DIALEKSIS.COM | Kolom - Apa yang kita saksikan hari ini bukanlah sekadar fenomena massa, melainkan ekspresi dari krisis kepercayaan struktural terhadap lembaga-lembaga nasional. Akar persoalannya bukanlah kadar kegagalan teknis, yang menunjukkan penghormatan terhadap amanat konstitusi melalui kebijakan publik yang lebih bertumpu pada aristokrasi.
Dengan memastikan akses yang adil terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, negara hanya menciptakan ruang yang aman bagi elit politik. Meskipun konsep kepemilikan publik sudah mapan, namun korup, oligarki, dan manuver dalam Mahkamah Konstitusi hanya menyoroti ketidakadilan. Akibatnya, lahirlah ketimpangan sistematis yang kini meledak dalam bentuk kemarahan dan kemarahan masyarakat.
Gelombang resonansi bukanlah sebuah studi yang berdiri sendiri. Ini adalah kebencian moral masyarakat terhadap warisan otoriter, yang masih bertahan hingga saat ini. Pasal karet dalam KUHP, kekerasan aparat, hingga tragedi Affan Kurniawan, merupakan aspek negatif eksternal demokrasi yang mau tidak mau dipengaruhi oleh oligarki.
Justru tampil harus dilindungi dari predator yang memangsanya. Sikap elite politik dengan pernyataan “ngasal” semakin menyoroti betapa terputusnya mereka dari masyarakat umum.
Dalam keadaan saat ini, komunikasi pemerintah menjadi semakin penting. Meskipun kepercayaan dan pengetahuan masyarakat umum dianggap tidak valid, dewan secara konsisten menikmati tunjangan yang besar setiap hari. Fenomena ini menyoroti apa yang disebut sebagai sejarawan sebagai ketidakadilan epistemik, dimana kearifan rakyat digunakan untuk menggambarkan kepentingan elit.
Ironisnya, solusi yang ditawarkan pemerintah lebih mirip sandiwara politik: pembatalan kunjungan kerja, permintaan maaf selebritas politik, dan simbol-simbol kosong yang tak menyentuh akar masalah. Padahal, yang dibutuhkan adalah kebijakan yang memperlebar ketimpangan sosial.
Krisis ini menunjukkan bahwa kebijakan berbasis bukti didasarkan pada informasi faktual di Indonesia. Kebijakan kini ditentukan oleh logika finansial dan kepentingan moneter, bukan kebutuhan rakyat. Jika ini benar, maka demonstrasi yang kita lihat hanyalah akibat dari represi sosial yang lebih signifikan. Indonesia tidak memerlukan retorika politik atau analisis retorika yang mengindikasikan perubahan radikal yang melemahkan oligarki.
Sejarah mengajarkan bahwa demokrasi hanya berani berpihak pada rakyat, bukan pada segelintir elite. Jalan keluar dari krisis bukan sekedar menghindari jargon; di dalamnya juga disebutkan kebijakan ulang keberpihakan. Rakyat Indonesia tidak memerlukan undang-undang baru, yang menandakan bahwa prinsip moral para pemimpin harus kembali pada amanat konstitusi untuk melindungi bangsa dan seluruh hukum Indonesia.
Jika suara rakyat terus diabaikan, maka gelombang pemancaran akan menjadi bahasa terakhir yang mereka gunakan untuk mengingatkan bahwa kesetiaan sejati ada di tangan rakyat. Demokrasi bukan berarti sandiwara; melainkan kehidupan bersama yang harus didasari oleh kedalaman, keberanian, dan kebijakan yang menjadi ciri khas bangsa Bangsa.
Penulis: Nazaruddin, Dosen kebijakan publik/prodi admnistrasi publik, FISIP Universitas Malikussaleh