DIALEKSIS.COM | Feature - Udara Meuligoe Wali Nanggroe terasa hangat oleh kehadiran jajaran manajemen PT Pembangunan Aceh (PEMA). Ia juga menjadi saksi dari sebuah pertemuan yang sarat makna bagi masa depan ekonomi Aceh.
Di ruang yang sarat sejarah itu, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, duduk dengan tatapan tenang namun penuh makna. Ia menyambut Direktur Utama Mawardi Nur, Direktur Komersial Faisal Ilyas, Direktur Umum dan Keuangan Tgk M. Nur, beserta tim, bukan sekadar sebagai tamu resmi, tetapi sebagai pengelola masa depan Aceh.
“Arahkan usaha kalian pada yang benar-benar menghasilkan pendapatan,” ujar Wali Nanggroe, suaranya lembut tapi tegas, seolah menanamkan pesan di hati setiap orang yang hadir. “Tak perlu banyak usaha, tapi pilih yang tepat.”
Bagi Wali Nanggroe, PEMA bukan sekadar entitas bisnis. Ia adalah simbol ikhtiar Aceh untuk bangkit kembali -- menyusun ulang kejayaan yang pernah bersinar dari bumi Serambi Mekkah
Aceh, dalam pandangan Malik Mahmud Al Haythar, dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang nyaris tak tertandingi.
Dari perut bumi yang menyimpan cadangan gas, hingga laut luas yang kaya ikan, dari tanah subur pertanian hingga bentang alam strategis yang menghadap jalur perdagangan dunia.
Bahkan, sejumlah analis menyebut cadangan gas Aceh sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Namun kekayaan, kata Wali Nanggroe, tidak akan bermakna tanpa ketepatan memilih jalan.
Ia menekankan agar PEMA berani fokus pada sektor-sektor prospektif yang memiliki orientasi pasar ekspor, salah satunya sektor perikanan. Di sektor inilah Aceh memiliki keunggulan komparatif, laut yang luas, biodiversitas tinggi, dan posisi geografis yang strategis.
“Langkah usaha PEMA harus selalu berpijak pada potensi nyata yang dapat mendongkrak pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucap Wali Nanggroe.
Tak kalah penting, setiap rencana bisnis dan pendirian anak perusahaan harus berdasar kebutuhan nyata, bukan ambisi semata. “Efisiensi adalah kunci. Jangan sampai anak usaha menjadi beban,” pesannya, mengingatkan bahwa kebijakan harus selalu berpijak pada realitas.
“Langkah yang tepat akan menguatkan, langkah yang salah akan melemahkan,” ujarnya dengan tegas.
Di titik inilah pesan Wali Nanggroe terasa seperti jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ia mengingatkan kejayaan Aceh tempo dulu, saat wilayah ini menjadi pusat perdagangan, pelabuhan internasional, dan simpul ekonomi kawasan sekaligus menantang PEMA untuk menerjemahkan kejayaan itu dalam konteks zaman kini.
Di balik arahan strategis itu, terselip pula pesan moral tentang tata kelola. PEMA diminta untuk menjalankan prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang transparan, akuntabel, dan profesional. Rencana bisnis harus disusun dengan indikator capaian yang jelas, agar setiap program kerja dapat dievaluasi secara berkala dan berjalan sesuai target.
Pertemuan itu, diwarnai dengan diskusi yang hangat dan penuh perhatian, menjadi cerminan kepedulian Wali Nanggroe terhadap masa depan ekonomi Aceh. Di balik formalitasnya, tersirat keyakinan bahwa dengan manajemen yang tepat, Aceh mampu kembali menapak kejayaan, tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
Saat pertemuan itu berakhir, yang tertinggal bukan sekadar catatan bisnis, tapi semangat untuk mengembalikan kejayaan Aceh. PEMA diharapkan menjadi lebih dari sekadar perusahaan daerah; ia harus menjadi simbol kebangkitan, tempat potensi Aceh diwujudkan menjadi pendapatan nyata, dan setiap langkah membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. [adv]
