Penuli: Aryos Nivada, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Indikasi Grub
DIALEKSIS.COM | Kolom - Tanggal 25 September 2025 menjadi momen penting. Hasan Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), genap berusia 100 tahun.
Perjalanan hidupnya adalah cerminan tekad untuk merebut kedaulatan bangsa Aceh.
Ia adalah seorang intelektual dan pejuang. Ia memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Namun, dia akhirnya menetap di Swedia, sebuah negara yang terkenal dengan konsep kesejahteraannya.
Meskipun tinggal dan belajar di Amerika, dia tidak terpengaruh oleh ide kapitalisme yang membolehkan eksploitasi. Pemikirannya terus berkembang di lingkungan politik dunia. Salah satu karyanya adalah buku Aceh Bak Mata Donja.
Buku itu ditulis di New York pada tahun 1968. Dengan menulis di pusat politik dan ekonomi dunia itu, Hasan Tiro menunjukkan bahwa perjuangan Aceh adalah isu internasional.
Ini bukan hanya masalah internal Indonesia. Ia ingin dunia melihat Aceh dari kacamata mereka sendiri. Ia ingin menegaskan bahwa bangsa Aceh setara dengan bangsa lain.
Inti pemikirannya ada pada bab terakhir buku itu. Bab tersebut berjudul Kemerdekaan dan Kesejahteraan. Hasan Tiro berpendapat bahwa kemakmuran tidak bisa dicapai tanpa kemerdekaan.
Ia melihat kemakmuran bukan anugerah yang jatuh dari langit. Kesejahteraan harus dibangun sendiri. Bangsa Aceh harus mengelola kekayaan dan sumber daya mereka. Itu satu-satunya cara untuk sejahtera.
Hasan Tiro menegaskan Kemerdekaan sebagai Kunci Kesejahteraan. Menurut Hasan Tiro, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Aceh tidak akan tercapai tanpa kemerdekaan. Dalam konteks kekinian bisa dimaknai kemandirian. Dia berpendapat, hidup suatu bangsa yang dijajah (bergantung pada pihak lain) sama seperti hidup seorang budak. Kekayaan alam Aceh dirampas dan digunakan oleh pihak luar. Hal ini membuat rakyat tetap miskin.
Hasan Tiro juga menekankan pentingnya kedaulatan politik. Hasan Tiro menekankan bahwa Aceh tidak bisa membangun ekonomi jika belum memiliki hak hidup di bidang politik. Dia menyatakan, masyarakat Aceh tidak akan berhasil membangun ekonomi bila mereka harus selalu meminta "izin" dari pemerintah pusat untuk mengelola sumber daya dan menginvestasikan uang.
Dengan begitu, merujuk Aceh Bak Mata Donya, ada tiga kunci mencapai kesejahteraan atau kemakmuran, kemandirian, pilar kesejahteraan dan persatuan.
Hasan Tiro berpendapat bahwa kemakmuran Aceh hanya bisa dicapai jika rakyat Aceh mengelola sendiri perekonomian mereka. Dia percaya tidak ada pihak luar yang bisa memakmurkan Aceh tanpa menguras kekayaannya.
Hasan Tiro juga menekankan tiga hal utama untuk mencapai kemakmuran. Pertama, kemakmuran harus berasal dari tanah air Aceh. Kedua, harus ada perencanaan yang baik dari pemimpin dan rakyat. Ketiga, persatuan seluruh elemen rakyat Aceh adalah hal paling penting.
Dan, Hasan Tiro mengkuatirkan apa yang disebut mental "peuglah pucok droe" atau egoisme di kalangan pemimpin. Perilaku ini terjadi saat individu hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan bersama.
Kesepakatan MoU Helsinki jelas merumuskan kemandirian Aceh lewat kewenangan yang dimilikinya. Dan, salah satu misi revisi UUPA juga ingin mempertegas kewenangan Aceh sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki.
Misi Kemandirian Aceh Hari Ini
Aceh saat ini berada dalam era damai. Aceh dikelola oleh murid-murid ideologis Hasan Tiro. Mereka memimpin baik di eksekutif maupun legislatif. Ini adalah momentum bersejarah. Ini adalah kesempatan mewujudkan Aceh Mandiri demi kesejahteraan rakyat.
Para pemimpin itu perlu membuktikan komitmen. Partai politik lokal, yang juga dipimpin oleh pengikut Hasan Tiro, harus menunjukkan wajah kepedulian. Kepedulian pada rakyat, lingkungan, dan kemandirian ekonomi. Mereka harus memastikan bahwa visi Hasan Tiro tidak hanya menjadi slogan. Visi itu harus menjadi panduan dalam setiap kebijakan.
Mewujudkan kesejahteraan Aceh membutuhkan tata kelola yang benar. Tata kelola ini harus bebas dari nafsu kapitalis dan oligarki. Tata kelola ini harus mencegah perilaku "peuglah pucok droe" yang sangat dikhawatirkan Hasan Tiro.
Peringatan 100 tahun ini bukan hanya perayaan. Ini adalah panggilan untuk bertindak. Panggilan untuk memastikan rakyat Aceh menjadi tuan di tanah sendiri.