DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar, mengecam rencana penambahan empat batalyon Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh. Menurutnya, langkah ini bertentangan dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 yang menjadi dasar perdamaian Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Penambahan pasukan TNI justru mengancam komitmen perdamaian. Sejak 2005, rakyat Aceh hidup aman, bahkan eks kombatan GAM turut menjaga stabilitas. Mengapa kini tiba-tiba perlu tambahan batalyon?” tegas Malik Mahmud dalam pernyataan resminya, Sabtu (3/5).
Ia menegaskan, situasi geopolitik regional ASEAN, termasuk dengan India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Australia, relatif stabil.
“Jika ada ancaman eksternal, rakyat Aceh sanggup mempertahankan diri. Sejarah membuktikan Aceh mampu melawan Portugis 100 tahun, Belanda 70 tahun, dan Jepang 3,5 tahun,” ujarnya.
Sorotan serupa disampaikan Ketua Komisi I DPRA, Tgk Muharuddin. Politikus Partai Aceh ini menyebut rencana Kementerian Pertahanan membangun Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di empat wilayah (Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, Aceh Singkil) berisiko membangkitkan trauma konflik 1998-2005.
“MoU Helsinki pasal 4.7, 4.8, dan 4.11 jelas mengatur jumlah pasukan TNI organik di Aceh hanya 14.700 personel, tanpa penambahan besar-besaran. Saat ini, Kodam Iskandar Muda sudah memiliki 13 batalyon. Untuk apa lagi empat batalyon baru?” papar Muharuddin.
Ia mengingatkan, masyarakat Aceh masih rentan trauma. “Mereka baru merasakan perdamaian setelah puluhan tahun konflik. Jangan kembali ciptakan ketakutan dengan mendatangkan pasukan tambahan,” tambahnya.
DPRA merinci, saat ini Aceh telah memiliki 13 batalyon TNI, termasuk Yonif 111 di Aceh Tamiang, Yonif 112 di Banda Aceh, hingga Brigif 25 di Aceh Utara. Menurut Muharuddin, memperkuat pasukan organik yang ada lebih masuk akal ketimbang membentuk unit baru.
“Personel TNI di Aceh terus bertambah melalui rekrutmen. Jika ingin meningkatkan pertahanan, optimalkan yang sudah ada,” tegasnya.
Kedua tokoh mendesak Kementerian Pertahanan RI mengkaji ulang rencana tersebut. “Pemerintah pusat harus duduk bersama Pemda Aceh, DPRA, dan Wali Nanggroe untuk cari solusi tanpa melanggar MoU Helsinki,” imbau Muharuddin.
Proyek pembangunan empat YTP ini rencananya dikerjakan oleh empat kontraktor swasta, termasuk PT Performa Trans Utama (Pidie) dan PT Teguh Karya Sejati (Aceh Singkil). Namun, hingga kini belum ada tanggapan resmi dari Kemenhan RI.
Malik Mahmud menekankan, kunci kemajuan Aceh adalah menjaga kepercayaan kedua pihak atas MoU Helsinki. “Komitmen itu adalah benteng pertahanan terkuat. Jangan sampai langkah sepihak menghambat pembangunan Aceh yang sedang bergerak,” pungkasnya.