yang dua hari lalu tersimpan rapi di dalam rumah berhasil ia selamatkan, namun kini butirannya basah dan mulai berkecambah karena terlalu lama terendam.
Itu berarti sumber pangan utama keluarganya ikut musnah. Istri Agus berdiri di sampingnya, menatap kosong reruntuhan rumah yang kini nyaris tak dikenali. Jemarinya gemetar, bibirnya berzikir lirih seakan berusaha menenangkan hati yang retak melihat kenyataan pahit di depan mata.
Meski bantuan darurat berupa makanan dan air bersih mulai berdatangan, Agus merasakan bahwa kebutuhan mereka lebih dari sekadar sembako. “Kalau ke mari belum [merata]. Bukan kita aja, semuanya [sulit],” ujarnya, mengeluhkan distribusi bantuan yang belum menjangkau semua orang. Bagi Agus dan warga Desanya, pemulihan pasca-banjir bukan hanya soal bantuan materiil, tapi tentang mengembalikan harapan.
Mereka bahu - membahu membersihkan pekarangan dan jalan-jalan desa dari lumpur tebal, berjuang menguras air yang masih menggenang di rumah-rumah. “Ini tentang membersihkan lumpur dari kehidupan dan kembali memiliki tempat layak yang disebut rumah,” tuturnya sembari menatap sisa-sisa dinding yang berdiri miring. Meski berat, Agus dan para penyintas lain di Pidie Jaya mencoba bangkit perlahan, saling menguatkan untuk membangun lagi kehidupan mereka dari nol, di atas tanah berlumpur yang dulu mereka sebut kampung halaman.
Shanaz - Terjebak 4 Hari di Tengah Longsor Bireuen
Shanaz Alzamru (kiri) mengisahkan perjuangannya bertahan hidup saat terjebak bencana longsor di pedalaman Bireuen, Aceh. Selama empat hari ia menyusuri jalan rusak (kanan) sejauh puluhan kilometer, menembus tujuh titik longsor dan sungai deras demi mencapai tempat aman.
Bencana akhir November itu tak hanya berupa banjir; di wilayah pegunungan seperti Kabupaten Bireuen, tanah longsor besar juga terjadi bersamaan. Shanaz Alzamru, seorang perempuan berusia 20 - an yang bekerja di Gayo Lues, menjadi saksi sekaligus korban betapa mencekamnya terisolir di tengah longsoran.
Hari Selasa, 25 November 2025, Shanaz menumpang mobil travel dari Medan menuju Banda Aceh untuk perjalanan dinas. Namun keesokan dini hari, Rabu 26 November, kendaraan yang ia tumpangi terjebak longsor parah di daerah Côt Panglima, perbatasan Bireuen.
Seketika akses jalan terputus total di depan mereka, tumpukan tanah, batu, dan pepohonan menutup jalan di sekeliling, hujan deras terus mengguyur. Jaringan telepon hilang, listrik padam, persediaan makanan nyaris tak ada. Shanaz dan para penumpang lain mendapati diri mereka terisolasi tanpa kabar dunia luar, dihantui ketakutan akan longsor susulan.
Berbekal tekad untuk selamat, Shanaz bersepakat dengan dua rekan seperjalanan (dua orang bapak dari Gayo Lues) untuk berjalan kaki mencari jalan keluar. Mereka meninggalkan mobil dan mulai menyusuri jalan berlumpur di tengah hujan, melewati titik-titik longsor yang berserak.
Tujuh titik longsor harus mereka lalui mulai dari timbunan tanah setinggi lutut hingga lereng bukit yang ambles yang membuat langkah mereka tersendat - sendat. Shanaz mencatat, total jarak yang mereka tempuh mencapai sekitar 15-20 km berjalan kaki di medan ekstrem.
Sore harinya, mereka tiba di sebuah kampung bernama Tipeun Mane. Namun ujian belum usai: jembatan utama menuju Kota Bireuen di Tipeun Mane telah amblas, memutus jalur evakuasi normal.
Malam pertama, Shanaz bermalam di rumah salah satu warga setempat yang berbaik hati menampung mereka. Di desa tersebut segala fasilitas serba terbatas: aliran listrik padam, tak ada sinyal komunikasi, air bersih pun sulit.
Meski warga setempat juga terdampak bencana dan logistik menipis, mereka tak segan berbagi mi instan, air minum, pisang bahkan tempat berteduh bagi Shanaz dan pengungsi lain yang singgah solidaritas di tengah kesulitan yang sangat menyentuh hatinya.
Hari-hari berikutnya, Shanaz bersama tim kecilnya terus berusaha mencari jalan alternatif keluar dari daerah terisolir. Kamis, 27 November, mereka bergabung dengan petugas TNI (Babinsa) setempat menjajal beberapa rute, namun dua jalur pertama gagal ditembus karena jembatan putus dan longsor besar menghadang.
Akhirnya mereka memilih menembus hutan Blang Sebunang, sebuah jalur ekstrem tanpa jalan setapak yang penuh lumpur licin dan bebatuan terjal. Dengan kaki lecet dan tenaga yang kian menurun, Shanaz tetap melangkah melewati hutan lebat tersebut selama berjam-jam hingga petang menjelang. Di beberapa titik, mereka bahkan harus merangkak di atas papan dan batang kayu yang dijadikan jembatan darurat oleh warga untuk melintasi kubangan lumpur tebal.
Jumat, 28 November menjadi hari penentuan bagi Shanaz. Pagi itu beredar kabar di kalangan pengungsi bahwa ada jalur tembus menuju Meunasah Teupeun Mane dengan bantuan tangga darurat yang dipasang warga.
Shanaz bergegas bergabung dengan rombongan penyintas lain. Dengan sisa energi yang ada, mereka menyeberangi sungai besar dan melewati jembatan miring yang ujungnya sudah jebol di Simpang Jaya.
Setiap langkah terasa berat, tetapi di balik derita itu mulai muncul secercah harapan. “Melewati sungai adalah angin segar bagi kami, karena akhirnya kami berhasil melewati zona bahaya,” ungkap Shanaz mengenang momen di mana rombongannya berhasil keluar dari area rawan longsor.
Perjalanan belum usai mereka masih harus berjalan kaki belasan kilometer lagi menuju pusat Kota Bireuen. Tanjakan curam, jalan berlubang, dan tanah licin bekas longsor terus menguji ketahanan mereka. “Perjalanannya sangat melelahkan, kami mulai pukul 13.00 dan berjalan sekitar 20 km melewati trek tanjakan yang seperti tiada ujung...,” tutur Shanaz dalam unggahan kronologinya di media sosial.
Setelah total empat hari terjebak dalam bencana, perjuangan Shanaz akhirnya berbuah manis. Menjelang sore hari keempat, ia dan rekan-rekannya tiba di sebuah kampung yang tidak lagi terisolasi. Dengan sisa tenaga, Shanaz berhasil mendapatkan tumpangan kendaraan menuju Bireuen kota.
Sesampainya di tempat aman, ia segera mengabari keluarganya bahwa ia selamat, mengakhiri tujuh hari tanpa kontak yang dilalui keluarganya dalam cemas. Kisah dramatis Shanaz ini kemudian ia bagikan melalui akun TikTok pribadinya, yang segera viral di media sosial dan mengundang banjir doa serta dukungan dari warganet.
Bagi Shanaz, pengalaman ini meninggalkan kenangan tak terlupakan tentang ketakutan, kelelahan, sekaligus harapan yang silih berganti dirasakannya selama terisolasi di tengah alam Aceh yang murka.
Ketiga kisah di atas hanya sekelumit dari banyaknya cerita penyintas bencana Aceh yang menggugah hati. Dari Ayah yang berjuang menyelamatkan anak-anaknya, warga desa yang kehilangan rumah dan harta benda namun tetap tegar bergotong-royong, hingga perempuan muda yang berjalan puluhan kilometer menembus hutan dan longsor demi bertemu keluarganya lagi.
Di tengah duka dan kerusakan yang meluas, semangat pantang menyerah dan solidaritas sesama warga Aceh menjadi cahaya di tengah gelapnya bencana. Pemulihan tentu tak akan mudah dan butuh waktu panjang ribuan orang masih mengungsi, infrastruktur porak poranda, dan trauma bencana membekas di benak para korban.
Namun, seperti dikatakan Agus, pemulihan ini “lebih dari sekadar bantuan material, ini tentang mengembalikan harapan”. Selama harapan itu tetap menyala, Aceh akan bangkit kembali bersama kisah-kisah keberanian dan ketabahan para penyintasnya yang tak akan terlupakan.[Ratnalia]
