Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Pro Kontra PJ Kepala Daerah Kalangan TNI/Polri atau Sipil?

Pro Kontra PJ Kepala Daerah Kalangan TNI/Polri atau Sipil?

Sabtu, 09 April 2022 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Foto: (Liputan6.com/Trieyasni)


DIALEKSIS.COM | Indepth - Aceh kini masih dihangatkan dengan pembahasan soal PJ kepala Daerah, baik untul level gubernur dan bupati. Berahirnya masa jabatan Gubernur Aceh yang diemban Nova Iriansyah dan sejumlah Bupati Kepala Daerah, telah membuat perhatian kepada PJ terus mengeliat.

Banyak pihak yang memberikan pernyataan khusus untuk Aceh, sebaiknya mereka yang menjabat sebagai PJ baik untuk gubernur dan bupati harus dari kalangan sipil. Banyak pertimbangan dan pendapat mengapa harus sipil.

Dialeksis.com merangkum berbagai pernyataan itu, mengapa mereka menginginkan sipil, bahkan Mayjen TNI purnawirawan yang menaruh perhatian terhadap Aceh memberikan pernyataan, sebaiknya sipil yang profesional.

Direktur Pusat Analisis Kajian dan Advokasi Rakyat Aceh (PAKAR), Muhammad Khaidir dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, mengatakan, adanya usulan Penjabat Gubernur Aceh dari kalangan militer, baik dari TNI/Polri, merupakan ketakutan berlebihan pemerintah pusat terhadap Aceh.

“Aceh terkesan tidak aman. Padahal Aceh sekarang aman dan tentram, masyarakat sudah hidup dengan damai, hanya saja perekonomian terpuruk pasca Covid -19 dan Covid 19 bukan hanya Aceh melainkan dunia secara umum,” sebutnya.

Untuk itu, Pakar mendesak pemerintah pusat dalam hal ini mendagri untuk mempertimbangkan agar penempatan PJ Gubernur dari kalangan Sipil dan bukan Militer.

“Kenapa bukan militer, karena daerah Aceh pasca konflik bersenjata dan rawan militer memimpin Aceh. Pertimbangannya masih terkesan wilayah Aceh dikotakan sebagai daerah hot spot conflict, jika kalangan militer dipilih jadi PJ gubernur Aceh,” jelasnya.

Khaidir menyampaikan, bahwa harus dingat kondisi keamanan di Aceh sudah sangat kondusif tidak butuh perlakuan khusus dengan menempatkan PJ dari kalangan militer.

Patut dicatat, sebutnya, masyarakat Aceh sangat susah berinteraksi jika dari kalangan militer, disebabkan beban psikologi konflik yang masih membekas.

Pertimbangan lainnya, Aceh sangat butuh sipil yang berkarakter tegas, diterima, berpengalaman, komunikatif, sehingga memudahkan urusan pembangunan dan implementasi kepentingan pemerintahan pusat,” jelasnya.

Penekanan lebih tegas disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Hendra Saputra. kepada Dialeksis.com Hendra menyebutkan, Pj Gubernur Aceh menggantikan Gubenur Aceh, Nova Iriansyah yang akan berakhir pada 5 Juli 2022 mendatang, harus sipil.

Penujukan Pj Gubernur Aceh dari unsur TNI itu menyalahi UU No 34 tahun 2004 dimana TNI yang propesional itu adalah TNI yang terlatih, dipersenjatai lengkap dan tunduk pada otoritas sipil, yang kedua kalau dilihat dari fungsinya TNI lebih pada fungsi pertahanan negara, jadi secara ilmu yang didapatkan TNI akan lebih banyak mendapatkan ilmu pertahanan dari pada ilmu pemerintahan dan birokrasi," ujar Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra.

Hendra Saputra menyebutkan, jika melihat kedua analisa ini maka sangat tidak tepat jika Pj Gubernur Aceh dijabat dari unsur TNI.

"Kalau dilihat dari semangat reformasi yang belum selesai, terutama terkait fungsi teritorial yang belum tuntas, maka lebih bagus TNI berfokus untuk meyelesaikan hal yang substansial, yang menjadi tupoksi TNI,” sebutnya.

Demikian dengan Sekretaris Provinsi Aceh, Front Persaudaran Islam (FPI), Rifki bin Nyakwang, dia juga menyatakan PJ Gubernur Aceh harus dari sipil. Karena, kondisi Aceh sangat stabil, namun jika dibuat tidak stabil maka dapat diduga ada oknum tertentu yang sedang bermain dan menginginkan kalangan TNI yang ingin menduduki jadi Pj Gubernur Aceh.

"Aceh ini sudah aman, tidak perlu lagi ada upaya-upaya membuat stigma mengerikan lah soal kondisi di Aceh yang seolah-olah Aceh ini masih tidak aman atau tidak stabil. Jahat sekali jika muncul lagi "political bad actor" yang ingin mengambil peluang demi kepentingan bisnis politik untuk bisa menduduki Jabatan Pj Gubernur Aceh," tegasnya.

Rifki bin Nyakwang juga menilai keberadaan sosok Pj dari kalangan TNI menunjukkan masih kuatnya sterotip negatif pusat menganggap Aceh daerah yang rawan bernuansa konflik. Sehingga tidak hal ini tidak baik, jika menginginkan perdamaian berlanjut di Aceh.

"Aceh ini sudah damai, sudah aman bahkan masih terus menata kembali roda pemerintahannya yang sudah dijalankan oleh warga sipilnya. Justru jika dihadirkan sosok Pj dari kalangan TNI, maka tentu ini menunjukkan klise negatif pusat yang menganggap Aceh adalah daerah rawan yang selalu berkonflik," ucap Rifki.

Demikian dengan Cicit Sultan Alaidin Mansyursyah (Sultan terakhir Aceh), Tuanku Warul Walidin meminta kepada pemerintah pusat dapat menunjuk salah seorang putra terbaik Aceh yang berlatar belakang sipil untuk menjadi Pj Gubernur Aceh.

Tuanku Warul Walidin berharap Pj Gubernur Aceh yang ditunjuk oleh Pemerintah pusat dari kalangan sipil dapat memberikan kemakmuran dan ketenteraman serta keadilan bagi rakyat Aceh diseluruh Kabupaten/kota.

"Ia berharap Pemerintah pusat melalui Kemendagri tidak menunjuk Pj Gubernur Aceh dari latar belakang TNI/Polri, mengingat akan trauma masa lalu terhadap hal-hal yang berbau militer sehingga masyarakat dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dengan tenteram, damai dan terkendali," ujarnya.

Kearifan Lokal

Sehubungan masa kepemimpinan gubernur Aceh berakhir di 5 Juli 2022 diikuti bupati dan walikota se-Aceh ditahun sama, Ketua Ikatan Muslimin Aceh Meudaulat (IMAM), Tgk Muslim At Thahiri mengingat pemerintah pusat melalui Mendagri agar menunjuk Pj Gubernur, Bupati dan Wali kota, sesuai dengan kearifan lokal dan penerapan Syariat Islam di Aceh.

Kiranya menjadi pertimbangan Mendagri dan Presiden Jokowi, pintanya. Kearifan lokal itu, orang Aceh sendiri, lahir di Aceh, pernah bekerja di Aceh, dan faham adat istiadat Aceh. Untuk itu baiknya yang jadi PJ adalah putra Aceh asli.

Patut dicatat, sebut Tgk Muslim At Thahiri, PJ Gubernur sampai PJ Bupati dan Walikota, nantinya diberikan mandat mengurusi Aceh, terpenting wajib mendukung penerapan syariat Islam serta kekhususan Aceh yang melekat secara UU dan peraturan lainnya.

“Jika PJ Gubernur yang dikirim tidak mendukung pelaksanaan Islam di Aceh atau tidak mendukung kekhususan Aceh maka sama saja menanamkan bibit konflik kembali di Aceh,” tegasnya.

Tgk Muslim juga menyarankan, agar pemerintah pusat meminta pendapat dari Ulama, DPR Aceh, dan juga tokoh Aceh dalam penunjukan PJ Gubernur, bupati dan walikota agar diterima oleh semua.

Soal Sipil, juga disampaikan Mayjen TNI Purn Supiadin Aries Saputra. Dia memberikan penilaian soal PJ Gubernur yang kini hangat dibicarakan. Menurutnya, kalau ada sipil profesional lebih baik untuk PJ Gubernur.

Menurut Ketua DPP Partai NasDem Bidang Hankam ini, sebaiknya PJ atau PLT harus dari struktur Pemda, kecuali memang SDM-nya tidak tersedia, baru dipertimbangkan dari lainnya,” sebut Mayjen Purn. Supiadin, menjawab Dialeksis.com.

Ia mengatakan, pendekatannya juga seharusnya bukan sipil atau militer. Tetapi profesionalitas yang muaranya untuk menjamin kelancaran jalannya pemerintahan. Para PJ Kepala Daerah tidak boleh terkooptasi oleh politik praktis yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok politik yang ingin maju di Pilkada.

“Kalau ada Sipil yang profesional, itu lebih baik. Bangun diskusi yang baik juga, jangan diskusinya mengarah kepada mendiskreditkan pihak militer. Mungkin lebih baik membuat perbandingan antara sipil dan militer, bukan mendikotomikan,” pinta Supiadin.

Lebih jauh Anggota K3 (Komisi Kajian Ketatanegaraan) MPR RI menyebutkan, faktanya juga membuktikan banyak kepala daerah dari kalangan sipil terkena kasus korupsi. Jangan menganggap bahwa militer selalu ingin menjadi kepala daerah, sebutnya.

“Muara dari diakuinya adalah siapapun yang akan menjadi PJ Kepala Daerah, dia harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Minimal tidak menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat selama menjadi PJ,” sebut Supiadin.

Jangan dikontraskan?

Bagaimana dengan tanggapan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional Demokrat (NasDem) Aceh, Teuku Taufiqulhadi? Dia tidak setuju jika mengontraskan pemimpin yang kuat antara sipil dan militer dalam konteks politik di Aceh.

"Saya tidak setuju mengontraskan antara sipil dan militer dalam konteks politik di Aceh. Hal ini disebabkan karena keduanya bisa menjadi sumber kepemimpinan politik yang baik di Aceh," katanya.

Dalam artian, militer baik, sipil juga baik. Namun jika ada anggapan bahwa mencari pemimpin yang kuat harus melihat militer, itu pandangan yang salah.

Menurutnya, pemimpin yang kuat itu bukan karena didukung oleh "the gun" (senjata) melainkan pemimpin yang kuat itu adalah figur terpercaya dan konsisten dalam penegakan hukum.

"Jika demikian maka dalam tubuh sipil juga banyak yang memiliki karakter terpercaya dan konsisten," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com. Ia tidak melihat persoalan antara militer dengan sipil. Jika seorang sipil konsisten dan tegas, kenapa tidak sipil saja? sebaliknya jika militer itu tidak konsisten berarti dalam penegakan hukum ya sama saja bukan pemimpin yang lemah.

"Sebenarnya tidak selalu bisa dikaitkan antara militer dengan pemimpin yang kuat, orang selama ini menganggap bahwa pemimpin militer baik karena mereka kuat, ini salah satu perspektif negara berkembang," jelasnya lagi.

Mungkin militer memiliki senjata maka dianggap kuat. Pemimpin yang menghadirkan ketakutan itu tidak selalu baik, tetapi yang benar adalah pemimpin yang kuat.

Pemimpin yang kuat bisa berada dalam tubuh militer atau tubuh sipil. Ia menegaskan pemimpin Aceh jangan dikontraskan antara militer dengan sipil.

"Yang paling penting, kita jangan mengedepankan isu tentang perbedaan militer dengan sipil. Pandangan saya militer itu sudah bisa masuk juga ke ranah sipil. Bisa jadi sipil lebih baik atau sebaliknya," pungkasnya.

Mengapa Harus Sipil?

Aryos Nivada, Dosen FISIP USK, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif, dalam sebuah tulisanya mengurai panjang lebar mengapa harus sipil yang memimpim PJ Gubernur Aceh.

Dalam uraianya, Aryos menyebutkan, muncul wacana pengisian kekosongan PJ kepala daerah, agar diisi unsur TNI/Polri. Namun dalam hal ini perlu menjadi pertimbangan apabila posisi PJ diisi unsur tersebut, terutama di wilayah paska konflik.

Regulasi tentang penunjukan PJ kepala daerah sudah diatur dalam Pasal Pasal 201 ayat 9-11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan penjabat gubernur, bupati, dan wali kota berasal dari kalangan aparatur sipil negara (ASN).

Sementara, TNI-Polri sendiri tidak masuk dalam kategori ASN, sehingga jika mereka ditunjuk sebagai Pj kepala daerah, justru nantinya dapat memunculkan atau menghidupkan kembali dwi fungsi TNI-Polri.

Menurut Aryos, sudah seharusnya, pemerintah menghindari kontroversi dan spekulasi di tengah kompleksitas tensi politik 2024. Untuk menghindari ketegangan di level lokal, pemerintah perlu menempatkan prioritas utama mengisi PJ Kepala daerah dari kalangan sipil.

Lantas bagaimana dengan kriterita Gubernur Aceh? Pertama tentunya ASN. Kedua memahami tata kelola pemerintahan dan kekhususan Aceh dengan baik, terutama MoU Helsinki dan UUPA.

PJ Kepala Daerah harus memahami kultur, watak/karakter serta peta konflik Aceh. Citra netral dan non partisan (tidak memiliki citra dengan dengan kepentingan politik tertentu).

Kelima pernah berdinas di Aceh. Memiliki jejaring nasional guna mendukung kerja-kerjanya selaku PJ Gubernur, khususnya Kemendagri, dan lintas kementerian. Diterima sekaligus mampu berkomunikasi dengan unsur stakeholder di Aceh.

Mampu menterjemahkan kepentingan dan kebijakan pusat di tingkat lokal, disisi lain mampu menjembatani prioritas kepentingan lokal kepada pihak pemerintah pusat.

Bila melihat kriteria ini, maka sosok yang tepat untuk mengisi kekosongan PJ Gubernur Aceh haruslah diprioritaskan dari kalangan sipil.

Menurutnya, Aceh merupakan bagian dari teritorial sangat strategis yang diapit Samudera Malaka dan Hindia. Sebagai daerah paska konflik, kehadiran militer dalam struktur pemerintahan Aceh akan kontraproduktif.

Karena, kembali akan mempertajam image Aceh kepada pihak luar bahwa situasi Aceh belum kondisi atau belum aman. Citra image Aceh belum kondusif sangat berbahaya, akan sangat berpengaruh berpengaruh terhadap iklim investasi dan penilaian investor

Selain itu, dikhawatirkan memori masa kelam akan kembali muncul, dimana Aceh pernah dipimpin oleh militer ketika masa situasi darurat militer dan darurat sipil.

Mengapa harus kalangan sipil? Karena sipil dinilai lebih mampu menjembatani multi stakeholder di Aceh. Sipil menjadi motor penggerak perpanjangan tangan pemerintah pusat ketimbang berlatar belakang vertikal seperti militer, jelas Aryos.

Kehadiran sosok PJ dari kalangan sipil diharapkan mampu mereduksi pandangan buruk masyarakat Aceh yang notabene memiliki histori kelam dengan kepemimpinan militer baik semasa darurat militer maupun darurat sipil.

Menurut Aryos, kalangan sipil akan dapat diterima oleh masyarakat Aceh, terlebih apabila yang bersangkutan memahami dengan baik aspek kekhususan tata kelola pemerintahan Aceh, sebagaimana tertuang dalam MoU Helskiny dan UUPA.

Kehadiran PJ di Aceh harus mampu menjadi landasan penciptaan situasi stabil dan kondusif kedepan, terutama menjelang pemilu 2024. Prioritas dari kalangan sipil dinilai mampu untuk meredakan tensi ketegangan di Aceh, terutama menjelang pemilu 2024.

Sekaligus disaat bersamaan mampu menciptakan imej baru di kalangan rakyat Aceh bahwa pusat kini tidak lagi memandang Aceh sebagai daerah tidak aman.

Beragam komentar dari berbagai pihak, telah membuat pembahasan tentang PJ Gubernur Aceh, Bupati dan Walikota sebaiknya dari kalangan sipil, hingga kini terus mengelinding. Apalagi masa kepemimpin Gubernur Aceh dan sejumlah bupati, wali kota berahir ditahun 2022. **** Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda