Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Jangan Salah Resep dan Aceh Kreatiflah Agar Tidak Selamanya Miskin

Jangan Salah Resep dan Aceh Kreatiflah Agar Tidak Selamanya Miskin

Kamis, 26 Januari 2023 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi [Foto: net]


Angka Kemiskinan

Selama periode September 2021-Maret 2022, persentase penduduk miskin di Aceh turun dari 15,53 persen menjadi 14,64 persen. Di daerah perdesaan turun 1,17 poin (dari 18,04 persen menjadi 16,87 persen) sedangkan di perkotaan, persentase penduduk miskin turun sebesar 0,27 poin (dari 10,58 persen menjadi 10,31 persen).

Penuruan itu dipengaruhi beberapa paktor, antara lain, simaklah berita yang ditayangkan Serambi Indonesia pada Juli 2022 judul Penurunan Kemiskinan di Aceh dinilai Dampak Kenaikan Produksi Padi, Angka Kemiskinan Aceh Capai 21,83 persen.

Seperti diberitakan, pakar Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Dr Rustam Effendi mengungkapkan pendapatnya, andalan mata pencarian masyarakat Aceh, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan.

Mayoritas penduduk di Aceh, banyak berada di pedesaan bermata pencaharian sebagai petani, pekebun, peternak dan nelayan. Jadi kalau angka kemiskinan di pedesaan sudah menurun, maka secara kumulatif jumlah penduduk miskin di Aceh ikut menurun, sebut Rustam.

Menurut Rustam sesuai dengan angka kemiskinan Aceh pada Maret 2022, dia berharap, ke depannya, jika angka kemiskinan di perkotaan ingin turunnya besar, pertama siapkan penciptaan lapangan kerja baru.

Menarik investor lokal, nasional dan asing untuk menanamkan investasinya di Aceh, di berbagai Kawasan Ekonomi, seperti KEK Arun, KIA Ladong dan lainnya, termasuk pariwisata.

Kemudian, memberikan skim kredit khusus kepada UMKM yang berada di perkotaan dan pedesaan, untuk tambah modal usaha dan investasi alat produksi, agar perputaran produksi usaha UMKM nya jadi meningkat.

Berdasarkan hasil Susenas BPS, pengeluaran masyarakat kota kenaikannya cukup besar dari 577.270 naik menjadi 606.294, sementara pengeluaran masyarakat pedesaan juga naik, tapi rendah dari 541.000 menjadi 565.762.

Untuk mempertahankan peningkatan produksi tanaman pangan dan perkebunan, kata Rustam Effendi, anggaran untuk sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan di pedesaan perlu dipertahankan, minimal tidak kurang dari kondisi sebelumnya.

“Dalam menghadapi penurunan penerimaan dana Otsus, separuh dari sebelumnya mulai tahun 2023, ini menjadi beban dan tantangan yang sangat besar bagi Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota,” ujar Rustam Effendi.

Hasil Susenas BPS secara nasional bulan Maret 2022 tentang penuruan penduduk miskin di Aceh, diduga pihak BPS, salah satu faktor pendukungnya, menurut hasil kerangka sampel area (KSA) terhadap produksi padi di Aceh pada bulan Maret, naik menjadi 249,190 ton atau sebesar 63,66 persen, dibandingkan September 2021 sebanyak 152.260 ton.

Dampak dari kenaikan produksi itu, telah meningkatkan nilai tukar petani (NTP) secara umum 3,88 persen dari 103,26 persen menjadi 103,88 persen. Kenaikan NTP itu juga didorong oleh peningkatan NTP pada sub sektor tanaman pangan dan perkebunan.

Kadis Pertanian dan Perkebunan Aceh Ir Cut Huzaimah MP yang dimintai tanggapannya mengatakan, masuk akal dugaan BPS mengenai jumlah penduduk miskin di Aceh telah menurun dari 15,53 persen pada September 2021 menjadi 14,64 persen pada Maret 2022, salah satu faktornya karena meningkatnya produksi dana harga tanaman pangan dan perkebunan.

Pada periode September 2021 “ Maret 2022, sebut Cut Huzaimah, produktivitas hasil panen padi di Aceh mengalami kenaikan dari 5,3 ton/hektar menjadi 5,6 ton/hektar. Harga gabah juga terus berada di atas HET Pemerintah Rp 4.700 - Rp 5.300/Kg. Semenatra HET Pemerintah untuk gabah kering panen (GKP) Rp 4.250 - 4.300/Kg.

Begitu juga dengan harga komoditi perkebunan, antara lain TBS sawit. Sebelum pemerintah menyetop ekspor CPO, 28 April 2022 lalu, harga TBS sawit petani di Aceh melambung tinggi Rp 2.500 “ Rp 3.300/Kg. Turun kembali setelah ada kebijakan penyetopan sementara ekspor CPO, pada bulan April lalu.

Kenaikan produktivitas hasil panen padi terjadi secara menyeluruh, disebabkan karena keberhasilan pengembangan berbagai jenis bibit padi berproduktivitas tinggi. Selanjutnya peningkatan masa tanam padi. Diantaranya dari tanam padi setahun sekali, naik menjadi dua kali setahun (PI 200), setalah lahan sawah tadah hujannya masuk jaringan irigasi.

Kemudian, sawah yang sudah masuk jaringan irigasi, tanam padinya naik menjadi tiga kali setahun (IP 300) dan tahun ini direncanakan ada yang sampai empat kali setahun tanam padi (IP 400).

Untuk mengajak petani mau tanam padi tiga kali setahun (PI 300), kata Cut Huzaimah, Distanbun Aceh memberikan bantuan bibit padi dan pupuk gratis kepada petaninya. Sehingga petani termotivasi untuk menanam padi setahun tiga sampai empat kali.

Petani yang sudah merasakan manfaat dari program IP 300, tanam setahun tiga kali, kata Cut Huzaimah, pada tahun berikutnya, tanpa diberikan bantuan bibit padi dan pupuk gratis, kelompok tani padi telah melakukannya secara mandiri.

Soal kemiskinan Aceh juga menjadi perhatian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Organisasi ini telah telah melakukan kajian masalah kemiskinan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Kemiskinan di Aceh bisa diatasi apabila dana otonomi khusus (otsus) dikelola dengan benar. Peneliti KPPOD Arman Suparman (Seperti dilansir CNBC Indonesia) menjelaskan, persoalan kemiskinan di Aceh disumbang oleh persoalan tata kelola pembangunan di daerah.

Seharusnya pembangunan di sana bisa difokuskan untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat di Aceh.

"Tata kelola pembangunan, dari birokrasi dan pelayanan publik tidak banyak memberikan andil untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga salah satu kontribusi angka kemiskinan," kelas Arman kepada CNBC Indonesia.

"Tata kelola pembangunan dan implementasinya seharusnya fokus ke persoalan masyarakat di daerah. Kadang pemerintah daerah itu kurang tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat," kata Arman melanjutkan.

Melihat sumber daya alam yang ada di Aceh, seperti kopi dan kakao, seharusnya kata Arman bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat di sana. Optimalisasi produksinya, menurut Arman salah satunya bisa digunakan melalui dana otsus.

Menurut Arman, dana pembangunan di Aceh terbesar berasal dari dana otsus. Pun 50% penerimaan daerah berasal dari dana otsus yang setiap tahun digelontorkan oleh pemerintah pusat.

"Seharusnya dengan dana otsus itu bisa untuk mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat Aceh. Caranya, dana otsus dialokasikan untuk pembiayaan prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dari sistem perencanaan harus fokus," Jelasnya.

"Money follow program, ketika punya fokus, anggaran seharusnya mengikuti programnya. Ini yang belum optimal dijalankan Pemda Aceh. Juga dari pemerintah pusat kurangnya pengendalian dan pengawasan," jelas Arman.

Oleh karena itu, menurut Arman pemerintah pusat semestinya bisa memberikan semacam NSPK. Atau lebih tepatnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai pedoman dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren (bersaingan) serta menjadi kewenangan pemerintah pusat dan untuk menjadi kewenangan daerah.

Sementara dari tahun yang sudah berjalan, sambung Arman dana otsus di Aceh tidak dipergunakan secara rata, baik itu untuk infrastruktur, kesehatan atau pendidikan. Dari pengamatannya sejauh ini, dana otsus banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur di Aceh pun tidak memberikan multiplier effect yang signifikan untuk masyarakatnya.

"Seharusnya infrastruktur itu untuk mempermudah konektivitas masyarakat. Perlu meningkatkan kebijakan lain, karena mata pencaharian besar di Aceh kebanyakan adalah petani. Perlu memajukan kesejahteraan petani dengan program lain. Makanya dana otsus sebaiknya fokus," jelas Arman.

Dana yang dikucurkan untuk mengangkat harkat dan martabat, membebaskan diri dari kemiskinan terbilang besar. Namun prediket miskin belum juga mampu ditanggalkan Aceh, bahkan masih masuk peringkat pertama di Sumatera.

Bila ingin meningalkan sebutan termiskin ini dihilangkan, jangan salah minum obat. Jangan salah resep dalam menanganinya, seperti yang disentil Mendagri dan banyak pihak lainya.

Kalau bukan kita yang memperbaiki diri siapa lagi yang diharapkan untuk mengubahnya. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum itu tidak bersunguh-sunguh mengubahnya.

Jangan saling salah menyalahkan, jangan lagi mencari pembenaran. Jangan salah resep dalam menanganinya. Aceh membutuhkan manusia yang mau, mampu dan ihklas untuk membebaskan diri dari kemiskinan. Apakah ada yang mau dan mampu? Ayo buktikan……..! *** Bahtiar Gayo

Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda