Beranda / Kolom / Jakarta: Keramahtamahan yang Berbayar

Jakarta: Keramahtamahan yang Berbayar

Selasa, 18 Oktober 2022 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Fauzan Azima. [Dok. ist]

DIALEKSIS.COM - Setalah dua setengah jam berada di badan pesawat yang lepas landas dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, kami--saya dan beberapa teman--mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Di sepanjang penerbangan, pikiran dan emosi campur aduk. Terutama karena cuaca yang tidak bersahabat.  

Burung besi itu mendarat mulus di aspal runway bandara. Saya menghela napas sambil bersyukur. Bayangan tentang Jakarta, yang sempat kabur karena turbulensi, kembali muncul. Selalu menyenangkan untuk membayangkan kota itu dengan segala kerlingnya. Putaran roda pesawat dari runway ke terminal kedatangan terasa lamban. Beberapa orang yang saya lihat mengacuhkan peringatan pramugari untuk tetap mengenakan sabuk pengaman hingga pesawat berhenti dengan sempurna.

Saya ingin segera keluar dari bandara. Untuk itu, kami perlu angkutan yang tepat untuk mengantarkan ke Jalan Wahid Hasyim, di Jakarta Pusat. Sebagai bandara internasional, Soekarno-Hatta menawarkan banyak pilihan. Mulai dari moda transportasi termurah hingga termahal. Saat isi kantong pas-pasan, biasanya saya memilih angkutan Damri ke Gambir lantas melanjutkan perjalanan dengan ojek ke hotel. Lain cerita jika situasi berbanding antara langit dan bumi. Uang Rp 600 ribu untuk membayar perjalanan 28 kilometer menggunakan Alphard bukan masalah.

Di negeri kapitalis ini, harga tidak pernah bohong. Kecuali memang kita tengah sial sehingga harus membayar mahal untuk sesuatu yang lebih murah. Kenyamanan dan keramahtamahan pelayanan senilai Rp 75 ribu dengan Rp 600 ribu jelas berbeda. Semakin mahal ongkos, semakin ramah pula pengemudinya. Bahkan kita tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk mengangkat bagasi ke mobil. Kita cukup melenggang ke dalam mobil.

Perjalanan dengan Black Bird pun jelas berbeda dengan Damri meski bermesin Mercedes Benz. Sopir taksi benar-benar mengerti kebutuhan penumpangnya. Kabin senyap dan wangi. Udara yang keluar dari pendingin udara di langit-langit van itu menyentuh kulit dengan lembut. Tak ada suara bising mesin dan kendaraan yang berseliweran di jalan.

Yang terdengar hanyalah alunan irama musik blues. Mereka, perusahaan penyedia jasa taksi premium ini, mengetahui benar suasana kebatinan orang-orang yang baru turun dari pesawat. Terutama mereka yang rela mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah untuk sebuah perjalanan singkat. Kita benar-benar merasa sendiri; al fard. Sungguh sepadan.

Tak terasa kami sampai di lokasi tujuan. Sebuah hotel yang cukup bersih. Setelah meletakkan barang di kamar, dan membasuh badan dengan air hangat yang mengucur deras dari kran berlapis krom, kami mencari restoran di luar hotel. Maklumlah, nasi di pesawat tidak bisa dinikmati karena sering turbulansi. Jangankan makan, berbicara dengan orang di sebelah pun ogah.

Dan untuk urusan makanan, Jakarta tetap paling yahud. Selalu tersedia banyak pilihan untuk siapa saja. Kalau mau menikmati makanan murah tapi meriah ada di Jalan Sabang. Di jalan ini banyak warung-warung tenda yang menawarkan berbagai menu. Nasi goreng gila--dibilang gila karena pedasnya tidak membuat lidah terbakar--atau menu standar: sate dan ayam penyet.

Harganya pun tidak mahal. Lebih mahal sedikit dari yang bisa kita nikmati di daerah. Tapi semua masih dalam kategori wajar. Pajak yang mereka bayar untuk berjualan di sana tentu lebih mahal dari di daerah. Layanannya pun sama seperti kaki lima di tempat kita; bangku plastik dan meja berlapis terpal tipis yang sering bergoyang bergoyang karena kaki-kakinya tidak rata.

Asap knalpot mobil, motor, atau bajaj, leluasa masuk dari bagian bawah dan atas tirai spanduk berisi menu yang disajikan di warung itu. Kita juga harus mempersiapkan banyak uang receh untuk berbagi rezeki dengan pengamen jalanan yang datang seperti gelombang di tengah laut; tidak putus-putus.

Tapi karena terlalu sering menyantap makanan di bawah tenda, sesekali kami perlu mencoba makan malam di restoran mewah. Hari itu, pilihan jatuh ke sebuah restoran di lantai dasar Mulia Hotel di Senayan. Sebuah restoran Jepang dengan koki yang didatangkan langsung dari Negeri Samurai. Seperti Alpard, harga yang ditimpakan kepada tamu tentu lebih mahal. Jauh lebih mahal dari sajian di bawah tenda.

Kami menikmati makanan dengan nama-nama yang asing. Tapi tetap saja itu pilihan yang tepat. Karena kita selalu butuh sensasi baru. Selama berada di restoran seperti itu, jangan pernah memikirkan tentang harga. Ini adalah soal tantangan; keberanian untuk melakukan hal berbeda. Saat berada di pintu restoran, kami merasa sangat siap dengan segala tantangan dan kejutan dari dalam.

Di ujung acara makan malam itu, restoran menyajikan sejumlah makanan penutup dan buah-buahan. Seperti raja, kami bebas memilih sajian dengan beragam warna dan bentuk yang tercetak di daftar menu. Semua terlihat istimewa. Lebih istimewa lagi saat seorang perempuan muda dengan rok mini ketat menawarkan diri untuk menguliti jeruk yang dihidangkan. Sungguh sebuah penutup yang sempurna. Terutama saat Anda menghabiskan uang Rp 17 juta hanya untuk makan berlima.

“Maaf mbak, untuk satu jeruk harganya 380 ribu (rupiah)? Padahal kami hanya makan satu buah. Mungkin mbak salah hitung?” Seorang kawan bertanya karena merasa harga sebuah jeruk itu terlalu mahal setelah mengecek seluruh hidangan dan layanan yang kami terima. Namun dengan tersenyum kecil, si kasir berkata, “harga jeruknya benar 80 ribu (rupiah). Maaf, menguliti jeruk itu yang berbayar, pak.” Ada rasa malu saat mendengar jawab si kasir. Kami membalas penjelasan itu juga dengan senyuman kecil.

Tak apalah. Sesekali. Pun pas ada rezeki. Barangkali, begitulah cara “orang tua” berbagi rezeki. Saat pandemi Covid-19, ada orang yang menjual jual masker, pemeriksaan PCR atau swab hingga vaksin. Dengan begitu rezeki dari Tuhan terdistribusi ke berbagai kelompok. Kalau ada orang yang tidak mendapat rezeki saat Covid-19 mewabah, mungkin dia hanya tidak mampu mampu memanfaatkan peluang.

Allah sendiri berkata dalam surat Al-insyirah, “sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” Ayat itu tidak saja mengingatkan kita untuk tidak berputus asa terhadap kemurahan hati Allah, bahkan di saat seluruh dunia seperti menghimpit kita. Ayat ini juga mendorong agar kita berpikir untuk memanfaatkan setiap peluang. Bahkan di saat musibah melanda. Orang-orang di Jakarta sangat lihai dalam urusan ini.

Ya, Jakarta adalah destinasi utama bagi rakyat Indonesia. Keberadaannya saat ini mungkin sebagai jawaban atas doa Sunan Gunung Jati, pendiri Jakarta, saat meminta kemakmuran bagi daerah yang pernah dikenal dengan nama Batavia itu. Seperti doa Nabi Ibrahim as yang meminta Allah memakmurkan Mekkah, “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. Dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”

Jakarta menawarkan banyak jenis kesenangan. Bahkan hal-hal yang tidak terbayangkan ada di sana. Sebagai pusat kekuasaan, dia menantang semua orang yang datang untuk melebur, menelusuri lorong hitam yang mendorong hasrat untuk terus dipenuhi, seperti candu. Jakarta menggoda setiap hati orang yang memasukinya. Bahkan sejak berada di pinggiran. Pesonanya terlalu sulit diabaikan.

Jakarta adalah kota para raja. Setiap orang yang datang ke ibu kota negara kita wajib membayar upeti kepada siapa saja yang hadir untuk melayani. Kebiasaan itu memang tidak termaktub dalam peraturan perundang-undangan. Tapi semua itu nyata. Siapa yang ogah membayar, jangan berharap ada keramahtamahan.

Penulis: Fauzan Azima

Mantan Panglima GAM Wilayah Linge


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda