Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Mafia Tanah dan Keseriusan Kejati

Mafia Tanah dan Keseriusan Kejati

Sabtu, 29 April 2023 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi [Foto: Net]

DIALEKSIS.COM | Indepth - Sepandai-pandai tupai melompat sesekali akan jatuh juga. Pepatah lama yang menarik untuk disimak. Seahli apapun seseorang “bermain”, sesekali akan terpeleset juga.

Menyebut nama Mursil, saat ini menjadi perhatian publik, khususnya di Aceh. Dia sudah ditetapkan sebagai tersangka, disebut sebut sebagai mafia tanah. Demi meraih keuntungan, tanah negara dibeli negara.

Dia seorang pejabat yang lihai dalam persoalan tanah, sebelum menjabat sebagai Bupati Aceh Tamiang, dia merupakan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Tamiang. Seluk beluk tanah dia faham.

Namun, sepandai pandainya “bermain”, bila melanggar hukum akan berhadapan dengan hukum. Kini dia menunggu waktu kapan akan ditahan pihak kejaksaan yang sudah menetapkan dia sebagai tersangka.

Kerugian negara akibat sepak terjangnya juga terbilang besar, mencapai Rp 64 miliar. Namun Mursil bukan pemain tunggal, dalam memuluskanya usahanya Mursil dibantu oleh tersangka lainya, TR dan TY.

Bagaimana kisahnya orang yang mengenakan lencana di dada sebagai pemimpin nomor satu di negeri Sedia Semuda ini bisa terjerat dalam kasus mafia tanah?

Menurut Kasi Penkum Kejati Aceh, Ali Rasab Lubis SH, saat dikonfirmasi Dialeksis.com, tersangka memalsukan sejumlah dokumen dan menjual tanah negara kepada negara. Dia melakukan tindak pidana korupsi.

Menguasai lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya Alur Jambu dan PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Meranti. Menerbitkan sejumlah Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah negara oleh pengurus PT. Desa Jaya Alur Meranti di Kabupaten Aceh Tamiang.

Menurut Kasi Penkum Kejati Aceh, kronologis perkara tahun 1963, PT Desa Jaya dengan Direktur Almarhum Tengku Abdul Jalil (Ayah Kandung tersangka TY dan TR) memiliki 2 Hak Guna Usaha (HGU) berupa lahan perkebunan Karet.

HGU pertama dengan nomor 25 D/H no. 1 (12 September 1970) (didaftarkan tanggal 24 Agustus 1963) dengan waktu selama 25 tahun berakhir pada tanggal 22 Agustus 1988 seluas 885,62 ha.

HGU kedua dengan nomor 24 D/H no. 1 dikeluarkan pada tanggal 12 September 1970 (didaftarkan tanggal 24 Agustus 1963) dengan waktu selama 25 tahun berakhir pada tanggal 22 Agustus 1988 (dihitung sejak didaftarkan) seluas 1.658 ha. 

Namun karena limit waktu HGU sudah habis, tidak ada perpanjangan izin untuk melanjutkan usaha di HGU tersebut. Kedua perusahaan ini tidak mengantongi izin untuk melanjutkan pengelolan HGU tersebut.

"Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan dari tahun 1988 hingga sekarang, kedua perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan dalam melaksanakan usaha perkebunan," sebut Ali.

Ali menyebutkan, untuk HGU PT. Desa Jaya Alur Jambu berakhir tahun 1988 hingga saat ini belum perpanjangan dan pembaharuan. Sementara izin usaha perkebunannya terbit tahun 2015. Untuk HGU PT. Desa Jaya Alur Meranti pembaharuan terbit tahun 2010 dan izin usaha perkebunannya terbit tahun 2014.

"Pada tahun 2009 pengurus PT. Desa Jaya TR mengajukan permohonan sertifikat hak milik diatas tanah negara yang berdekatan dengan Lahan Ex-HGU PT. Desa Jaya Alur Meranti dengan tujuan untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Makodim Aceh Tamiang," jelasnya.

Kemudian, kata Ali, dikarenakan asal muasal tanah tersebut merupakan tanah negara TR dengan dibantu oleh M (Kepala Kantor Pertanahan Aceh Tamiang Tahun 2009) membuat permohonan kepemilikan hak tanah dengan tujuan untuk bertani dan berkebun.

Setelah terbit sertifikat pada tanggal 5 Juni 2009, selang beberapa hari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi kepada TR atas tanah tersebut seharga Rp 6.430.000.000,-.

"Bahwa pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan dalam kurun tahun 1988 hingga sekarang, PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu dalam beberapa tahun tidak memiliki alas hak dan atau perizinan dalam melaksanakan usaha perkebunan," ungkapnya lagi.

Setelah ganti rugi tersebut, PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu mendapatkan keuntungan illegal, berasal dari pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan secara melawan hukum dan tidak berhak menerima ganti rugi.

“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan makodim Aceh Tamiang tahun 2009 yang berdampak kerugian keuangan negara dan perekonomian negara berkisar Rp 64 miliar,” jelasnya.

Apa peran para tersangka yang sudah memuluskan penerimaan ganti rugi itu? M (Kepala Kantor BPN Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2009 dan juga mantan Bupati Tamiang 2017-2022) dinilai sudah melawan hukum, menerbitkan Sertifikat Hak Milik diatas tanah negara.

“Tanah negara yang sudah bersertifikat itu kemudian dijual kembali kepada negara. Dia juga sudah memanipulasi beberapa dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik,” jelas Kasi Penkum Kejati Aceh.

Sementara itu, TY (Direktur PT. Desa Jaya Alur Jambu dan Direktur PT. Desa Jaya Alur Meranti) dan TR juga melakukan perbuatan melawan hukum. Pertama melakukan musyawarah dengan panitia pengadaan tanah tanpa kuasa pemegang hak dan alas hak.

Dia telah menerima pembayaran ganti rugi atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tanah negara. Memanipulasi beberapa dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik.

Permainan mereka terbilang rapi, hingga mendapatkan sertifikat dan menerima uang pembayaran ganti rugi. Namun berkat kejelian aparat penegak hukum, modus operandi mereka terkuak kepermukaan.

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, pihak kejaksaan sudah menetapkan 3 tersangka sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap Tindak Pidana Korupsi. Mereka dijadikan tersangka atas Penguasaan Lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya Alur Jambu dan PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Meranti.

Penerbitan beberapa Sertifikat Hak Milik atas Tanah Negara oleh Pengurus PT. Desa Jaya Alur Meranti, menjadi bukti mereka menjadi tersangka dan ketiga tersangka melanggar Pasal 2 Jo Pasal 3 UU TIPIKOR jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus itu terus bergulir, banyak pihak yang menaruh perhatian dalam persoalan mafia tanah, memberikan pernyataan dan mendukung pihak Kejati Aceh untuk menuntaskan kasus ini.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengapresiasi atas tindakan Kejati Aceh yang telah membuka perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait penguasaan lahan negara di Kabupaten Aceh Tamiang. 

Koordinator GeRAK Askhalani menilai bahwa kinerja Kejati dalam mengungkap kasus ini merupakan sebuah langkah penting dalam memberantas korupsi yang masih merajalela di Aceh. 

“Kajati harus segera menahan para tersangka dalam kasus ini, penahanan para tersangka akan membantu proses penyidikan kasus ini agar dapat dilakukan secara transparan dan profesional, dan juga mencegah adanya upaya intimidasi atau pengaruh dari pihak-pihak yang terkait dengan kasus ini,” kata Askhalani kepada Dialeksis.com.

Menurut Askhalani, dengan penahanan para akan mempermudah proses penyidikan yang sedang dilakukan. Tindak pidana korupsi yang dilakukan para tersangka merupakan korupsi yang luar biasa.

“Akibat dari tindakan tersebut, negara mengalami kerugian keuangan dan perekonomian sebesar Rp64 miliar, seperti yang diungkapkan oleh pihak Kajati Aceh,” kata Askhalani.

Sementara itu, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mendesak Kejati untuk terus melakukan pengembangan atas kasus dugaan tindak pidana korupsi ini.

“Pihak kejati Aceh perlu melakukan pengembangan kasus ini, karena pembelian tanah atau lahan itu menggunakan anggaran sumbernya dari APBK Kabupaten Aceh Tamiang,” kata Alfian Koordinator MaTA, kepada Dialeksis.com. 

Menurut Alfian, kasus ini hanya terlibat tiga nama yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Aceh. Perlu dilakukan pengembanga lagi diduga banyak pihak yang terlibat dalam kasus ini.

“Pada saat pembelian lahan itu harus dibentuk panitia permasalahan dan panitia sembilan, nah patut diduga kepala daerah saat itu (tahun 2009) berpotensi terlibat, termasuk juga panitia sembilan dan panitia permasalahan itu wajib diperiksa oleh Kejati Aceh,” kata Alfian. 

Selain bupati kata Alfian, juga harus diperiksa Sekda, ketua panitia dan juga anggota DPRK harus diperiksa.

“Mereka tidak mungkin tidak tahu kalau tanah yang dibeli itu lokasi HGU, masak dibeli dengan uang negara, ini kan Aneh. Kalau tidak ada by desain pasti itu bagi-bagi uang itu,” tambah Alfian.

MaTA meminta Kejati Aceh wajib menetapkan sebagai tersangka siapapun yang menikmati aliran dana dari Rp 64 miliar tersebut. 

“Tidak perlu diselamatkan, ini harus dibersihkan semua. Artinya menggunakan uang negara dan membeli tanah negara tapi mereka dapat untung, ini sebuah kejahatan yang tidak patut ditolerir dan jelas memang kejahatan luar biasa,” tambah Alfian.

“Kita mendukung langkah Kejati dalam proses pengembangan kasus ini semoga dapat diselesaikan secara utuh,” pungkas Alfian.

Ancaman Hukuman Mafia Tanah 

Sementara itu, praktisi hukum Aceh, Hermanto SH, dalam keterangannya kepada Dialeksis.com memberikan keterangan seputar ancaman hukuman mafia tanah.

Menurut Hermanto, praktik mafia tanah mencederai semangat luhur bangsa Indonesia. Bahwa pada Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 memandatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Biasanya modus yang digunakan mafia tanah antara lain, menggunakan surat hak-hak tanah yang dipalsukan; pemalsuan warkah; pemberian keterangan palsu; pemalsuan surat; jual beli fiktif; penipuan atau penggelapan; sewa menyewa; menggugat kepemilikan tanah dan menguasai tanah dengan cara ilegal.

Instrumen hukum pidana (kUHP) bisa digunakan untuk menjerat mafia tanah, misalnya delik pemalsuan, penggelapan dan penipuan serta penyertaan dan pembantuan seperti diatur Pasal 263, 266, 372, dan 378 jo Pasal 55 serta Pasal 56 KUHP.

Dijelaskan Hermanto, Pasal 263 KUHP yang berbunyi . pertama,barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Hermanto juga menjelaskan untuk menjerat mafia tanah juga bisa menggunakan Pasal 266 KUHP yang berbunyi : 

(1) Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 372 KUHP yang berbunyi, barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tanganya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

Pasal 378 KUHP yang berbunyi , barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

Dikarenakan praktek mafia tanah biasanya dilakukan secara bersama-sama, maka diperlukan keterlibatan dan kerjasama pihak terkait diantaranya ATR/BPN, Kepolisian dan Kejaksaan.

“Masyarakat juga harus berani melaporkan kepada pihak berwajib apabila menjadi korban atau mengetahui terkait dengan praktek mafia tanah. Jadi masyarakat juga memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus mafia tanah,” jelas Hermanto.

Sementara itu, pihak Kejati Aceh mengakui pihaknya komitmen dalam mengungkapkan kasus ini. Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh berencana untuk melakukan pemeriksaan terhadap mantan bupati Aceh Tamiang bernama Mursil. 

“Setelah lebaran ini kita akan jadwalkan langkah selanjutnya, apakah itu pemeriksaan atau lain-lain,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Aceh Ali Rasab Lubis, kepada Dialeksis.com, Jumat (28/4/2023).  

Ali Rasab Lubis saat dimintai keterangannya, mengakui hingga saat ini belum ada jadwal yang pasti terkait pemeriksaan mantan Bupati Aceh Tamiang, Mursil.

Meskipun begitu, Kejati Aceh berkomitmen untuk menindaklanjuti kasus ini secara profesional dan transparan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Nanti kami sampaikan kalau sudah ada kepastian waktu,” katanya singkat.  

Kinerja pihak Kejati Aceh dinanti publik, apakah aparat penegak hukum ini akan membuka terang benderang kasus tanah di negeri Raja Muda Sedia ini. Sepandai-pandai tupai melompat, sesekali akan jatuh juga. **** Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda