Beranda / Kolom / Bang Buyung

Bang Buyung

Kamis, 24 September 2020 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh : Otto Syamsuddin Ishak


Ketika terjadi keributan di Komnasham pada akhir 2012 hingga awal 2013,  sejumlah komisioner ingin “menjatuhkan” saya dari kursi Ketua Komnasham. Persoalan itu dipicu  karena saya menolak pergantian pimpinan Komnasham per tahun.

Ada 2 komisioner (perempuan) mengajak saya untuk membicarakan perihal ini pada Bang Buyung. Saya membatin,  buat apa hal itu diomongkan ke Bang Buyung. Toh, saya tidak ingin mempertahankan jabatan itu.

Saya sebetulnya kaget: kok bisa terpilihsebagai ketua! Saya hanya ingin mempertahankan peraturan yang sudah berlaku”yakni pergantian pimpinan per 2,5 tahun”apalagi saya terpilih secara demokratis dan terbuka dihadapan para staf Komnasham untuk memimpin 2,5 tahun.

Bagi saya juga prinsip karena sudah berniat bahwa saya melamar untuk masuk Komnasham, bukan untuk jadi ketua. Saya hanya ingin melanjutkan kerja-kerja advokasi selama ini atas pelanggaran HAM yang terjadi di dalam periode konflik di Aceh.

Saya berpikir, bahwa dengan ada kewenangan di tangan, saya akan beranjak dari fase advoksi ke fase solusi sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan undang-undang pada lembaga dan komisioner.

Itulah mengapa, setelah saya menolak tawaran satu tahun menjabat, langsung saya membentuk tim proyustisia untuk 5 pilihan kasus tragedy yang diduga pelanggaran HAM berat di Aceh. Kasus itu yakni Jambo Keupok (2003), Simpang KKA (1999), Rumoh Geudong (1989-1998), Bener Meriah (2000-an) dan Bumi Flora (2001). Meskipun pada saat saya mengusulkan di dalam rapat pleno mendapat penolakan 12 komisioner lainnya.

Begitulah, suatu hari kami berkunjung ke Kantor Bang Buyung. Saat dipersilahkan masuk, saya mengambil posisi paling belakang. (Saya juga tak memberitahu jika sudah mengenal Bang Buyung). Ketika mereka usai bersalaman dengan Abang, lalu mereka ingin memperkenalkan saya pada Abang. Tiba-tiba Bang Buyung berujar: “kalian ingin perkenalkan si Otto pada saya? Si Otto itu adalah orang Aceh yang saya percaya sampai saat ini”.

Lalu, entah mengapa Abang banyak berbicara tentang Prabowo. Katanya Prabowo melakukan testimony di pangkuannya, terkait dengan penculikan dan penghilangan sejumlah aktivis 1998. Lalu, kira-kira, Abang menyatakan: seandainya Prabowo diadili, maka Abang akan menjadi pengacaranya.

Lalu, saya membayangkan ke belakang, bagaimana pertemuan saya dengan Bang Buyung.

Saya belum pernah bertemu dengan Bang Buyung Nasution, hingga suatu hari saya mendapat surat pemberitahuan bahwa saya diangkat sebagai salah seorang anggota Dewan Penyantun YLBHI sekitar tahun 2002-an.

Pada rapat pertama Dewan, di situlah saya bertemu dengan Bang Buyung, yang sebelumnya saya hanya mengenal nama dan sepak terjangnya melalui media .  Termasuk pembelaanya terhadap kasus-kasus subversif di Aceh-dan cerita kawan-kawan.

Pada saat rapat, itulah untuk pertama kalinya saya melihat dari dekat para tokoh hukum, di antaranya Abdul Rahman Saleh yang baru menjabat sebagai Jaksa Agung (2004-2007). Hal yang berputar di kepala saya  hingga saat ini, mengapa saya bisa berada di antara mereka. Sarjana hukum saja, saya, bukan!

Masalahnya juga, pada saat itu YLBHI agak kisruh. lebih parah, para donor tidak melanjutkan dukungannya. Namun, pada rapat pertama itu, saya sedikit mendapatkan gambaran, bahwa secara individual, di antaranya Bang Buyung ,  Ali Sadikin dan lain lain, ada saweran rutin untuk mendukung pembiayaan YLBHI.

Pada suatu hari, saya menerima telpon dari sekretaris Bang Buyung, bahwa saya diajak makan bersama Abang pada sebuah hotel, yang didampingi istri beliau. Saya bertanya-tanya, ada apa ini?

Di meja makan itu, Abang membuka pembicaraan dengan bertanya tentang kabar. Lalu, ia mengatakan: Kamu, kalau ada masalah apa pun, sampaikan pada Abang! Jangan diam saja! Lalu, ia memanggil sekretaris dan meminta untuk diberikan pada saya kartu namanya serta nomer telpon khusus.

Hal ini menyentak pikiran: bagaimana bisa orang ini bersikap begitu percaya pada saya? Dari mana info tentang saya dia peroleh!

Pembicaraan pun berlanjut tentang YLBHI. Kata Abang: Otto…saya minta tolong pada kamu untuk menghubungi Munarman, karena dia menolak diaudit oleh Dewan. Duh! Nasib! Saya berpikir…mengapa saya bertemu dengan masalah lagi?

Tentu saya tidak menolak apa yang diminta oleh Abang. Saya mulai menghubungi Munarman untuk mencari tahu, mengapa ia menolak diaudit. Rupanya, ada asumsi bahwa ide audit bukanlah datang dari Abang, melainkan dari orang sekitar Abang yang ingin mendongkel Munarman.

Wah! Saya pikur: distrust mulai merebak. Singkat pembicaraan, Munarman bersedia diaudit bila di dalam tim ada saya.

Lalu, saya sampaikan hasil pembicaraan itu pada Abang. Proses audit pun berlanjut dengan baik. Saya menjadi lega. Hubungan dengan Abang dan Munarman tetap baik. Terlalu berat beban ini bila mendapat amanah!

Begitulah, Abang telah meninggalkan kita pada 23 September 2015. AlFatihah!*

Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda