Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Pengungsi Rohingya Antara Kemanusian dan Beban Negara

Pengungsi Rohingya Antara Kemanusian dan Beban Negara

Selasa, 30 Juni 2020 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto dok Aljazeera.com

Rasa kemanusian rakyat Aceh sudah tidak diragukan lagi. Mereka berlapang dada menerima pengungsi dari Rohingnya. Bukan sekali. Apalagi rasa persaudaraan itu terbangun karena satu kepercayaan, satu aqidah, Islam.

Asal ada arus pengungsian dari Rohingnya dan singah/terdampar di Aceh, senantiasa rakyat Serambi Mekkah menerimanya. Rakyat Aceh siap berbagi, merasakan penderitaan saudara mereka dari Rohingnya.

Bahkan saat dunia sedang dilanda wabah, dimana manusia yang meninggal cukup banyak akibat serangan corona, tidak membuat rakyat Aceh untuk menolaknya. Mereka tetap ingin membantu, bahkan mereka “pasang badan” demi membantu muslim Rohingnya.

Ketika mengetahui muslim Rohingnya terdampar di laut, hidup mereka dalam kondisi memprihatinkan, ada yang sakit, apalagi ada anak-anak di dalam kapal ini, hati rakyat Aceh tergugah. Mereka tidak tega membiarkan saudaranya seiman, menderita ditengah lautan.

Sebelumnya, pengungsi Rohingnya melalui penterjemahnya sudah meminta bantuan kepada Angkatan Laut yang ada di Aceh untuk menyiapkan kapal. Pengungsi ini akan melanjutkan perjalanan mereka ke Australia.

Namun rakyat Aceh yang mengetahui kondisi mereka dalam kapal ini tidak tega, jiwa mereka terpanggil untuk menyelamatkanya. Rakyat yang berada di bibir pantai Aceh Utara ini mendesak pihak berwenang setempat untuk membiarkan pengungsi bersandar di wilayah mereka.

Masyarakat mencegah aparat untuk mendorong kapal pengungsian ini ke lautan lepas. Tekad masyarakat yang kuat, mempuat pihak TNI AL mengizinkan dan memenuhi keinginan masyarakat. Bersama tim gabungan di Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara, masyarakat bahu membahu memberikan bantuan.

Ahirnya Muspida Aceh Utara turun tangan. Para pengungsi bukan hanya dilakukan rapid tes yang hasilnya negatif. Namun para pengungsi ini dirawat sementara waktu, yang sakit dibawa ke Rumah Sakit Cut Meutia, Aceh Utara,” sebut Muhammad Thaib, Bupati Aceh Utara.

Pihak Forkopimda Aceh Utara memastikan SOP penanganan Covid-19 mereka lakukan. Bila kondisi fisik mereka sudah membaik, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Australia. Melalui penterjemah mereka meminta bantuan kapal yang bagus untuk di lautan menuju negeri kangguru.

Pihak Pemda Aceh Utara sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengusahakan kapal, agar warga Rohingnya ini dapat kembali berlayar dengan selamat, menggapai pulau tujuan Australia.

Rasa persaudaraan dan kemanusiaan rakyat Aceh dalam membantu sudah terbukti, bukan hanya kali ini. Ketika ada yang membutuhkan pertolongan, rakyat Aceh sudah menunjukan sikapnya.

Namun nasip pengungsi Rohingnya tidak harus selamanya mengandalkan rasa kemanusian saudaranya. Mereka juga butuh jaminan hidup yang layak. Ketika mereka tiba dibumi Aceh, apakah hanya rakyat dan pemerintah Aceh saja yang memperhatikan nasib mereka?

Pembantaian dan Penyeludupan

Aksi pengungsi Rohingga melarikan diri dari negara Myanmar sudah berlangsung lama. Mereka bagaikan orang jajahan di negera sendiri. Sejak kekerasan marak di negara bagian Rakhine, aksi pengungsian besar besaran terjadi.

Sampai dengan Agustus 2017, diperkirakan 730.000 Rohingya mengungsi. Sampai kini aksi pengungsian itu masih terjadi. Sebagian besar etnis Rohingnya ini melintasi perbatasan darat ke Bangladesh. Mereka menyebar dan terdampar di beberapa tempat, termasuk di Aceh.

Pemerintah Myanmar dikecam dunia internasional, karena dituduh menyerang warga sipil Rohingya. Namun pemerintah Myanmar memberikan penjelasan operasi yang mereka lalukan ditujukan pada militan Rohingya yang menyerang pos-pos polisi dan militer Myanmar.

Nasib baik belum berpihak kepada orang-orang Rohingya. Mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, mereka dianggap sebagai pendatang gelap, walau sudah tinggal lama di Myanmar.

Munculllah aksi pengungsian besar-besaran dari Myanmar, warga Rohingnya ini menyelamatkan diri dari negara mereka sendiri. Sebuah negeri yang mereka harapkan dapat hidup tenang, ternyata jauh dari harapan.

Namun gelombang pengungsi Rohingya menempuh jalur laut di lepas pantai Indonesia, sudah berkurang sejak Thailand dan Malaysia meningkatkan pemberantasan jaringan penyelundup manusia pada tahun 2015 lalu.

Pemerintah Malaysia bertindak tegas pada awal Juni 2018. Negeri Melayu ini menahan 270 pengungsi Rohingya, kapal pengungsi ini tidak dapat berlabuh. Mereka terombang-ambing selama dua bulan karena perairan Malaysia. Para pengungsi ini kabur dari bagian selatan Bangladesh sejak awal April 2018.

Seorang jurnalis Khawaza Main Uddin, penulis yang memiliki gelar master dibidang jurnalis dan hubungan internasional, mengupas keadaan etnis Rohingnya. Sekilas tulisanya, dia menyebutkan lebih dari 730.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Pelarian itu terjadi ditengah pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran dimulai pada 25 Agustus 2017, ketika penumpasan militer dimulai di negara bagian Rakhine Myanmar.

Soal repatriasi (pemulangan kembali ke negeri asal) Rohingya tidak mungkin terjadi tanpa adanya koalisi internasional untuk menciptakan kondisi yang kondusif di Myanmar. Para pengungsi engan kembali dengan alasan keamanan.

Rohingya menuntut pengakuan sebagai warga negara Myanmar, keselamatan hidup mereka, dan kepemilikan properti mereka.

Dhaka sedang bekerja dengan badan pengungsi PBB, UNHCR, untuk memulai repatriasi dan telah mengirimkan 55.000 nama warga kepada otoritas Myanmar. Secara keseluruhan, 1,1 juta pengungsi Rohingya tinggal di sudut tenggara Bangladesh.

Penulis analisis ini menyebutkan, masalah Rohingnya bagi Bangladesh sudah berlansung sejak tahun 1990-an.

Namun setelah Bangladesh memberi perlindungan kepada Rohingya ( gelombang pengungsi Agustus 2017) komunitas internasional mengakui tanggung jawab kolektif untuk mendukung mereka dengan bantuan.

Namun, China dan Rusia menggagalkan tindakan Dewan Keamanan PBB yang mendorong Myanmar untuk mengatasi masalah tersebut. Myanmar tidak mengakui warga Rohingya sebagai warganya, dan pemerintah Bangladesh tidak menyebut mereka pengungsi.

Badan-badan pembangunan menggunakan istilah "orang terlantar dari Myanmar" untuk mengambil jalan tengah untuk mengidentifikasi kelompok etnis ini.

Myanmar, yang berada di persimpangan strategis antara Asia Selatan dan Tenggara, dianggap sebagai negara dengan potensi ekonomi yang melimpah dengan mineral dan kayu serta potensi untuk pariwisata.

Sementara China telah menjadi pemain paling berpengaruh dalam perekonomian Myanmar. India juga telah melakukan proyek besar, Proyek Transportasi Multi-Modal Kaladan, di Rakhine, di mana Jepang juga ingin berinvestasi.

Amerika Serikat, menurut Shahiduzzaman, cenderung mengangkat isu genosida atau pembersihan ras, yang menunjukkan keinginan Barat, bukan pihak yang turut berupaya memulangkan para pengungsi Rohingya.

Demikian analisis Khawaza Main Uddin. Dua faktor umum - ketamakan untuk mengusai sumber daya serta keuntungan bisnis dan Islamophobia - mungkin telah membentuk cara pandang negara-negara adidaya terhadap Rohingya.

Di Indonesia

Negeri Pertiwi juga menjadi tempat pengungsian Rohingnya. Dari berbagai sumber yang berhasil Dialeksis.com dapatkan, angka pasti tentang jumlah pengungsi Rohingnya di Indonesia belum ada rekap data mutahir.

Pada tahun 2015 saja, angkanya sudah mencapai 11.941 jiwa. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, per Maret 2015, sudah ada pengungsi Rohingnya yang berada di Indonesia mencapai 11.941 orang.

Pada tahun 2016, berdasarkan data badan pengungsi dunia UNHCR, ada 795 pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia.

Namun aksi gelombang pengungsi Rohingnya yang menjadikan Indonesia sebagai tempat “berlindung” senantiasa terus bertambah. Mereka ada yang menjadikan Indonesia hanya sebagai tempat meminta pertolongan sebelum menuju negara tujuan (Australia).

Bahkan, ada yang menetap lama, seperti Aceh misalnya, pengungsi Rohingnya sempat berbaur dengan masyarakat dan hidup berdampingan, walau ada sebagian dari mereka yang kembali melanjutkan perjalanan menuju negara suaka.

Menteri Luar Negeri, Retno menyikapi pengungsi Rohingnya yang kini berada di Indonesia, saat negeri ini sedang berperang melawan Covid-19, menyebutkan, perlu dilakukan langkah-langkah preventif guna mencegah warga Rohingya melakukan perjalanan laut yang berbahaya.

"Perlu diambil langkah-langkah preventif agar mereka tidak menjadi korban perdagangan manusia," tuturnya pada Rabu (24/06/2020), sebagaimana dikutip kantor berita Antara, usai menghadiri pertemuan informal para menlu ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) secara virtual dari Jakarta.

“Upaya untuk mempersiapkan repatriasi harus terus dilakukan dengan menghormati prinsip sukarela, aman, dan bermartabat," kata Retno.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, Presiden Joko Widodo memberikan arahan agar masalah Rohingya di Aceh diselesaikan dengan pendekatan kemanusiaan. Menurut Andi, sudah ada pertemuan antara menteri luar negeri dengan pemerintah Malaysia, Thailand, Myanmar soal Rohingya.

"Mengutamakan kemanusiaan. Pakai prinsip-prinsip yang ada di global untuk masalah-masalah pengungsi, utamakan kemanusiaan dalam menangani masalah Rohingya," kata Andi kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (18/5).

Andi menambahkan, pemerintah melalui kementerian luar negeri terus melakukan komunikasi dengan pemerintahan Myanmar. Kata Andi, sebetulnya ada 3 level di dalam menyikapi masalah Rohingya ini.

"Komunikasi dilakukan Kemenlu. Ada 3 level sebetulnya. Jadi komunikasi bilateral dilakukan, terus di lingkungan Asean juga dilakukan karena ini terkait dengan negara-negara kemungkinan tujuan dari pengungsi, dan juga global karena ada kaitannya dengan UNHCR," jelasnya.

Tanggungjawab Pemerintah Aceh?

Terdamparnya pengungsi Rohingnya di Bumi Aceh, secara kemanusian rakyat Aceh sudah menunjukan rasa hatinya, menolong sesama. Mereka bahu membahu, membantu semampu mereka. Demikian dengan pemerintah Aceh juga sudah menunjukan rasa pedulinya.

Namun bagaimana kelanjutan nasib pengungsi Rohingnya ini? Apakah karena mereka terdampar di Bumi Aceh menjadi tanggungjawab sepenuhnya pemerintah dan rakyat Aceh?

Dosen Hukum Unsyiah Putra Iqbal, kepada Dialeksis.com menjelaskan, seharusnya pemerintah pusat bertanggungjawab terhadap etnis Rohingnya yang terdampar di Aceh.

Menyikapi hal itu, Dosen Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), M Putra Iqbal, SH. LLM, penyelamatan yang dilakukan oleh nelayan Aceh Utara adalah panggilan hati dalam bentuk rasa kemanusian.

"Saya melihat ada sisi kemanusiaan, kemudian ada isu agama dan juga trauma stunami dulu. Karena waktu itu banyak yang membantu Aceh, itulah menjadi alasan masyarakat menampung Rohingnya," sebut Iqbal.

Namun persoalan pengungsian yang saat ini berada dipengungsian bekas kantor Imigrasi kawasan Peuntet, Kota Lhoksemawe, Iqbal meminta agar pemerintah pusat untuk lebih tanggung jawab.

"Paling yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah selain berkoordinasi dengan pemerintah pusat juga berkoordinasi dengan oragnisasi internasional seperti UNHCR dan lainya, jadi sebatas koordinasi, untuk tanggung jawab secara hukum tidak ada," ucapnya.

Menurut Putra Iqbal, Pemerintah Indonesia harus siap dari segi hukum terkait pengungsi warga asing. Pasalnya Indonesia bukanlah negara anggota konvensi pengungsi seperti Australia yang punya kewajiban terhadap pengungsi warga asing.

Sementara itu, Nasrul Rizal, peneliti dari Jaringan Survey Inisiatif (JSI) , selain sependapat dengan Putra Iqbal, dia menambahkan, soal pengungsi sudah diatur dalam UU NO. 27 Tahun 1999 khusunya pada pasal 37. Bahwa pengungsi yang mendarat di tanah air dikoordinasikan dengan badan yang mengurusi pengungsi PBB yaitu UNHCR.

UU itu sudah diimplementasikan dalan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

Jadi soal pengungsi, jelasnya, penangananya dilakukan berdasarkan kerja sama antara pemerintah pusat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui komisariat tinggi urusan pengungsi di Indonesia dan/atau organisasi internasional.

Ada regulasi yang mengurusi soal pengungsi sesuai ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, jelasnya.

Bahkan dalam UU ini secera tehnis juga disebutkan bagaimana penanganya, baik tingkat koordinasi, penampungan, pengawasan, sampai pengungsi yang berkebutuhan khusus (sakit, hamil, penyandang disabilitas, anak-anak, lanjut usia) juga ada mekanisme penanganya.

Pemerintah Aceh, jelasnya, hanya berkoordinasi dengan pihak terkait yang berwenang dalam menangani persoalan pengungsi. Namun sebagai manusia, rakyat Aceh sudah menunjukan rasa persaudaraanya.

Seharus pemerintah yang bertindak dalam persoalan ini, namun dalam persoalan pengungsi Rohingnya ini, pemerintah terkesan Lambat, akhirnya rakyat yang bertindak (tidak diatur dalam UU). Namun hal ini sangat baik dalam pandangan PBB.

Belajar dari pengalaman dan mempedomani aturan yang berlaku, semoga Pemerintah Aceh lebih memahami penanganan pengungsi, karena sudah punya pengalaman berulang.

Sekedar catatan; Pada tahun 2018 , nelayan Aceh pernah menyelamatkan 79 orang rohingnya di pantai Raja, Kabupaten Bireuen. Sebelumnya pada tahun 2016 ada 44 orang dari Srilangka juga pernah terdampar di lepas laut pantai Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Kini 99 etnis Rohingnya ditolong warga Aceh Utara.

Berbekal pengalaman, pengungsi ini juga manusia. Ada yang sempat membuat ulah, ada yang terpikat dengan wanita Aceh. Ada yang membuat keributan, bahkan terjadi perkelahian, ada yang lari dari pengungsian. Ada sisi negatifnya. Sementara status mereka belum warga negara pertiwi.

Untuk itu, harus ada pihak yang memastikan agar para pengungsi juga mengikuti aturan budaya tempat mereke mengungsi, menjaga etika, santun, serta yang terpenting mengikuti kaidah hukum, karena mereka berstatus sebagai pengungsi.

Menyinggung tentang pengungsi Rohingnya yang baru ditempatkan di kantor Imigrasi Aceh Utara, Kepala Divisi Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Aceh Herdaus, menjawab Dialeksis.com, belum mau memberikan keterangan lebih jauh soal pengungsi ini.Dia mengakui sedang mendalami data tentang pengungsi ini dan turun kelapangan.

Sementara itu, masyarakat Aceh dan berbagai pihak lainya, bahu membahu membantu pengungsi Rohingnya, walau negeri ini sedang dilanda wabah corona. Bekas kantor Imigrasi di Puentuet, Aceh Utara dijadikan tempat berteduh 99 etnis Rohingnya yang sudah berjuang dengan maut di laut lepas ini.

Sementara itu, direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menilai betapa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai solidaritas, tetapi juga sangat menghormati hak asasi pengungsi Rohingya yang selama ini terabaikan," kata Usman.

Senada dengan Usman, kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama, meminta perlindungan resmi dan menyeluruh dari pemerintah Aceh dan pusat.

Meskipun pemerintah Indonesia belum meratifikasi dan tidak memiliki mekanisme hukum nasional untuk menentukan status refugee. Tapi pemerintah berkewajiban untuk memenuhi dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) para pengungsi, sebut Sepriady.

Rakyat Aceh dan pemerintah sudah menunjukan suara hatinya dalam membantu pengungsi Rohingnya. Bantuan yang diberikan saat sedang dibutuhkan, bukan hanya akan diingat oleh mereka yang menerimanya. Namun telah menunjukan budaya yang luhur dan menandakan manusia punya hati.

Namun persoalanya pengungsi ini bukan menjadi tanggungjawab sepenuhnya masyarakat dan pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh hanya berkoordinasi. Persoalan repatriasi (pemulangan kembali ke negeri asal), ada pihak yang lebih berwenang.Ada aturan dan mekanisme.

Namun, Aceh sudah menunjukan ke dunia, bahwa di negeri paling ujung barat pulau Sumatra ini, didiami manusia yang berhati luhur. Mereka tidak tega membiarkan manusia yang sedang berjuang dengan maut dihempas gelombang.

Demikian dengan negara, walau mengurus pengungsi ini menjadi beban yang harus ditanggung negara, sebagai negara yang disingahi pengungsi, upaya kemanusian tetap dilakukan.

Rakyat Aceh sudah menunjukan jati diri sebagai manusia yang mau berkorban dalam menyelamatkan manusia lainya. Bukan hanya kali ini. Sikap berhati luhur sudah berulang kali ditunjukan rakyat Aceh. Bila hati sudah diikat dengan hati, semangat berkorban itu akan dimiliki. (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda