Senin, 09 Juni 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Karhutla Meningkat, Apa Kita Biarkan?

Karhutla Meningkat, Apa Kita Biarkan?

Minggu, 08 Juni 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi
Ilustrasi keadaan hutan kebakaran. Foto: net

DIALEKSIS.COM | Indepth - Asap yang mengepul pekat masih membubung di udara, titik titik api akibat lahan yang “terbakar” masih menghiasi negeri ini. Seluruh penjuru Pertiwi masih disibukan dengan Krathula, tentunya tidak ketinggalan Aceh di dalamnya.

Apakah persoalan yang setiap tahunya menjadi petaka ini dibiarkan berlanjut, bergulir berganti masa, tidak pekakah kita melihat amukan alam karena ulah manusia?

Setelah periode relatif tenang pada 2020 - 2022, Indonesia kembali dilanda lonjakan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang 2023 hingga 2024. Musim kemarau 2023 yang dipengaruhi El Niño memicu kebakaran besar di Sumatera, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara, menyelimuti wilayah luas dengan kabut asap pekat. 

Dampak kesehatan dan lingkungan pun kian nyata, sementara para aktivis dan akademisi lingkungan menilai upaya penanganan pemerintah masih belum optimal. 

T. M. Zulfikar dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah dan mantan Direktur Walhi Aceh kepada Dialeksis mengemukakan kritik tajam terhadap lemahnya penegakan hukum dan menawarkan serangkaian solusi untuk mencegah bencana serupa terulang. 

Selain itu pendapat lain tersampaikan dari berbagai hasil tracking redaksi media Dialeksis. Berikut laporan selengkapnya.

Citra satelit NASA (2 Oktober 2023) memperlihatkan kepulan asap kebakaran hutan di provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Setelah tiga tahun terakhir relatif terkendali, luas lahan yang terbakar naik drastis pada 2023. 

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas karhutla 2023 mencapai 1,16 juta hektare, melonjak hampir lima kali lipat dibanding tahun 2022 yang sekitar 204 ribu hektare. Musim kebakaran 2023 itu bahkan tercatat terburuk sejak 2019, ketika El Niño besar terakhir terjadi. 

Kebakaran meluas di berbagai provinsi; Kalimantan Selatan tercatat paling parah dengan ~190 ribu hektare lahan terbakar, disusul Kalimantan Tengah (~165 ribu ha), Papua Selatan (~150 ribu ha), dan Sumatera Selatan (~132 ribu ha).

Tren ini mulai menurun pada 2024: hingga akhir tahun tersebut luas karhutla berhasil ditekan menjadi sekitar 376 ribu hektare, jauh lebih rendah dari 2023 meski masih lebih tinggi dibanding 2022. Sebaran lokasi kebakaran 2024 agak bergeser “ provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat area terbakar terbesar (~93 ribu ha, ~33% total), diikuti Nusa Tenggara Barat (~34 ribu ha) dan Jawa Timur (~19 ribu ha). Para ahli mengaitkan kenaikan karhutla 2023 dengan anomali cuaca El Niño. 

BMKG menyebut 2023 sebagai kemarau terpanas sejak 2019, ditandai curah hujan rendah yang memicu kekeringan luas. “Musim kemarau 2023 lebih kering dari 2019,” ujar Laksmi Dhewanthi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, seraya mengklaim pemerintah berhasil menekan luas kebakaran lebih rendah dari 2019. 

Data Sipongi KLHK menunjukkan penurunan titik panas signifikan pada 2024 seiring upaya pencegahan; sampai 10 Oktober 2024 terdeteksi 3.163 hotspot turun 59% dibanding periode sama 2023. Meski demikian, potensi karhutla tetap tinggi. 

BMKG menempatkan Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, dan Kalteng sebagai provinsi rawan karhutla pada musim kemarau 2024, beriringan dengan ancaman bencana kekeringan di wilayah tersebut. Memasuki 2025, pemerintah pusat menggelar Apel Kesiapsiagaan Karhutla nasional dan mengingatkan semua pihak agar tidak lengah menghadapi risiko kebakaran di tengah perubahan iklim.

Kebakaran lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (18 September 2023). Kebakaran hutan dan lahan dalam dua tahun terakhir menimbulkan kabut asap tebal yang menyebar di Sumatera, Kalimantan, hingga negara tetangga. 

Di banyak daerah, asap pekat menyebabkan kualitas udara anjlok dan jarak pandang ekstrem. Di Kalimantan Tengah, misalnya, jarak pandang dilaporkan turun kurang dari 10 meter pada puncak musim kebakaran 2023. Kota-kota seperti Palembang (Sumsel), Jambi, dan Pontianak (Kalbar) sempat diselimuti asap berhari-hari. 

Malaysia bahkan mengeluhkan kiriman asap lintas - batas yang memperburuk polusi di negaranya, meski Kementerian Lingkungan Hidup RI menyangkal terjadi 'transboundary haze' secara signifikan. 

Dampak langsung terhadap kesehatan masyarakat sangat memprihatinkan. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meningkat tajam di wilayah terdampak. Dinas Kesehatan Kota Jambi mencatat 10.787 kasus ISPA hanya dalam rentang Juli - Agustus 2023. 

“Sejak Juli angka ISPA melonjak; dua bulan terakhir lebih dari sepuluh ribu warga Jambi terkena ISPA,” ujar dr. Rini Kartika, Kabid P2P Dinkes Jambi. 

Akibat kualitas udara berbahaya, pemerintah Kota Jambi meliburkan sekolah PAUD hingga SMP dan menerapkan pembelajaran daring per awal Oktober 2023. Kebijakan serupa dilakukan di daerah lain. Di Banjarmasin, Kalsel, kabut asap mengakibatkan sekitar 6.000 warga menderita ISPA hingga awal Oktober. 

“Angka ini naik signifikan dari tahun lalu, semoga asap segera mereda,” kata Tabiun Huda, Kadinkes Banjarmasin, sambil menambahkan bahwa sekolah terpaksa dialihkan ke pembelajaran online selama kota terkepung asap. 

Selain ISPA, polusi asap karhutla juga memicu asma, iritasi mata, dan beragam penyakit pernapasan lainnya, terutama pada balita dan lansia. Dari sisi ekologis, kerugian lingkungan tidak kalah besar. Ribuan hektare hutan termasuk kawasan bernilai tinggi seperti lahan gambut dan habitat satwa dilindungi musnah dilalap api.

 Kebakaran di lahan gambut sangat berbahaya karena api membara di bawah permukaan dan sulit dipadamkan, melepaskan emisi karbon masif. KLHK mencatat 41 juta ton CO2 ekuivalen dilepaskan dari karhutla Januari - September 2024 saja. 

Di Aceh, hilangnya tutupan hutan dipercepat oleh karhutla dan deforestasi ilegal. Data Walhi Aceh menunjukkan provinsi ini kehilangan 10.610 hektare hutan sepanjang 2024, meningkat 19% dari 2023, dengan kawasan Ekosistem Leuser sebagai area paling terdampak. 

Luas karhutla Aceh pun melonjak dari 1.900 hektare (2023) menjadi 7.200 hektare (2024). Dampak lanjutan seperti banjir dan kekeringan kian sering terjadi di daerah - daerah yang hutan dan lahannya rusak terbakar. 

Walhi mengingatkan bahwa masyarakat lokal menjadi korban pertama atas bencana ekologis ini, menghadapi hilangnya mata pencaharian hingga ancaman kesehatan sehari-hari.

Para pakar sepakat bahwa karhutla di Indonesia jarang disebabkan faktor alam semata. Fenomena El Niño 2023 memang berperan besar memperparah kekeringan, menciptakan kondisi rawan kebakaran di banyak tempat. 

Namun, aktivitas manusia menjadi pemicu utama munculnya titik api. “Kebakaran hutan biasanya dimulai oleh petani yang membersihkan lahan untuk perkebunan,” ungkap laporan Kementerian Lingkungan Hidup. 

Pembukaan lahan dengan metode tebas-bakar dianggap cara murah dan cepat untuk ekspansi pertanian (seperti kelapa sawit dan tanaman pangan), meski dampaknya fatal. Analisis kebakaran 2023 mengindikasikan, banyak area terbakar berada di lahan perkebunan baru menunjukkan ekspansi lahan pertanian sebagai motif di balik api. 

Di tingkat masyarakat kecil, tekanan ekonomi juga berkontribusi,“Karena minim lapangan kerja lokal, sebagian orang membakar lahan terlantar untuk dijadikan kebun baru demi menyambung hidup” tutur laporan Mongabay. Selain kesengajaan untuk land clearing, kelalaian manusia turut memicu karhutla. 

Contohnya kebakaran di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, NTB, pada Oktober 2024 dipastikan 100% akibat ulah manusia seperti puntung rokok sembarangan, api unggun pendaki yang tak dipadamkan, hingga pemburu liar yang memakai api. Api yang mulanya kecil dapat dengan cepat meluas apalagi ditambah angin kencang di musim kemarau. 

Sementara itu, lahan gambut kering di Sumatera dan Kalimantan ibarat “bara dalam sekam” “ sekali terbakar sulit dikendalikan. Pembukaan kanal gambut dan musim kemarau panjang menyebabkan gambut sangat mudah terbakar dan merembet di bawah tanah. Faktor lain yang disorot adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Pembakaran lahan ilegal masih marak karena pelaku jarang ditindak tegas. 

“Karhutla 2023 menjadi bukti bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum gagal. Regulasi hanya di atas kertas,” kritik TM Zulfikar terhadap pemerintah. 

Investigasi Walhi dan Greenpeace menemukan sejumlah titik api berulang berada di konsesi perusahaan besar (perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri), tetapi sangat sedikit korporasi yang dihukum berat. Aparat kerap mengorbankan operator lapangan tanpa menyentuh dalang utamanya. 

Zulfikar mencontohkan, di Aceh Singkil masih terjadi praktik pembakaran lahan untuk ekspansi kebun sawit; alat berat beroperasi tanpa izin di kawasan hutan, menunjukkan kolusi antara oknum pejabat dan pengusaha nakal. 

Ia menyebut kondisi ini “bukan sekadar pelanggaran, melainkan kejahatan terstruktur yang merugikan masyarakat dan lingkungan”. 

Akibat penegakan hukum yang lemah, efek jera nyaris tak dirasakan pelaku pembakaran, baik individu maupun perusahaan. Hal inilah yang dikhawatirkan membuat bencana karhutla terus berulang tiap musim kemarau.

Sebagai akademisi dan aktivis lingkungan berpengalaman, TM Zulfikar menilai penanganan karhutla membutuhkan perubahan mendasar. Menurutnya, pemerintah selama ini gagal pada tahap implementasi kebijakan. 

“Peningkatan deforestasi dan karhutla membuktikan sistem pengawasan dan penegakan hukum gagal. Regulasi hanya di atas kertas,” ujarnya mengomentari lonjakan kerusakan hutan Aceh. 

Zulfikar mengkritik fokus pemerintah yang lebih banyak pada pembangunan infrastruktur dan agenda politik jangka pendek, sementara perlindungan ekosistem terabaikan. Ia menyoroti kasus Aceh sebagai cermin: dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang besar kurang dimanfaatkan untuk mitigasi bencana ekologis. “Pemerintah jangan hanya bicara dana otsus; lingkungan harus diurus. Bagaimana dana itu dipakai untuk pemulihan?” ujarnya menantang. 

Koordinasi lintas instansi pun dianggapnya masih lemah. Zulfikar mengingatkan bahwa instansi seperti Dinas Lingkungan Hidup, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), hingga pemerintah kabupaten belum bersinergi dalam satu peta jalan penyelamatan lingkungan. “Ini darurat, bukan isu musiman,” tegasnya, mengimbau semua pihak duduk bersama. 

Meski keras mengkritik, TM Zulfikar menyampaikan kritik konstruktif disertai solusi. Dengan latar belakang keilmuan dan pengalaman advokasi, ia menawarkan sejumlah langkah perbaikan konkret kepada pemerintah. 

Berikut adalah beberapa saran kunci dari Zulfikar untuk mengatasi karhutla dan kerusakan hutan di masa mendatang; pantauan dan peringatan dini berbasis teknologi.

“Mengalokasikan anggaran (termasuk dana otsus di Aceh) untuk membangun sistem pemantauan real - time dengan satelit dan ‘early warning system karhutla’. Deteksi dini akan memungkinkan petugas bergerak cepat sebelum api meluas tak terkendali. Teknologi juga dapat memantau titik panas di konsesi perusahaan secara transparan,” ungkapnya. 

Selanjutnya ide lain disampaikan Zulfikar membentuk tim penegakan hukum khusus yang melibatkan KLHK, Polri, Kejaksaan, dan masyarakat sipil untuk mengejar pelaku karhutla.

“Aparat harus menindak tegas pelaku utama, bukan hanya pekerja lapangan. Izin perusahaan yang terbukti lalai atau sengaja membakar lahan harus dicabut, disertai sanksi pidana dan perdata yang memberi efek jera,” tegasnya.

Masih menurut TM Zulfikar kepada Dialeksis memberikan solusi melakukan moratorium alih fungsi hutan dan restorasi lahan. “Menghentikan penerbitan izin baru yang mengonversi hutan, terutama di kawasan rawan (moratorium), hingga ada kajian lingkungan memadai,” ujarnya.

“Pemerintah daerah dan pusat perlu mempercepat program restorasi hutan dan lahan kritis, termasuk rehabilitasi lahan gambut dan DAS (daerah aliran sungai) untuk mencegah bencana ekologis. Rehabilitasi hutan juga menjadi solusi jangka panjang menjaga sumber air dan ketahanan pangan di tengah perubahan iklim,” jelasnya lagi.

Tidak luput kehadiran masyarakat dan mengedepankan kearifan lokal menurut Zulfikar sebagai solusi mengatasi karhutla.

”Melibatkan masyarakat lokal dalam pencegahan dan penanggulangan karhutla. Zulfikar mendorong pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal sebagai solusi berkelanjutan. Masyarakat adat dan petani perlu diberi edukasi dan alternatif metode membuka lahan tanpa bakar. Patroli berbasis komunitas dan Manggala Agni (brigade pengendalian kebakaran hutan) harus diperkuat di tingkat tapak,” jelasnya. 

 “Kemitraan antara aktivis, akademisi, dan pemerintah adalah kunci untuk menyelamatkan Aceh dari krisis lingkungan,” ujar Zulfikar menegaskan, menekankan kolaborasi multi-pihak. 

Setiap rencana pembangunan wajib melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ketat. Dengan integrasi AMDAL, potensi karhutla atau bencana ekologis bisa diantisipasi sejak perencanaan.

Zulfikar menegaskan lagi, tanpa langkah-langkah di atas, bencana ekologis dan ekonomi akibat karhutla akan terus berulang. Ia mendorong dibentuknya tim independen berisi para akademisi, aktivis, dan tokoh masyarakat untuk mengawal transisi menuju pembangunan rendah karbon. 

“Kita punya data dan ilmu. Saatnya bertindak sebelum kerusakan tak bisa dipulihkan,” tutupnya penuh peringatan. Pernyataan ini menggambarkan urgensi perubahan pendekatan: karhutla bukan lagi persoalan tahunan semata, melainkan krisis struktural yang menuntut keseriusan semua pihak.

Kasus karhutla 2023 - 2024 memberikan pelajaran mahal bagi Indonesia. Lonjakan kebakaran akibat kombinasi kemarau ekstrem dan ulah manusia telah menimbulkan kerugian multidimensi dari aspek kesehatan, ekonomi, hingga hilangnya kekayaan hayati. 

Upaya pemerintah menekan luas kebakaran pada 2024 patut diapresiasi, namun tantangan ke depan kian kompleks seiring ancaman perubahan iklim. 

Suara kritis seperti TM Zulfikar mengingatkan bahwa solusi tidak bisa lagi bersifat parsial. Diperlukan pembenahan kebijakan menyeluruh, penegakan hukum tanpa kompromi, serta kolaborasi erat antara pemerintah, ilmuwan, aktivis, dan masyarakat untuk mengakhiri siklus bencana karhutla. 

Jika rekomendasi dan peringatan ini diabaikan, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali “berkabut” dalam tahun-tahun mendatang. Hutan dan lahan adalah warisan bersama; melindunginya berarti melindungi masa depan bangsa.

Apakah kepulan asap karena ulah manusia ini terus dibiarkan berlanjut, setiap tahunya kepulan asap yang membubung ke udara senantiasa terjadi di negeri ini? Masih bernuraikah kita melihat kenyataan ini?

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI