DIALEKSIS.COM | Feature - Di tengah sorotan kamera Mata Najwa, pada momen yang seharusnya menjadi panggung ketegasan politik, Muzakir Manaf tokoh yang akrab disapa Mualem oleh rakyat Aceh tak mampu menahan air mata.
Ia menangis bukan karena kelemahan, tetapi karena luka lama yang kembali disayat oleh kenyataan hari ini.
Bagi Mualem, bencana besar yang menimpa Aceh kali ini bukan sekadar genangan air dan tanah longsor. Ia adalah pengingat pahit akan tragedi terdalam yang pernah dialami negeri ini. Dan hadirnya Najwa Shihab, sang jurnalis yang menjadi saksi awal kehancuran Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004, membuat momen itu kian menggigit.
Najwa adalah salah satu reporter pertama yang menginjakkan kaki di Aceh dalam hari-hari paling gelap dua dekade lalu: meliput tumpukan jenazah, reruntuhan tanpa batas, dan rasa tak berdaya yang menghantui setiap sudut kota. Kini, dua sosok yang sama kembali dipertemukan dalam ruang berbeda namun dengan luka yang serupa.
Maka ketika Mualem berbisik lirih, “Ini tsunami kedua,” kalimat itu bukan hiperbola. Itu adalah pengakuan jujur dari seseorang yang pernah melihat Aceh runtuh dan kini menyaksikan rakyatnya kembali terbenam dalam bencana yang dikelola negara dengan lambat dan setengah hati.
Sejak hujan ekstrem mengguyur, tujuh kabupaten/kota di Aceh terendam banjir. Akses utama terputus, listrik padam berkepanjangan, ekonomi lumpuh, ribuan rumah hanyut dan rusak, ratusan hektar sawah tenggelam, dan ribuan pengungsi hanya bisa bertahan di posko darurat yang kekurangan logistik.
Aceh, yang belasan tahun terakhir menata diri dengan anggaran terbatas untuk pemulihan pascakonflik, kini dipaksa menanggung krisis yang melampaui kapasitasnya. Dan dari titik inilah kritik Mualem lahir.
Ia menolak tegas anggapan bahwa bencana ini hanya urusan daerah. “Ini bukan hanya tanggung jawab Aceh,” tegasnya.
Baginya, status bencana nasional bukan soal gengsi atau lempar tanggung jawab -- melainkan pintu resmi agar negara mengerahkan seluruh kekuatan: logistik, anggaran, dan struktur tanggap darurat berskala besar yang tidak bisa dikerjakan sendiri oleh provinsi.
“Kalau ini bukan bencana nasional, saya tidak tahu lagi apa yang disebut nasional,” ujarnya getir. Di balik itu, ada pertanyaan yang jauh lebih tajam, berapa besar penderitaan rakyat harus terjadi sebelum negara mengakuinya sebagai krisis nasional?
Wawancara itu juga menjadi ruang bagi Mualem menyampaikan kritik moral terhadap sebagian pemimpin daerah yang dianggap tidak sigap menghadapi bencana.
Dengan nada menusuk, ia berkata: “Kalau tidak sanggup, jangan jadi pemimpin.”
Ini bukan sekadar sindiran politik. Ini adalah standar moral.
Bagi Mualem, pemimpin bukan hanya wajah di baliho, tetapi sosok yang hadir di tengah lumpur, tidur di posko, dan bekerja untuk rakyat saat rakyat berada di titik paling rapuh.
Air matanya bukan air mata sentimentil tetapi alarm keras bahwa Aceh membutuhkan kepemimpinan yang tangguh, bukan sekadar jabatan.
Soal bantuan luar, Mualem bersikap realistis namun tetap menjaga marwah Aceh. “Kalau ada yang mau bantu, kenapa tidak?” ujarnya.
Namun ia segera menarik garis batas tegas. Bantuan boleh datang dari manapun, tetapi Aceh harus tetap berdiri sebagai subjek, bukan objek.
“Jangan sampai kita jadi penonton di tanah sendiri,” tegasnya.
Trauma masa lalu mengajarkan bahwa bantuan yang tidak dikelola transparan bisa menggerus kedaulatan. Aceh membuka tangan, tetapi tidak menanggalkan harga diri.
Wawancara Mata Najwa ini lebih dari sekadar potret duka. Ia adalah cermin retak yang memperlihatkan kegagalan sistemik bahwa dua dekade setelah tsunami, Indonesia masih tersandung dalam hal paling dasar -- hadir cepat, hadir tepat, dan hadir sepenuh hati.
Najwa menjadi saksi sejarah dari dua babak berbeda: yang satu sebab gelombang laut, yang satu sebab gelombang kelalaian.
Dan di sela tangis Mualem, tersimpan jeritan rakyat Aceh yang lelah menunggu.
Menunggu negara hadir bukan hanya lewat rombongan pejabat dan kamera, tapi lewat keputusan strategis, kebijakan yang bekerja, dan sistem yang menyelamatkan.
Aceh tidak meminta belas kasihan. Aceh meminta kehadiran negara yang seharusnya tidak pernah terlambat. [arn]