Minggu, 07 Desember 2025
Beranda / Pertahanan dan Keamanan / Flower Aceh Desak Perlindungan Khusus Perempuan dan Anak di Lokasi Bencana

Flower Aceh Desak Perlindungan Khusus Perempuan dan Anak di Lokasi Bencana

Sabtu, 06 Desember 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Flower Aceh, Riswati. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dampak bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Aceh dan Sumatera dalam beberapa waktu terakhir tidak hanya menghancurkan sektor ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga memperparah kerentanan perempuan dan anak, terutama di lokasi pengungsian.

Direktur Flower Aceh, Riswati, menegaskan bahwa situasi darurat bencana telah memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap perempuan dan anak, baik di ruang fisik maupun di ruang digital.

“Kekerasan digital bergerak cepat, berdampak luas, dan sering tidak disadari sebagai pelanggaran hak. Di tengah kondisi darurat bencana, perempuan dan keluarga harus memiliki kewaspadaan serta kemampuan untuk melindungi diri,” ujar Riswati kepada media dialeksis.com, Sabtu (6/12/2025).

Menurutnya, meningkatnya akses internet yang tidak diiringi dengan literasi digital yang memadai telah memicu lonjakan kasus kekerasan digital terhadap perempuan dan anak perempuan.

Situasi ini semakin mengkhawatirkan ketika terjadi di area bencana dan pengungsian, di mana kontrol sosial melemah dan privasi nyaris tidak ada.

Riswati menjelaskan, bentuk-bentuk kekerasan digital kini semakin kompleks, mulai dari pelecehan daring, penyebaran konten tanpa izin, hingga ancaman dan perundungan berbasis gender.

Karena itu, Flower Aceh terus mendorong penguatan strategi keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagi perempuan di wilayah terdampak bencana.

“Berbagai kasus yang dikonsultasikan kepada kami menunjukkan bahwa banyak korban belum memahami mekanisme pencegahan maupun pelaporan. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua pihak,” katanya.

Flower Aceh juga menerima laporan langsung dari jaringan lapangan mengenai kondisi serius di wilayah terdampak banjir.

Riswati menyebut, hingga saat ini masih banyak daerah yang airnya belum surut, rumah dan ladang warga rusak, dokumen-dokumen penting hilang, serta bantuan sulit menjangkau wilayah terisolasi akibat akses jalan yang terputus.

“Situasi di lapangan menunjukkan betapa rentannya perempuan dalam kondisi krisis, belum termasuk lansia dan penyandang disabilitas yang belum seluruhnya terdata,” ungkapnya.

Kebutuhan dasar seperti air bersih dan pangan menjadi persoalan utama di pengungsian. Selain itu, kebutuhan khusus perempuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi juga belum sepenuhnya terpenuhi.

Kelangkaan BBM turut memperparah distribusi logistik. Di sejumlah wilayah, harga kebutuhan pokok melonjak tajam.

Bahkan, harga telur dilaporkan menembus Rp200.000 hingga Rp300.000 per papan, membuat beban hidup pengungsi semakin berat. Ketersediaan bahan makanan pun semakin menipis dari hari ke hari.

Tidak hanya soal pangan, terputusnya jaringan internet dan aliran listrik di banyak titik juga menyulitkan proses evakuasi, pendataan mandiri, hingga pelacakan keberadaan warga terdampak.

Flower Aceh juga mencatat berbagai risiko tambahan yang secara khusus dialami perempuan selama bencana.

Di Aceh, seorang perempuan dilaporkan menjadi korban perkosaan saat menumpang truk untuk menyelamatkan diri dari banjir. Peristiwa ini menambah panjang daftar ancaman terhadap perempuan dalam situasi darurat.

Di Aceh Tamiang, seorang ibu yang baru melahirkan mengalami gangguan kesehatan akibat kesulitan mengakses air bersih dan layanan kesehatan.

Sementara itu, kisah memilukan juga datang dari seorang perempuan pekerja yang bermaksud pulang kampung sambil membawa uang hasil jerih payahnya untuk disumbangkan, namun seluruh tabungannya terkuras di perjalanan akibat mahalnya biaya transportasi, BBM, dan kebutuhan hidup lainnya.

Kelangkaan bahan makanan bahkan turut memicu potensi hingga aksi penjarahan di beberapa wilayah terdampak.

Riswati juga mengungkapkan bahwa dampak banjir tidak hanya dirasakan oleh warga, tetapi juga oleh relawan dan pendamping lapangan. Sejumlah CO, staf lapangan, hingga pendiri Flower Aceh sempat hilang kontak akibat terputusnya komunikasi di wilayah bencana.

Atas kondisi tersebut, Flower Aceh mendesak agar perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak lagi diposisikan sebagai isu sampingan dalam penanganan bencana.

Flower Aceh menilai bahwa tanpa kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan, perempuan dan anak akan terus menjadi pihak yang paling terdampak dalam setiap bencana yang terjadi.

“Perlindungan perempuan harus menjadi prioritas dalam setiap tahap penanggulangan bencana, mulai dari mitigasi, tanggap darurat, hingga pemulihan. Dan peningkatan literasi digital juga merupakan kebutuhan yang mendesak,” tutup Riswati. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI