Beranda / Klik Setara / Puaskah Gerakan Perempuan terhadap Kinerja Pembangunan Urusan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan di Aceh?

Puaskah Gerakan Perempuan terhadap Kinerja Pembangunan Urusan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan di Aceh?

Sabtu, 21 Mei 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Abdullah Abdul Muthaleb

“Saya malu pada diri saya sendiri dan sangat prihatin terhadap kasus-kasus tersebut. Sebab itu, atas nama Pemerintah Aceh maupun secara pribadi, saya mohon maaf”.

Itulah pernyataan Nova Iriansyah saat memberikan kata sambutan dan ucapaan selamat untuk peringatan hari Ibu ke 80 di Anjong Mon Mata, pada 12 Desember 2017 lalu. Kala itu, dengan posisinya sebagai Wakil Gubernur Aceh, Nova membuat forum tersebut yang mayoritas perempuan penuh haru dan memberikan aplus yang membahana. Nah, setelah tahun berganti dan posisi jabatan pun berubah, bagaimana upaya melindungi dan memberdayakan perempuan diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh saat ini? Setelah periode kepemimpinan Nova sebagai Gubernur Aceh hampir tutup buku, benar-benar hebatkah capaian rezim pemerintah kali ini?

Bagaimana dengan pandangan gerakan perempuan, apakah atraksi kebijakan dengan segala perangkat yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh termasuk dinas teknis yang mengurus urusan ini, apakah dapat disebut memuaskan? Atau sebaliknya, cenderung stagnan atau malah berjalan mundur? Di tengah kasus demi kasus kekerasan yang kian marak, benarkah penangannya semakin baik di tengah proses transformasi kelembagaan dari P2TP2A menjadi UPTD PPA? Lalu, ada tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan tiga fungsi parlemen, bagaimana gerakan perempuan melihat kiprah 81 anggota dewan (yang mungkin saja masih) terhormat itu?

Tulisan ini akan mengetengahkan persepsi gerakan perempuan dengan harapan bukan untuk membangun jarak dengan para pemangku kebijakan khususnya di level provinsi. Sebaliknya, sebagai bentuk partisipasi dalam versi yang berbeda. Memberikan pandangan atas pencapaian dengan kondisi yang bisa jadi tidak sama antara laporan di meja-meja birokrasi, tampilan cantik di website, dan suguhan menarik dalam pariwara dengan apa yang persepsikan oleh gerakan perempuan yang banyak bergulat dengan dinamika kehidupan perempuan-perempuan di tingkat tapak.

Komitmen dan Kebijakan

Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2019 tentang RPJMA Tahun 2017-2022 menjadi pangkal yang harus dilihat ulang bagaimana Pemerintah Aceh menguraikan permasalahan dan kemudian mengembangkan strategi penanganannya termasuk target yang ingin dicapai dalam lima tahun ke depan. Dalam dokumen RPJMA jelas disebutkan salah satu persoalannya adalah belum optimalnya pengarusutamaan gender dan hak anak dalam pembangunan. Selain itu juga belum belum optimalnya perlindungan anak, perempuan serta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Pemerintah Aceh juga mengakui masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi salah satu persoalan yang terus dihadapi sampai saat ini. Karena itu, isu pengarusutamaan gender, perlindungan anak dan PMKS diharapkan dapat meningkatkan indeks pembangunan gender, indeks pemberdayaan gender dan kesejahteraan PMKS. Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan usia harapan hidup perempuan, rata-rata lama sekolah perempuan, dan pengeluaran perkapita perempuan. Selanjutnya peran perempuan dalam pembangunan diharapkan dapat meningkat yang tergambar dari keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan pengambil kebijakan.

Dalam Pasal 231 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat. Amanat ini kemudian dijabarkan dalam sejumlah Qanun Aceh seperti Qanun Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Terbaru, di era Gubernur Nova juga sudah hadir Qanun Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.

Pemerintah Aceh juga menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 6 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender pada SKPA. Gubernur Nova kemudian menerbitkan juga Peraturan Gubernur Aceh Nomor 95 tahun 2019 tentang Percepatan Pelaksanaan PUG di Pemerintah Aceh. Tentu ada sejumlah deretan peraturan serupa yang berkaitan dengan isu ini baik yang terkait dengan persoalan perempuan maupun anak. Bahkan, Pemerintah Aceh sudah membentuk UPTD PPA sebagai lembaga yang lebih mandiri dibandingkan lembaga sebelumnya berupa P2TP2A, yang khusus menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pemerintah Aceh juga pada tahun 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah memperoleh Anugerah Parahita Ekapraya (APE) sebagai bentuk apresiasi nasional dalam urusan pembanguan sektor perempuan dan anak.

Deratan cerita di atas memberikan sinyal bahwa dari sisi kebijakan, kelembagaan hingga prestasinya, “kehebatan” Pemerintah Aceh terasa begitu syahdu. Paling tidak dapat disebut demikian. Namun, bagaimana gerakan perempuan melihat situasi terkini terkait dengan sektor ini di Aceh? Itu pertanyaan penting yang akan diuraikan jawabannya dalam tulisan ini.

Survey Persepsi Gerakan Perempuan

Pada tanggal 9 Mei 2022, saya mendapatkan undangan dari Gerakan Perempuan Aceh (GPA) untuk menjadi salah satu narasumber dalam Seminar & Lokakarya Musyawarah Besar Perempuan Aceh Untuk Pembangunan dengan “Bersatu, Bergerak, Untuk Aceh yang Setara, Adil, Damai Dan Sejahtera” di Banda Aceh, 19 Mei 2022. Dari sinilah kemudian saya terpikir selain saya harus menyampaikan analisis kritis terhadap dokumen Rencana Pembangunan Aceh (RPA) Tahun 2023-2026, seperti harapan GPA sebagai penyelenggara, harus ada sesuai yang beda yang harus dimunculkan dalam forum besar itu. Sesuatu yang penting untuk menjadi refleksi atas kondisi terkini yang berkenaan langsung dengan isu dan para pihak yang hadir dalam forum webinar tersebut.

Muncullah kemudian inisiatif saya untuk membuat survei sederhana yang sasarannya terbatas untuk melihat bagaimana persepsi gerakan perempuan terhadap pelaksanaan urusan perlindungan dan pemberdayaan perempuan di Aceh. Pembangunan yang dimaksud tersebut merupakan pembangunan yang digerakkan oleh Pemerintah Aceh dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pasca Pilkada 2017. Responden surveinya merupakan pegiat “gerakan perempuan” itu sendiri yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman terkait dengan isu ini. Responden yang dengan lingkup profesi sebagai bagian dari aktivis CSO, akademisi, jurnalis, atau profesi lainnya tetapi selama ini memberikan perhatian dan dukungan terhadap gerakan perempuan. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan bias atau konflik kepentingan, kalangan birokrat yang juga bagian gerakan perempuan, tidak menjadi responden survei ini.

Responden dipilih dengan menggunakan pendekatan non probability sampling dengan teknik purposive sampling. Pilihan teknik ini karena survei ini lebih mengutamakan tujuan sehingga responden yang ditergetkan dipandang memiki keterhubungan dengan permasalahan yang disurvei. Diharapkan kemudian dapat memberikan informasi yang relatif akurat termasuk memberikan pandangannya untuk perbaikan ke depan.

Survei ini hanya berlangsung selama empat hari terhitung sejak 14 hingga 17 Mei 2022 dan sebanyak 60 responden telah ikut berpartisipasi yang terdiri 49 perempuan dan 10 laki-laki dan 1 responden tidak menjawab. Responden paling domiman yaitu dari kalangan aktivis CSO (46.7%) dan selanjutnya akademisi (31.7%). Ada juga jurnalis dan konsultan masing-masing 3,3% dan lainnya (18,39%). Responden ini umumnya merupakan responden terpilih yang memang sengaja diajak berpartisipasi dalam survei mengingat yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni terkait isu ini.

Dari sisi usia, responden terbanyak dari kalangan usia 41-50 tahun (53.3%) dan paling sedikit dari kelompok umur 21-30 tahun (8,3%). Seumlah responden dari usia di atas 50 tahun juga menjadi responden survei ini. Data ini menggambarkan pengetahuan dan pengalaman responden terkait isu yang disurvei, daya jelajahnya sudah tinggi. Bisa disimpulkan, dengan pekerjaan responden mayoritas sebagai aktivis CSO ini dengan kelompok umur yang sudah matang, maka persepsi yang diberikan pada setiap pertanyaan yang dimunculkan bukan sebagai persepsi tanpa pertimbangan yang memadai.

Survei ini hanya mengajukan beberapa pertanyaan kunci yang terkait dengan pembangunan urusan PPPA di Aceh saat ini. Data menunjukkan capaian pembangunan urusan tersebut di Aceh dinilai oleh 70% responden masuk kategori kurang baik. Bahkan terdapat 10% responden yang menyatakan tidak baik dan sangat tidak baik. Sebaliknya, hanya 20% responden yang menyatakan sudah baik.

Gambar 1: Pembangunan Urusan PPPA di Aceh



Terkait dengan kebijakan Pemerintah Aceh dalam pemberdayaan dan perlindungan perempuan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, responden memberikan tanggapan yang lberagam. Namun demikian, gerakan perempuan di Aceh menilai apabila komitmen dan kebijakan saja belum berpihak apalagi soal dukungan anggaran (52,5%). Ini menjadi persoalan serius karena dari sisi kebijakan, Pemerintah Aceh sudah dianggap tidak memiliki komitmen dan kebijakan, konon lagi bicara soal dukungan anggaran. Setali tiga uang dengan penilaian tersebut, sebanyak 39% responden menyatakan jika Pemerintah Aceh sebenarnya memiliki komitmen dan kebijakan, hanya saja belum didukung dengan alokasi anggaran yang memadai. Artinya, kedua kelompok responden ini memiliki kemiripan pandangan yakni ada persoalan dengan anggaran. Jika ditotalkan keduanya, 91.2% responde sepakat jika alokasi anggaran tidak menjadi perhatian Pemerintah Aceh.

Gambar 2: Kebijakan Pemerintah Aceh


Bahkan, sebanyak 5,1% respoden menyatakan komitmen dan kebijakan Pemerintah Aceh dalam lima tahun terakhir justeru lebih mundur dibandingkan era kepemimpinan daerah sebelumnya (2012-2017). Hanya 3,4% responden yang menilai sebaliknya, periode Gubernur Nova Iriansyah lebih baik dari periode Gubernur Zaini Abdullah. Nah, kalau dihubungkan dengan faktanya selama ini maka data di atas sebenarnya selaras dengan trend alokasi anggaran yang dikelola Dinas PP dan PA Aceh selama ini. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh rata-rata hanya mengelola anggaran sekitar 18-19 milyar per tahun, sudah termasuk belanja pegawai didalamnya. Angka yang jauh dari kata cukup.

Bagaimana dengan kinerja DPPPA Aceh saat ini? Dibandingkan era sebelumnya (2012-2017), kinerja SKPA yang menangani urusan PPPA di Aceh dalam masa lima tahun terakhir dinilai ada perbaikan kinerjanya tetapi kinerjanya belum menjawab persoalan yang ada (53,3%). Hanya 5% responden yang menilai jika kinerjanya semakin baik dan lebih maju dibandingkan era 2012-2017.

Gambar 3: Kinerja DPPPA Aceh


Namun demikian, jika gambar 3 dilihat kembali dapat disimpulkan sebenarnya kinerja DPPPA Aceh dalam kurun lima tahun terakhir ini “bermasalah”. Bayangkan, sebesar 30% responden menyatakan jika kinerjanya tidak ada perubahan singnifikan, masih sama seperti era sebelumnya. Bahkan, terdapat 13,3% responden yang malah menilai apabila DPPPA Aceh tidak menunjukkan kinerjanya tidak ada perubahan singnifikan, malah lebih mundur dibandingkan sebelumnya.

Survei ini juga menyasar bagaimana pandangan responden terhadap penerapan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan. Qanun yang sudah lebih dari dua belas tahun ini menjadi penting untuk direfleksikan kembali, sejauhmana sudah terimplementasikan dan menjadi patron dalam pembangunan urusan perlindungan dan pemberdayaan perempuan di Aceh.

Gambar 4: Penerapan Qanun Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan


Ternyata, gerakan perempuan di Aceh menyimpulkan penerapan Qanun tersebut masih jauh dari harapan. Tidak ada responden yang memberikan tanggapan penerapannya sudah maksimal apalagi pada tingkatan sangat maksimal. Seluruh responden, sepertinya “bersepakat” jika perlu secepatnya evaluasi secara total atas pelaksanaan Qanun tersebut segara dilakukan. Data menunjukkan jika sebanyak 71,7% responden menyatakan kurang maksimal, sedangkan yang menyebutkannya tidak maksimal mencapai 25% responden. Bahkan, 5% responden menyebutnya sangat tidak maksimal.

Survei ini juga melihat sejauhmana komitmen dan dukungan parlemen pada pembangunan urusan ini. Hasil survei ini menunjukkan dukungan DPRA melalui tiga fungsi parlemen (legislasi, anggaran, dan pengawasan) terhadap pembangunan urusan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam lima tahun terakhir, sebanyak 66,7% responden menyatakan jika dukungan tersebut lebih pada dukungan personal, masih beberapa anggota dewan yang selama ini fokus pada isu ini. Jika temuan ini dihubungkan dengan kondisi kekinian, jelas isu ini hanya memunculkan segelintir anggota DPRA yang membicarakannya, terlepas apakah itu sekedar pencitraan politik atau bukan. Namun, yang dilihat oleh publik adalah isu ini bukan menjadi isu politik yang dipandang penting oleh DPRA sebagai kelembagaan, bukan personal.

Gambar 5: Dukungan Parlemen - DPRA


Gerakan perempuan bahkan sama sekali (0% responden) tidak melihat adanya dukungan DPRA atas isu ini sangat kuat dan berjalan efektif pada urusan ini. SebaliKnya, dukungan yang muncul dinilai oleh 31,7% responden karena adanya moment politik saja sehingga lebih kelihatan saat menjelang Pemilu.

Survei ini memang tidak secara khusus menyasar kiprah anggota parlemen perempuan, karena sebenarnya bicara tiga fungsi parlemen itu juga tidak berjenis kelamin. Hal yang menjadi menguat dengan temuan survei ini adalah sampai saat ini, isu perempuan belum menjadi agenda politik yang strategis bagi anggota dewan secara kelembagaan. Perempuan dengan segala karakteristiknya akan kembali menjadi sasaran penting ketika era kotak suara tiba. Musim Pemilu selesai, usai pula kepentingan politik dalam memastikan pembangunan sektor ini yang lebih bermartabat.

Provinsi Aceh juga dihadapkan pada kian maraknya kekerasan terhadap perempuan. Tentu, Pemerintah Aceh pasti akan menguraikan program dan strategi kerja untuk melakukan pencegahan dan penanganan atas permasalahan dimaksud. Pertanyaan kemudian, bagaimana gerakan perempuan melihat realitas ini? Apakah sudah maksimal atau berjalan di tempat?

Gambar 6: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan


Survei ini menemukan tidak ada satu pun (0%) responden yang menilai jika upaya penanangan yang dilakukan Pemerintah Aceh sudah lebih maksimal dan banyak terobosan sudah dilakukan. Namun demikian, sebesar 48,3% responden memberikan “kesaksian” sudah ada kemajuannya tetapi tidak cukup signifikan dibandingkaan dengan trend kasus yang meningkat. Nah, bila ini diuraikan lebih lanjut dapat disebut Pemerintah Aceh sudah bekerja tetapi kalah “hebat” dengan kecepatan kasus kekerasan yang kian melonjak dengan modus operandi yang makin beragam. Lebih lanjut, ditemukan jika 30% responden masih memposisikan Pemerintah Aceh saat ini masih sama saja dengan masa sebelumnya, tidak ada perubahan yang signifikan dalam upaya mengatasi trend kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Bahkan, 21,7% justeru menilai jika tidak ada kemajuan, malah era lima tahun terakhir lebih mundur dibandingkan era sebelumnya.

Posisi gerakan perempuan sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan kelembagaan pemerintah yang menangani urusan perempuan. Bahkan, sejarah lahirnya institusi ini periode pertengahan 1970-an (baca: Kementerian) tidak terlepas dari perjuangan gerakan perempuan tingkat nasional juga. Hal demikian terjadi pula di Aceh, saat kelembagaan yang menangani urusan ini mulai dibentuk hingga kemudian lahirnya Biro Pemberdayaan Perempuan di Sekretariat Daerah Provinsi NAD. Kala itu, Dra Lailisma Sofyati dilantik sebagai Kepala Biro PP pada 20 Januari 2000 s.d. Maret 2008. Semuanya berproses yang dalam proses itu gerakan perempuan menjadi salah satu aktor kunci didalamnya, termasuk saat Biro PP menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA), hingga kemudian menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA).

Dengan demikian, semangat kolaborasi keduanya untuk membangun kehidupan perempuan Aceh yang lebih bermartabat menjadi kata kunci. Pertanyaan kemudian, bagaimana kemudian gerakan perempuan menilai kerja kolaborasi tersebut? Jawabannya memang miris meskipun jawaban ini sendiri sudah sangat kentara terasa.

Gambar 7: Kolaborasi Gerakan Perempuan


Hanya 8,3% responden yang menyatakan jika kolaborasi semakin kuat dan meluas antara Dinas PP dan PA Aceh dengan gerakan perempuan, sebaliknya 3,3% responden menyebutkan kolaborasi tersebut terjadi penurunan dibandingkan dengan era sebelumnya. Selebihnya, sebesar 55% responden menyatakan kolaborasi terjadi apabila memiliki dampak pada program yang dijalankan oleh Dinas tersebut. Jika mau disebut secara lebih jelas kolaborasi yang dibangun bukan dengan semangat yang elegan melainkan ada “kepentingan tertentu” sehingga kolaborasi itu terjadi.

Survei ini juga memberikan kita petunjuk adanya rasionalitas di dalam tubuh gerakan perempuan sendiri. Gerakan ini bukan gerakan tanpa tujuan sehingga untuk berkoloborasi yang juga melihat kepentingan gerakan perempuan itu sendiri. Sebesar 20% menyatakan demikian yang seolah-olah ingin menjelaskan daya tawar gerakan perempuan atas kolaborasi yang dibangun, bukan sekedar ikut serta, berpartisipasi lalu tanda tangan daftar hadir belaka. Pesan kuat ini di sini adalah kolaborasi itu: apa sih manfaatnya yang relevan dengan visi gerakan?

Sebagai orang yang melakukan survei dan sudah lebih dari lima belas tahun juga bergelut dengan isu ini, plus menjadi mitra dinas yang mengurusi urusan ini dari tingkat provinsi hingga kabuptane/kota di Aceh, secara pribadi sangat terenyuh sebenarnya ketika dirasakan oleh gerakan perempuan sendiri apabila kolaborasi tersebut makin berjarak. Bagaimana tidak, sebesar 18,3% responden mengaku apabila kedua pihak ini semakin berjarak, tidak ada kolaborasi yang strategis untuk kepentingan pembangunan PP dan PA di Aceh. Pertanyaan kemudian, mengapa itu bisa terjadi? Tentu perlu refleksi bersama untuk mencari titik temu kembali dengan semangat bukan saling mencari kambing hitam. Sebaliknya, perlu akal sehat dan penerimaan yang utuh untuk saling memperbaiki di tengah minimnya dukungan politik-kekuasaan pada sektor ini.

Di tengah kesibukan menjelaang transisi kepemimpinan yang baru, setelah era Gubernur Nova selesai, ada dokumen Rencana Pembangunan Aceh (RPA) Tahun 2023-2026. Dokumen ini menjadi penting untuk menakar bagaimana wujudnya pembangunan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dirancang? Temuan survei ini memberikan jawaban yang cukup gamblang. Sebesar 56,7% responden menilai dokumen RPA sudah mengakomodasikan isunya, tetapi sifatnya masih sektoral sehingga belum menjadi agenda bersama-lintas sektor. Hanya sebesar 1,7% responden yang menyatakan jika dokumen RPA sudah sangat maksimal dalam mengakomodasikan isu ini dengan baik.

Gambar 8: RPA Tahun 2023-2026


Selebihnya, sebesar 31,7% menyatakan sama saja dan tidak ada perbedaan yang signifikan, bahkan sebesar 3,3% responden menyimpulkan dokumen RPA tersebut lebih buruk dibandingkan yang dokumen RPJMA sebelumnya.

Otokritik dan Pembaharuan

Dengan situasi saat ini, hal yang diperlukan bagaimana sikap terbuka untuk berani melakukan otokritik dalam agenda pembangunan urusan ini secara lebih elegan. Pemerintah Aceh melalui Dinas PP dan PA sebagai leading sector-nya sudah saatnya untuk melakukan pembaharuan yang bukan sekedar memperkuat kapasitas kelembagaannya semata. Akan tetapi, bagaimana pula menghimpun kekuatan eksternal untuk memajukan pembangunan sektor ini, yang secara hitungan ekonomi-politik, bisa saja tidak menarik.

Hasil survey di atas paling tidak menjadi cermin diri di mana posisi kita saat ini, terutama dalam memposisikan gerakan perempuan yang berada di luar Pemerintah (birokrasi) benar-benar menjadi kekuatan dengan pola kolaborasi yang bukan sekedar berorientasi output semata tetapi bagaimana memberikan impact jangka panjang untuk perbaikan kualitas hidup perempuan Aceh yang lebih baik. Kalau masih ada anggapan “kita ya kita dan mereka ya mereka”, sulit rasanya pembangunan sektor ini akan banyak mengalami kemajuan di masa mendatang.

Semoga tulisan ini dapat diterima pesannya dengan baik bukan hanya oleh elite pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif, tetapi juga bagi gerakan perempuan di Aceh tanpa kecuali. Gambaran dari hasil survey sederhana di atas, sekali lagi, sekali lagi, bukan alat untuk saling menyalahkan, namun harus menjadi momentum guna memperkuat gerakan bersama lintas aktor pembangunan di Aceh. Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) sebagai rumah besar gerakan perempuan di Serambi Mekkah pun, tempat berhimpunnya aktivis, akademisi, ulama, birokrat, dan setiap individu dengan berbagai latar sosial lainnya harus lebih progresif “jemput bola” mendorong perubahan dengan daya ungkit yang lebih kuat.

Semoga dalam masa empat tahun ke depan, masa depan perempuan Aceh menjadi lebih baik. Bukan lagi sekedar angka demi angka. Sebaliknya, menguatnya gerakan ini hingga ke tingkat tapak. Dengan cara demikian, impian bersama untuk mewujudkan proses pembangunan yang lebih terbuka, partisipatif dan inklusif dapat terwujud secara lebih bermakna. Karena itulah cara yang lebih sederhana tetapi lebih memberikan kepastian bagi perempuan termasuk kelompok marjinal lainnya, dapat terlibat secara substatif sekaligus menikmati hasil pembangunan itu sendiri secara adil dan setara. ***

 Penulis: Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda