DIALEKSIS.COM | Kolom - Sanak keluarga mereka direnggut alam. Harta benda dan sumber penghidupan luluh lantak dibawa air berlumpur material. Air mata mereka sudah kering. Lelah, letih beragam perasaan tidak mampu lagi mereka ungkapkan. Antara hidup dan mati bagaikan setipis kulit bawang.
Mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk bertahan hidup agar tidak direnggut maut. Hidup mereka sudah tidak jelas. Ada yang terkurung, terisolasi, terputus dengan dunia luar. Makan apa yang bisa dimakan untuk menyambung nafas.
Ketika perut mulai bergendang, tetesan air mata mereka kembali mengalir. Saat anak-anak yang belum mengerti apa-apa dengan yang mereka hadapi. Kata-kata lapar semakin menyayat hati. Bagi yang dewasa, mampu bertahan dalam lapar, namun bagaimana dengan anak-anak?
Tanpa bantuan pihak lain mereka bagaikan menghitung jam untuk menghadap ke ilahi. Musibah Aceh yang telah memporakporandakan seluruh negeri ini, ratusan nyawa melayang, puluhan ribu rumah ditelan alam. Belum lagi harta benda, semuanya lenyap.
Disaat musibah ini, banyak pihak yang peduli dan turut merasakan penderitaan para korban. Bantuan mengalir dari berbagai penjuru. Namun sayangnya masih ada sebagian manusia yang tega mempermainkannya. Memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri.
Bantuan yang dikirim oleh para donasi tidak semuanya utuh diterima para korban. Suara tentang bantuan hilang kerap terdengar. Ada manusia yang bermain diantara bayang-bayang maut para korban yang sedang berbalut duka. Ada hantu yang berwujud manusia.
Dimana hati nurani mereka? Apakah masih layak disebutkan sebagai manusia. Saat para korban berjuang untuk bertahan hidup, agar tidak bertambah jumlah korban musibah ini, dilain sisi ada manusia yang memperkaya diri, menari di atas luka yang menganga.
Dengarlah jeritan nurani mereka para korban. Mereka kelaparan, banyak yang sakit, belum lagi pertarungan batin yang harus mereka hadapi. Ketika suara anak anak mengatakan lapar, dada mereka terasa pecah, tak mampu membendung air hangat dari indra penglihatan.
Ada diantara mereka yang berjalan kaki berhari hari, dengan fisik yang semakin lemah, demi mendapatkan bantuan. Demi menyambung hidup anak-anak dan keluarga yang terpaksa mereka tinggalkan di camp pengungsian.
Bantuan sulit mereka dapatkan, apalagi saat kondisi benar- benar darurat, semuanya bertahan untuk hidup. Namun ketika relawan dan mereka yang peduli kepada para musibah, bantuan mulai mengalir. Namun mereka yang didera musibah, apalagi berada di kawasan terisolir, masih sulit mendapatkan bantuan.
Ada perasaan kecewa, bercampur aduk diantara air mata, ketika telinga mereka mendapatkan kabar, ada bantuan yang raib. Ditelan hantu berwujud manusia. Mereka pasrah atas kehendak Tuhan, namun mereka tidak ihlas ada hantu berwujud manusia yang menggelapkan bantuan untuk mereka.
Mereka meyakini, Tuhan maha adil dalam memberikan kasih sayang dan hukuman. Mereka yang tulus ikhlas membantu, akan diberikan Allah dengan Rahmat dan kebaikan. Sementara hantu berwujud manusia juga akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Cepat atau lambat kasih sayang dan hukuman Tuhan itu akan diterima. Berhentilah menjadi hantu berwujud manusia, apalagi saat negeri ini sedang dilanda bencana.
Jadilah manusia yang berempati, mampu saling berbagi dan merasakan penderitaan mereka yang tertimpa musibah.
Jangan menari dan memperkaya diri atas luka rakyat yang sedang diamuk prahara. Doa doa orang yang terzalimi akan didengar Tuhan. Mari sama sama merasakan penderitaan ini, jangan ada lagi hantu berwujud manusia, memperkaya diri saat negeri ini dilanda bencana. [bg]