Sabtu, 25 Oktober 2025
Beranda / Feature / Penertiban Tambang Emas Ilegal dan Setoran ke APH

Penertiban Tambang Emas Ilegal dan Setoran ke APH

Jum`at, 24 Oktober 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

ilustrasi tambang emas ilegal. Foto: Midra/Infografis Detik


DIALEKSIS.COM | Feature - Pemerintah Aceh mulai menunjukan sikap seriusnya,  menertibkan tambang emas illegal. Lantas bagaimana dengan setoran ke Aparat Penegak Hukum (APH) yang selama ini telah mengusik publik?

Ada delapan kabupaten di Aceh yang berurusan dengan tambang emas illegal. Tahap awal Pemerintah Aceh memprioritaskan tiga kabupaten untuk penertiban, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Pidie. Penertiban akan dilakukan dengan pendekatan persuasif dan humanis, namun tetap tegas terhadap pelanggaran hukum.

Lantas bagaimana dengan hasil temuan Pansus Minerba DPRA, soal setoran para penembang illegal untuk biaya keamanan. Nilainya juga tidak main main mencapai Rp 360 miliar dalam setahun dari 1.000 unit alat berat yang beroperasi di lapangan.

Apakah Pansus DPRA hanya sekedar mengangkat isu, sementara fakta di lapangan tidak demikian? Namun bila fakta di lapangan benar adanya penambang illegal dan setoran ke APH, apakah pemetintah Aceh, khususnya Pansus DPRA membiarkan pihak yang mengeruk keuntungan di Aceh dibiarkan?

Soal Pemerintah Aceh akan menertibkan tambang emas illegal, Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, M. Nasir, mengatakan langkah ini bertujuan memastikan seluruh aktivitas pertambangan di Aceh berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan.

“Pendekatan yang kita gunakan adalah humanis, tapi tetap tegas terhadap pelanggaran. Pemerintah ingin memastikan kegiatan tambang di Aceh berlangsung sesuai aturan,” sebut Nasir dalam keterangannya, Kamis, 23 Oktober 2025.

Sekda mengatakan, langkah penertiban ini merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 000.7/1144/2025 tentang Pembentukan Tim Penertiban Pertambangan Ilegal di Aceh. Serta, hasil rapat Gubernur Aceh bersama Forkopimda pada 30 September 2025 di Meuligoe Gubernur Aceh.

Menurut Sekda, pendekatan humanis bukan hanya bertujuan menghentikan aktivitas tambang illegal. Namun juga untuk memastikan penertiban dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan kesejahteraan masyarakat.

“Pemerintah Aceh juga telah menyusun roadmap penertiban yang mencakup jadwal, pembagian wilayah, serta rencana operasi. Pelaksanaan di lapangan akan melibatkan pemerintah daerah bersama Polri dan TNI,” jelasnya.

Selain tiga daerah prioritas, penertiban juga menyasar lima kabupaten lainnya, yakni Aceh Besar, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan.

Pemerintah juga menyiapkan program pembinaan masyarakat penambang, melalui pembentukan koperasi tambang rakyat. Penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR), serta penerbitan izin pertambangan rakyat (IPR).

“Pemerintah telah membentuk tim lintas instansi untuk menyusun rencana aksi, manajemen risiko, serta jadwal pelaksanaan operasi ke lapangan,” kata Nasir. Semoga berjalan mulus.

Namun bagaimana dengan hasil Pansus Minerba DPRA? Benarkah aparat penegak hukum di Aceh dapat dibeli? Mereka menerima setoran dari penambang illegal. Atau ini hanya sekedar isu tanpa dasar dari Pansus DPRA?

Benarkah apa yang disampaikan Pansus Minerba DPRA? Atau hanya sekedar isu “memanaskan” situasi demi kepentingan tertentu? Banyak pihak yang meminta Pansus DPRA membuka data, dan menyelesaikan persoalan ini ke ranah hukum.

Namun sampai kini, soal uang setoran ke APH seperti yang disebutkan Pansus DPRA, belum ada endingnya. Apakah “pencuri” hasil bumi Aceh selama ini tidak tersentuh hukum? Apakah Pansus DPRA bertanggungjawab atas laporannya? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI