Minggu, 08 Juni 2025
Beranda / Kolom / Jika Marah disebut Intoleran, Maka Biarlah Kami Jadi Intoleran

Jika Marah disebut Intoleran, Maka Biarlah Kami Jadi Intoleran

Sabtu, 07 Juni 2025 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Rahmatal Riza

Rahmatal Riza, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakuktas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Aceh bukan sekedar provinsi, ia adalah koloni energi yang ditulis ulang dalam bahasa negara. Dari Ulee Lheue hingga Tanah Gayo, tanah ini bukan lagi rumah, melainkan halaman belakang pabrik milik oligarki yang berjubah “pembangunan nasional”.

Dulu kolonialisme datang dengan kapal besar lengkap dengan senjata. Kini kolonialisme menjelma lewat PLTU, kabel tegangan tinggi dan pejabat berdasi merah putih yang menjual kemajuan dengan harga nyawa dan tanah rakyat. Terima kasih Jakarta, karena telah mengajari kami bahwa penjajahan tak harus asing asal menguntungkan pusat.

Di atas tanah yang dulu ditanam padi dan doa, kini berdiri mesin-mesin raksasa yang menyemburkan asap bukan hanya ke langit tapi juga ke wajah orang-orang Aceh. Dengan elegan, mereka menyebutnya “proyek strategis nasional”. 

Strategis, tentu saja. Strategis untuk Surabaya yang perlu menyalakan lampu mall-nya sepanjang malam. Strategis untuk pabrik di Karawang yang tak boleh padam walau satu detik. Sementara itu warga di Aceh Timur masih memasak dengan kayu dan menghidupkan lilin saat belajar.

Apa kabar? Katanya ini pembangunan. Pembangunan versi siapa? Rakyat Aceh tidak pernah dimintai persetujuan. Yang mereka tahu, suatu hari tanah mereka ditandai seperti daging di rumah jagal. Besoknya datang truk-truk dan alat berat seperti hama menyerang ladang dan sawah. Tak ada undangan tak ada penjelasan, kecuali kalau kita menganggap pengumuman di koran atau statement pemerintah secara sepihak sebagai bentuk musyawarah.

Kita dipaksa percaya bahwa listrik ini untuk kita. Padahal ia menyalakan negeri seberang. Di kampung, lampu mati seperti jadwal azan, lima kali sehari. Bukankah PLN adalah satu-satunya institusi yang berhak mengatur listrik? Indah sekali monopoli yang dibungkus undang-undang. Rakyat hanya boleh berdoa semoga listrik tak padam malam ini.

Ketika mereka bicara soal “interkoneksi”, yang dimaksud sebenarnya adalah kabel besar yang mengalirkan sumber daya dari tanah Aceh ke jantung kapitalisme Jawa. Tapi jangan khawatir, sebagai kompensasi, rakyat Aceh akan diberi brosur pelatihan wirausaha dan mungkin satu-dua proyek pemasangan lampu jalan tenaga surya yang bisa difoto untuk media sebagai bentuk dukungan terhadap transisi energi.

Ketika rakyat protes? Kita akan diberi seminar. Otonomi daerah, desentralisasi, keadilan distributif, istilah-itsilah ini indah tapi hanya berbunyi di tengah ruang ber-AC. Katanya kita saudara sebangsa, tapi mengapa kami selalu menjadi sumber, bukan penerima? Kami ini provinsi, bukan pembangkit cadangan darurat untuk Pulau Jawa.

Ketika luka kolonial belum benar-benar kering, negara malah datang lagi dengan versi barunya. Dengan baju dinas dan kementerian yang tak tahu bedanya ujong pancu dengan ujung kulon. Mereka menjual tanah dan pulau kami, membakar batu bara kami, lalu mengirim hasilnya ke kota yang bahkan mendiskreditkan kami sebagai provinsi yang intoleran.

Ketika muncul sentimen anti-Jawa? Mereka terkejut. Semuanya geleng-geleng kepala dan langsung menggelar forum toleransi. Menyebarkan spanduk Bhinneka Tunggal Ika tanpa pernah bertanya, kenapa kebencian itu tumbuh.

Mereka tak mau tahu. Anak-anak kami belajar dalam gelap sementara listrik dari tanah kami menyalakan papan iklan elektronik raksasa di Jakarta Pusat. Mereka tak mau tahu ketika kami batuk-batuk akibat debu batu bara sementara elite mereka berbicara tentang “energi hijau” di konferensi internasional. Sarkasme ini bukan penulis buat-buat, ia ditulis langsung oleh realitas yang sangat menjijikan.

Sangat ironis ketika suara kami mulai serak karena terus meneriakkan keadilan yang tak kunjung datang, dan mereka justru menuding “Aceh itu Intoleran”.

Mereka menyebut kami intoleran, seolah kami menolak hidup damai. Padahal kami hanya menolak dijadikan ladang eksploitasi. Mereka bilang kami kurang nasionalis, padahal yang mereka maksud adalah kami terlalu keras kepala untuk menyerah. Apakah nasionalisme berarti kami harus rela listrik kami mengalir ke kota lain, sementara anak-anak kami belajar dalam gelap? Apakah toleransi berarti kami harus diam ketika debu batu bara mencemari paru-paru kami, agar para pejabat bisa tidur nyenyak di Jakarta dan mengklaim “target energi tercapai”?

Di sinilah sarkasme menjadi satu-satunya bahasa yang jujur. Bayangkan di tanah kami yang katanya bagian sah dari republik, ketika kami bersuara, kami dianggap mengancam persatuan. Tapi ketika negara mencabut sumber daya kami tanpa persetujuan, itu disebut pembangunan. Ketika kami berkata “cukup!”, kami dikatai ekstremis. Tapi ketika pusat berkata “ambil semua!”, itu disebut strategi nasional. Di tengah semua ini, kami masih dituduh radikal hanya karena ingin tanah kami dihormati, listrik kami digunakan untuk kami sendiri, dan suara kami diakui. Katanya ini negara demokrasi. Tapi sejak kapan demokrasi berarti satu pulau boleh menentukan nasib pulau lain, sementara pulau itu sendiri tak boleh protes?

Narasi toleransi hanyalah alat penjinak yang dibungkus moralitas. Seolah-olah mereka yang marah pada ketidakadilan adalah pihak yang salah. Seolah-olah yang tertindas harus menjaga etika agar penindas tidak tersinggung.

Jadi, ketika kami berkata kami marah, itu bukan karena kami benci orang Jawa. Tapi karena negara yang dikuasai dari Jawa selalu memosisikan kami sebagai objek bukan subjek. Dan jika marah karena dijajah disebut intoleransi, maka biarlah kami disebut intoleran. Jika mempertahankan hak atas tanah sendiri disebut separatis, maka biarlah sejarah menilai siapa yang benar-benar menghancurkan persatuan, kami yang bersuara, atau mereka yang terus menjarah.

Mereka lupa atau sengaja pura-pura lupa bahwa Aceh tidak pernah lahir dari keheningan. Dari dulu, tanah ini bukan tempat untuk berdiam. Ia adalah medan bagi suara-suara yang menolak tunduk. Aceh adalah tanah yang mengajarkan ketika negara melupakan rakyatnya, maka rakyat akan mengingat dirinya sendiri dengan segala cara. Karena menjadi Aceh bukan hanya tentang identitas, bukan tentang aksara jawi, bukan tentang rencong atau tari saman yang dikirim sebagai duta ke luar negeri.

Menjadi Aceh adalah pengalaman ditindas dan dipaksa untuk diam, tapi terus berbicara meski suaranya dibungkam.

Bertahun-tahun kami belajar dari rasa perih, ketika konflik merenggut, ketika tsunami menyapu, dan ketika perdamaian dijadikan proyek donor. Tapi tak pernah sekalipun kami benar-benar dibiarkan menentukan arah nasib kami sendiri. Bahkan dalam damai, kami tetap dijaga, bukan oleh keadilan tapi oleh kerangka legal yang dirancang untuk mengunci potensi kami dalam sistem pusat-pinggiran.

Mereka mengira kami akan lupa karena mereka membungkus penjarahan ini dengan CSR, bantuan dana pendidikan, beasiswa, bak sampah warna-warni, dan tugu-tugu yang tak pernah diminta. Tapi ingatan kami lebih kuat dari dana kompensasi. Kami tahu betul bentuk penjajahan tak selalu datang dalam bentuk pasukan. Kadang ia datang dalam bentuk kantor yang terlalu ber-AC, dengan branding "BUMN hadir untuk negeri".

Dalam diskusi kampus, kami sering dipaksa berbicara soal "sustainability", “green economy”, dan “inovasi digital”. Tapi bagaimana kami bisa bicara soal transisi energi, jika definisi energi saja tak pernah melibatkan kami sebagai pemilik? Transisi energi macam apa yang dibangun di atas batu bara kami, dijual untuk PLN, tapi membuat anak-anak kami menghafal pelajaran dengan penerangan lilin?

Lebih menjijikkan lagi ketika elite nasional menggunakan narasi “kemiskinan daerah” untuk membenarkan proyek-proyek ekstraktif. Katanya “kalau bukan dengan investasi, Aceh akan tertinggal”. Tapi siapa yang membuat kami tertinggal? Bukankah selama puluhan tahun hasil alam kami disedot untuk pertumbuhan Jakarta, Surabaya, dan Bandung? Mereka menciptakan ketimpangan, lalu menyalahkan kami karena tidak mampu berkembang.

Ketika kami mengorganisir diri, mereka kirim aparat. Ketika kami bicara di media, kami disebut provokator. Ketika kami memblokir jalan proyek, kami dituduh menghambat pembangunan. Mereka ingin kami diam, tertib, tunduk. Tapi mereka lupa satu hal Aceh tidak pernah tumbuh dari ketertundukan. Darah kami menyimpan ingatan tentang Teuku Umar dan Hasan di Tiro, bukan tentang konsultan proyek dan menteri ESDM.

Hari ini kami sadar bahwa sistem ini tidak bisa direformasi. Ia harus dilawan. Bukan hanya oleh Aceh, tapi oleh seluruh wilayah yang dijadikan “halaman belakang pembangunan nasional”. Oleh Kalimantan yang hutannya digunduli. Oleh Papua yang tambangnya tak pernah menyejahterakan. Oleh Sulawesi yang tanahnya dibelah demi nikel untuk mobil listrik orang kaya. Ini bukan soal Aceh semata. Ini soal logika pembangunan yang sejak awal hanya menjadikan daerah sebagai bahan bakar, bukan penumpang.

Sudah saatnya rakyat dari bawah menyusun kekuatan sendiri. Kita tidak bisa menunggu pusat sadar. Kesadaran tidak lahir dari seminar atau statement simpatik. Ia lahir dari kemarahan yang diorganisir. Dari kemarahan yang tidak lagi ditumpahkan di Instagram atau status WhatsApp, tapi dijadikan energi kolektif untuk mendirikan koalisi alternatif rakyat.

Dan terakhir, kita harus mendefinisikan ulang makna nasionalisme. Nasionalisme bukan tentang mencintai negara tanpa syarat. Nasionalisme adalah mencintai rakyat, mencintai tanah, dan mencintai hidup yang adil. Jika negara terus menjadi alat penindas, maka melawan negara adalah tindakan paling nasionalis yang bisa dilakukan oleh rakyat.

Mereka boleh menyebut kita ekstremis. Mereka boleh mengancam dengan pasal makar. Tapi sejarah akan mencatat bahwa kami bersuara karena kami cinta tanah ini. Dan cinta yang paling murni adalah cinta yang melawan ketidakadilan.

Jadi sekali lagi, kami bukan marah karena benci. Kami marah karena terlalu lama bersabar. Dan sekarang, kesabaran itu habis. [**]

Penulis: Rahmatal Riza (Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakuktas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI