Rabu, 18 Juni 2025
Beranda / Kolom / Konflik Timur Tengah: Menembus Kabut Sektarian, Menemukan Musuh Bersama

Konflik Timur Tengah: Menembus Kabut Sektarian, Menemukan Musuh Bersama

Senin, 16 Juni 2025 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Teuku Alfin Aulia

Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. [Foto: HO-dokpri]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Konflik di Timur Tengah kerap diberi narasi sederhana: perseteruan abadi antara Sunni dan Syiah. Narasi ini begitu dominan, sehingga publik sering mengabaikan dimensi geopolitik yang jauh lebih menentukan. Padahal, seperti yang diingatkan oleh tokoh ulama-politik Malaysia, Tun Abdul Hadi Awang, penyederhanaan konflik semacam itu bukan hanya menyesatkan, tapi juga menguntungkan musuh-musuh umat.

Politik Identitas vs. Musuh Bersama

Reduksi konflik menjadi masalah sektarian adalah kesalahan analitis yang fatal. Ia menutupi fakta bahwa banyak konflik Timur Tengah justru digerakkan oleh berbagai Intervensi asing (AS, Israel, NATO), yang didalamnya sarat dengan unsur perebutan sumber daya strategis (terutama minyak), serta hegemoni politik regional dan global.

Konflik sektarian antara sunni dan syiah, yang dipropagandakan secara masif (terutama pasca-2003) memang mengalihkan perhatian dari pendudukan Israel, intervensi Barat, dan eksploitasi sumber daya kawasan oleh kekuatan asing. Hal ini, dapat terlihat jelas saat ISIS menguasai Mosul pada tahun 2014, media global pada saat itu memframing narasi "Perang Sunni vs Syiah", sambil mengaburkan peran koalisi internasional dalam menciptakan kekosongan keamanan pasca-invasi Irak 2003.

Dengan jahatnya, mereka terus membakar narasi-narasi sektarian yang membawa Timur-Tengah kedalam konflik yang tak berkesudahan. Pembelian senjata akan sangat pasti meningkat drastis disaat perang dan konflik terus mengancam kawasan ini. Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa hampir 61% penjualan senjata global ke Timur Tengah sejak 2015 hingga 2019, keseluruhannya berasal dari AS dan Eropa.

Iran: Syiah Harakah Islamiyyah bukan Harakah Syiah

Revolusi Islam Iran, seakan telah merubah tampilan mayoritas Syiah di seluruh dunia muslim. Sayangnya, hal ini tak dapat disadari sepenuhnya oleh dunia muslim yang didominasi sunni. Seluruh perhatian dunia muslim hari ini tertuju kepada keteguhan Iran dan seluruh proksinya diTimur Tengah, yang berdiri disamping kelompok perlawanan Palestina dan kelompok-kelompok lainnya yang anti terhadap imperialisme barat.

Banyak yang kemudian dengan mudah berspekulasi, bahwa hal ini hanya kedok dan permainan picik Syiah Iran dengan kekuatan barat yang pura-pura bermusuhan, agar dapat menguasai negara-negara Arab yang mayoritas sunni. Entah mereka tak melihat, bahwa sepanjang konflik yang terjadi betapa banyak tokoh-tokoh utama Iran dan poros perlawanannya yang malah menjadi korban dari konflik ini.

Untuk mengetahui kejadian sebenarnya, maka kita harus kembali ke perjalanan revolusi Islam di Iran yang telah merubah semua ini. Iran pra revolusi dan pasca revolusi, merupakan dua entitas yang sangat jauh berbeda. Opini ini kemudian turut berdampak merubah pandangan tradisional konservatif kelompok-kelompok islam Syiah dunia lainnya yang dulunya terkenal sangat keras. 

Selain itu, hal ini turut berpengaruh dalam mempopulerkan sebuah poros gerakan Islam varian syiah yang anti terhadap Barat dan Israel. Dan lebih cenderung menyerukan konsep taqaribul madzahib (pendekatan madzhab), antara sunni dan syiah.

Semua ini berlatar dari sosok ulama sunni abad ke-19, yang bernama Jamaluddin Al-Afghani. Al Afghani memiliki konsep pan Islamisme versinya, yang bercita-cita menyatukan seluruh dunia muslim tak terkecuali Syi'ah yang mayoritas berada di Iran dan Iraq.

Jika di Mesir, ia meninggalkan muridnya Muhammad Abduh, yang kelak menjadi grand syaikh Al-Azhar, sebuah jabatan berpengaruh yang membuat pikirannya menyebar luas hingga melahirkan tokoh penting lainnya yang sepemikiran dengannya. Layaknya Rasyid Ridha dan Hassan Banna (pendiri IM).

Maka, saat Al-Afghani dibuang ke Persia pada tahun 1889, ia meninggalkan seorang tokoh syiah revolusioner berpengaruh bernama Ayatullah Kasyyani, yang kemudian pikirannya dilanjutkan oleh Ayatullah Khameini yang berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza yang dikenal pro barat pada tahun 1979.

Pasca-Revolusi 1979, Republik Islam Iran di bawah khomeini, tak hanya segera memutus hubungan dengan Israel. Tapi juga membangun sebuah paradigma perlawanan syiah muslim yang memiliki kedekatan dengan gerakan-gerakan progresif sunni lainnya di kawasan Arab. Keberhasilan revolusi Islam Iran, menjadi titik balik bagi gerakan sunni progresif di timur tengah seperti Ikhwanul Muslimin, untuk kembali bangkit dan menyebarkan benih gerakannya setelah dipersekusi hampir di seluruh negara-negara Arab.

Selain itu, demi mewujudkan tujuan ini, diambillah langkah-langkah yang membuka lembaran yang lebih baik antara sunni dan syiah, meski hal ini terkesan menggasakkan nilai-nilai klasik syiah yang cenderung tertutup. Antara lain adalah Fatwa Imam Ayatullah Khamenei pada tahun 2010, yang mengharamkan penghinaan terhadap simbol Sunni, seperti Aisyah RA dan para sahabat Nabi. Didirikannya Diwan Taqrib di Tehran menjadi bukti komitmen sistematis pendekatan mazhab. Hingga dukungan yang diberikan kepada kelompok-kelompok dengan visi anti-imperialis yang sama, seperti Hamas (Sunni) di Palestina dan Hizbullah (Syiah) di Lebanon.

Pasca-1979, Iran telah mencoba membalik narasi sektarian dengan pendekatan taqrib al-madzahib (pendekatan mazhab). Meski kemudian, realitas di Suriah dan Irak menunjukkan dilema itu. Kepentingan nasional Iran kadang berbenturan dengan semangat pan-Islamisme. Dukungan Iran terhadap rezim Bashar al-Assad, misalnya, dipandang problematis oleh banyak pihak, termasuk kalangan Sunni revolusioner.

Faktor Eksternal: Retakan yang Dimanfaatkan

Strategi lama penjajahan -- divide et impera -- dihidupkan kembali oleh kekuatan Barat, yang tak pernah menginginkan perdamaian di timur Tengah. Jeffrey Sachs, pakar politik timur tengah, didalam sebuah wawancara, pernah mengungkapkan bahwa seluruh konflik regional yang terjadi dikawasan ini, pada dasarnya merupakan bagian dari rencana Israel yang ingin memperkuat kekuatan dan cengkramannya atas kawasan dengan segala cara.

Selain itu, labelisasi kelompok perlawanan sebagai ekstremis, merupakan salah satu langkah yang paling sering diambil untuk mengecoh dan memecah opini publik. Ketika Hamas memenangkan pemilu demokratis Palestina pada 2006, Barat justru memberlakukan sanksi. Label "teroris" digunakan bukan karena hanya ideologi keagamaan, tapi karena penolakannya terhadap pendudukan Israel. Sekali lagi, musuh utama bukan Syiah atau Sunni, tapi kekuatan kolonial modern.

Tak kalah penting, rivalitas Saudi-Iran yang dipicu isu minyak, pengaruh regional, dan perang proksi di Suriah, Irak, dan Yaman, juga telah dijadikan alat oleh AS dan Israel. Keduanya memastikan bahwa kekuatan Timur Tengah tidak akan pernah benar-benar bisa bersatu.

Kesimpulan: Melampaui Narasi Sektarian

Konflik Timur Tengah bukanlah drama teologis abadi, melainkan perebutan kekuasaan yang dikemas dalam bingkai sektarian. Selama umat Islam masih terjebak dalam narasi “Sunni vs Syiah”, selama itu pula:

- Rezim otoriter lokal bebas mengalihkan isu domestik,

- Kekuatan asing leluasa menjarah sumber daya,

- Penjajahan Palestina terus berlanjut tanpa perlawanan berarti.

Persatuan umat, bukan berarti menafikan perbedaan mazhab, tapi menyadari bahwa musuh bersama -- imperialisme modern -- jauh lebih berbahaya. Kita sudah punya preseden: kerjasama Hamas, Jihad Islam, Hizbullah, Houthi dan Iran dalam menghadapi agresi Israel menunjukkan bahwa taqrib al-madzahib bisa menjadi senjata efektif -- jika tidak disabotase oleh ego sektarian dan kepentingan asing.

Al-Qur’an telah mengingatkan:

 “Dan berpegangteguhlah pada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)

Kini saatnya umat menanggalkan fanatisme sempit dan kembali pada visi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bish-shawab. [**]

Penulis: Teuku Alfin Aulia (Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra