Kamis, 15 Mei 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Gemuruh Protes Lomba Lari FKIJK Aceh: Lari Sehat vs Marwah Syariat

Gemuruh Protes Lomba Lari FKIJK Aceh: Lari Sehat vs Marwah Syariat

Rabu, 14 Mei 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Leaflet kegiatan FKIJK Run yang baru saja selesai diadakan pada 11 Mei 2025 lalu. Kegiatan ini cukup membuat keriuhan, terutama di jagad media sosial terkait busana lari yang dianggap kurang sesuai dengan norma Syariat Islam dan adat istiadat Aceh. [Foto: dok. FKIJK Aceh]


DIALEKSIS.COM | Indepth - Lomba lari FKIJK Aceh Run 2025 yang digelar di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, pada 11 Mei lalu, menyisakan pelbagai cerita: dari antusiasme ribuan pelari hingga gelombang kritik pedas tentang kesesuaian busana dengan nilai Syariat Islam. Acara yang diinisiasi oleh Forum Komunikasi Industri Jasa Keuangan (FKIJK) Aceh bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh ini sejatinya hendak mengkampanyekan gaya hidup sehat sekaligus menumbuhkan literasi keuangan melalui olahraga. Namun di balik semangat fun run berbalut keindahan alam Serambi Mekkah, muncul kontradiksi antara dinamika sosial dan tuntutan syariat.

Pada 13 Februari 2025, Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, bersama Wakil Wali Kota Afdhal Khalilullah, secara resmi mengadakan audiensi dengan panitia FKIJK Aceh Run 2025. Pertemuan di Balai Kota itu menghasilkan komitmen dukungan penuh pemerintah daerah, baik dari aspek pengamanan, penerapan lalu lintas, hingga fasilitas pendukung di hari-H. Illiza menegaskan, “Kami mendukung penuh, karena event ini tidak hanya mendorong gaya hidup sehat, tetapi juga memperkuat pariwisata dan perekonomian lokal.”

Panitia menetapkan dua kategori lomba, 5 km dan 10 km, dengan titik start dan finish di lapangan ikonik Blang Padang. Registrasi peserta dibuka pada 18 Januari hingga 2 Maret 2025, dan menargetkan 2.000 pelari dari dalam maupun luar Aceh. Setiap peserta mendapat jersey, medali finisher, dan kesempatan memperebutkan hadiah total Rp100 juta. Rute lomba melewati objek wisata alam, situs sejarah tsunami, dan garis pantai, menawarkan pengalaman olahraga dalam balutan lanskap eksotis.

Salah satu tujuan strategis FKIJK Aceh Run adalah mendukung Aceh Sport Tourism 2025. Ketua panitia, Thasrif Muhardi, meyakini lomba ini jadi ajang sempurna memadukan kompetisi, keindahan alam, dan kearifan lokal. “Kami bermimpi menjadikan Banda Aceh destinasi wisata olahraga unggulan. Setiap tahun, FKIJK Aceh Run akan rutin dihelat, memperkuat branding kota sebagai tempat berolahraga yang bernuansa budaya,” ujarnya.

Namun di tengah optimisme itu, muncul suara-suara protes menyangkut aspek kepatuhan syariat. Aceh, yang secara resmi menerapkan Qanun Syariat Islam, memiliki aturan tegas soal aurat dan adab berpakaian di ruang publik. Kontroversi merebak ketika banyak peserta pria dan wanita terlihat mengenakan celana pendek, legging ketat, dan kaos membentuk lekuk tubuh. Foto dan video yang beredar di media sosial memicu kritik bahwa panitia terlalu longgar merancang regulasi pakaian.

Tgk. H. Umar Rafsanjani, Lc., M.A., pimpinan Dayah Mini Banda Aceh, mengungkapkan kekecewaan mendalam. Dalam keterangan resmi, ia menegaskan bahwa Aceh seharusnya menegakkan syariat dengan tegas, termasuk dalam acara olahraga. “Daerah ini harus menjadi contoh dalam menjaga adab berpakaian, bahkan dalam fun run. Melihat celana pendek di atas lutut justru melanggar semangat syariat,” ucap Rafsanjani. Ia mendesak pemimpin daerah dan panitia merumuskan aturan berpakaian yang sesuai syariat, bukan membiarkan pelanggaran.

Reaksi serupa datang dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh. Ketua MPU, Tgk. H. Syibral Malasyi, menegaskan bahwa panitia telah melanggar kesepakatan tertulis berdasarkan Fatwa MPU Aceh 2013 tentang etika busana. “Sudah ada surat pernyataan bermaterai, tapi pelaksanaan di lapangan tak sesuai. Ini mencederai marwah syariat dan adat di kota ini,” kata Syibral. Menurutnya, kealpaan ini merusak citra Aceh sebagai wilayah yang menegakkan hukum Islam.

Masyarakat menanti tindakan tegas Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) Banda Aceh. Aktivis perempuan Yulindawati menuntut agar Satpol PP dan WH segera memanggil panitia dan melakukan evaluasi. Ia bahkan mengusulkan EO acara dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist) agar menjadi pelajaran bagi penyelenggara lain. 

“Ini penghianatan atas nama syariah dan melukai marwah perempuan Aceh,” katanya. Desakan serupa mengemuka dalam forum-forum daring: banyak yang sepakat, fun run tak harus melanggar norma busana.

Polemik ini meluas hingga Jakarta. H. Sudirman, anggota DPD RI asal Aceh yang dikenal sebagai Haji Uma, melayangkan surat resmi ke OJK Pusat pada 12 Mei 2025. Dalam suratnya, ia meminta evaluasi menyeluruh, terutama terkait kesesuaian norma Syariat Islam dan adat istiadat Aceh. Ia juga mengusulkan agar pejabat OJK di Aceh diisi oleh putra daerah yang memahami kearifan lokal. 

“Kami tidak menolak kegiatan nasional, tapi di Aceh wajib menyesuaikan norma, adat, dan nilai keislaman,” tegasnya.

Tak hanya aspek syariat, FKIJK turut dikritik karena minim substansi literasi keuangan. Fathurrahman Mauqi, Sekjen HMI Komisariat FEBI, menilai agenda fun run terlalu simbolik dan kurang memberikan pemahaman keuangan syariah. 

“Masyarakat Aceh butuh program yang langsung meningkatkan literasi ekonomi, bukan sekadar seremoni olahraga,” ujarnya. 

Ia berharap FKIJK ke depan lebih fokus pada kegiatan pendidikan, misalnya workshop dan pendampingan UKM syariah.

FKIJK Aceh Run 2025 menjadi studi kasus ketatnya tarik-menarik antara kemajuan ekonomi, olahraga, dan identitas religius Aceh. Di satu sisi, event ini berpotensi mendongkrak pariwisata dan ekonomi kreatif lokal. Di sisi lain, ketegasan syariat menjadi tolok ukur utama dalam kehidupan publik.

“Olahraga dan syariat sebenarnya bisa bersinergi,” ucap Rafsanjani. 

Ia mencontohkan perlunya regulasi busana khusus misalnya celana olahraga panjang bermaterial ringan dan jersey longgar yang ramah syariat sekaligus nyaman bagi pelari. Model semacam ini telah diterapkan di banyak negara Muslim dan bisa diadaptasi di Aceh.

Dari polemik ini, menurut Herman RN Dosen FKIP Universitas Syiah sekaligus budayawan bisa diambil pelajaran penting bagi semua pemangku kepentingan.

“Penting diawal dan dipastikan semua peserta sebelum dimulai lomba lari Satpol PP, WH, dan MPU memastikan kepada panitia agar peserta tunduk dan taat terhadap pedoman berpakaian yang rinci, mengakomodasi syariat dan fungsionalitas olahraga,” ungkapnya kepada Dialeksis.

Hal lain disampaikan Herman untuk masukan ke depan agar tidak terjadi hal serupa wajib melakukan sosialisasi dari awal terkait aturan harus diumumkan sejak awal, disertai contoh visual dan sosialisasi intensif ke komunitas lari dan masyarakat umum.

“Kolaborasi lintas sektor perlu sinergi pemerintah, ulama, EO, dan pelaku ekonomi kreatif untuk merancang acara ramah syariat dan bernilai edukatif, selain itu integrasi literasi keuangan: selipkan kegiatan edukasi, seperti booth OJK, lokakarya kuliner halal, dan diskusi UKM syariah selama event berlangsung,” ujarnya.

Terpenting, menurutnya monitoring dan evaluasi bentuk tim evaluasi pasca-event untuk menilai kepatuhan syariat, kepuasan peserta, dan dampak ekonomi.

“Ke depan, kunci sukses terletak pada komunikasi terbuka, regulasi yang jelas, dan kolaborasi antarpihak. Bila hal ini terwujud, Banda Aceh tak hanya menjadi tuan rumah event olahraga berskala internasional, melainkan juga contoh harmonisasi antara syariat Islam dan kemajuan sosial - ekonomi,” pungkasnya. [red]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas