Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Menyimak Pro dan Kontra Revisi UU Kesehatan

Menyimak Pro dan Kontra Revisi UU Kesehatan

Kamis, 20 Juli 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Ilustrasi pro dan kontra pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang. [Foto: Yavdat/Shutterstock]


Mengapa Harus Disahkan UU Kesehatan?

Mereka yang berjuang dan menginginkan revisi UU kesehatan memberikan penilaian, semuanya ini demi lebih baiknya pelayanan kepada masyarakat.

Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dinilai akan memberikan kepastian terhadap jenjang karier calon dokter. Kehadiran produk hukum itu bisa menyegerakan calon dokter untuk bertugas.

“Disahkannya revisi UU Pendidikan Kedokteran ini (dampaknya) rantai birokrasi pelantikan seorang dokter itu bisa dipangkas. Jadi banyak dokter yang bisa langsung berpraktik di situasi pandemi ini,” kata Wakil Ketua Fraksi NasDem Willy Aditya, seperti dilansir Medcom.id.

Pokok dari revisi UU Pendidikan Kedokteran itu, kata Willy, sebagai pembaruan sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga, dokter dalam negeri bisa bersaing dengan dokter dari negara lain.

“Karena kondisi pasar tenaga kerja yang terbuka seperti ini, tentu menuntut peningkatan sumber daya manusia kita,” ujar Willy.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mengatakan dunia pendidikan kedokteran yang sudah maju harus senada dengan sistem pendidikan. Revisi UU, dinilai memberikan afirmasi terhadap masyarakat berprestasi yang kurang mampu.

“Itu yang kita dorong untuk harus ada klasterisasi terhadap mana yang kita berikan afirmasi, untuk orang-orang berprestasi tapi tidak mampu,” ucap Willy.

Sementara itu, pemerhati pendidikan kedokteran menilai, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia dinilai terlalu memonopoli dalam dunia kesehatan nasional dari hulu sampai ke hilir dan dilindungi oleh undang-undang. 

Mulai dari pembentukan kolegium kedokteran hingga menerbitkan surat izin praktik hanya bisa dilakukan oleh IDI. Rancangan Undang-Undang Kesehatan diharapkan bisa mengembalikan tugas itu ke negara.

Hal itu disampaikan Judilherry Justam, Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan dalam forum dengar pendapat RUU Kesehatan yang digelar RSUP Persahabatan dan Kementerian Kesehatan, Senin (27/3/2023). 

Menurut Judilherry, kewenangan IDI terlalu banyak dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Padahal, banyak hal yang tidak relevan untuk diurus oleh organisasi profesi seperti IDI.

Sementara itu Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril, pada medio Mei 2023 mengatakan, penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah justru berpotensi menghambat kebutuhan terhadap pelindungan hukum yang lebih jelas dan kuat untuk dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan.

Menurut dr. Mohammad Syahril , pasal-pasal terkait hukum yang dikhawatirkan para dokter dan tenaga kesehatan sudah ada di undang-undang yang berlaku saat ini, dan tidak ada organisasi profesi dan individu yang bersuara dan berinisiatif untuk memperbaikinya setelah berlaku hampir 20 tahun ini.

“DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada sehingga pasal-pasal terkait pelindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini. Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu. Yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes,” kata dr. Syahril.

“Jadi, kalau memang kekhawatirannya masalah pelindungan hukum, kenapa tidak dari dulu sih organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?,” tambah dr. Syahril.

Salah satu usulan peraturan dalam RUU yang dianggap bermasalah oleh organisasi profesi adalah situasi dimana dokter dapat digugat secara pidana atau perdata meskipun sudah menjalani sidang disiplin. Padahal, aturan tersebut adalah aturan lama yang sudah berlaku di UU Praktik Kedokteran 29/2004 saat ini.

Dalam pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran 29/2004 disebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Lebih lanjut, ayat (3) menyatakan bahwa pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Menurut dr. Syahril pasal-pasal tersebut masih dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki. Menurutnya, ada beberapa usulan baru pasal terkait dalam RUU Kesehatan diluar pasal-pasal pelindungan hukum yang sudah berlaku saat ini.

Penyelesain sengketa di luar pengadilan. RUU Kesehatan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perselisihan (Pasal 322 ayat 4 DIM Pemerintah) Anti-perundungan (anti-bullying). 

Tenaga medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan pelayanan kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan dan perundungan (Pasal 282 ayat DIM pemerintah).

Pelindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental dan perundungan juga tertuang dalam Pasal 208E ayat 1 huruf d DIM pemerintah.

Pelindungan untuk peserta didik. RUU Kesehatan menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum, dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan (Pasal 208E ayat 1 huruf a DIM Pemerintah)

Proteksi tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam keadaan darurat. Tenaga medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas (Pasal 408 ayat 1 DIM Pemerintah)

“DPR dan pemerintah masih membahas pasal pelindungan hukum dan mengundang masukan dari publik. Meminta proses pembahasan RUU Kesehatan untuk distop bukanlah solusi. Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah pelindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan,” ujar dr. Syahril, seperti disiarkan Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. 

Selanjutnya »     Triliunan Rupiah Terbang Ke Luar NegeriS...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda