Jum`at, 16 Mei 2025
Beranda / Kolom / Mengapa Dosen Muhammadiyah Layak Jadi Primadona Calon Menantu?

Mengapa Dosen Muhammadiyah Layak Jadi Primadona Calon Menantu?

Kamis, 15 Mei 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Andi Azhar

Penulis: Andi Azhar Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Foto: Dok Istimwa/SM


DIALEKSIS.COM | Kolom - Siapa yang mendefinisikan menantu idaman harus berprofesi PNS, banker, atau karyawan startup? Di era kekinian, gelar itu justru pantas disematkan pada para pengajar kampus Muhammadiyah. Ya, mereka yang mengabdi di kampus berlambang matahari bersinar dua belas, dengan tradisi pembacaan ayat suci sebelum rapat dan semangat keislaman yang mengakar. Bukan sekadar hiperbola ini fakta yang teruji.

Jika dosen kampus negeri berkutat pada Tridharma (pengajaran, penelitian, pengabdian), rekan mereka di Muhammadiyah harus menguasai "olahraga intelektual" tingkat lanjut: Catur Dharma. Elemen keempat bernama Al Islam dan Kemuhammadiyahan ini ibat marathon spiritual. Di sini, dosen tak hanya mengajar manajemen pemasaran, tapi juga harus mahir menyelipkan teladan kejujuran Nabi. Saat menerangkan integral kalkulus, ada seni mengaitkannya dengan konsep tauhid. Bukan sekadar logika akademik, tapi harmonisasi ilmu dan iman.

Bayangkan sosok yang bisa menyusun jurnal Scopus pagi hari, memimpin diskusi keislaman siangnya, lalu merangkul komunitas petani untuk pelatihan ekonomi sore hari sambil sesekali menjadi tukang antar galon saat kegiatan pengabdian masyarakat. Inilah rutinitas yang dijalani dosen Muhammadiyah dengan senyum ikhlas. Seperti Avatar yang menguasai empat elemen, mereka piawai mengelola peran sebagai akademisi, dai, motivator, bahkan event organizer acara kampus.

Keunikan mereka terletak pada kemampuan menyemai nilai dakwah secara organik. Tak perlu jargon religius bombastis cukup dengan menyisipkan kisah keteladanan Nabi saat mengajar teknik kimia, atau mengaitkan prinsip syariah dalam studi ekonomi digital. Saat meneliti fenomena sosial, ada kehati-hatian ekstra agar tak melanggar koridor dakwah. Di sini, indikator keberhasilan bukan hanya publikasi internasional, tapi juga sejauh mana riset itu membumi untuk umat.

Mereka rela menempuh jalan berdebu ke kampus terpencil, mengajar dengan honorer minim, lalu pulang untuk memimpin pengajian RT—semua dijalani tanpa keluh kesah. Seperti kisah teman saya di Jawa Timur: "Pagi mengajar manajemen, siang rapat program studi, malam menulis buku ajar sambil mengurus anak demam. Tapi ini semua bagian dari ibadah," katanya dengan mata berbinar. Di balik slip gaji sederhana, ada kebanggaan menjadi bagian dari gerakan pencerahan yang melampaui zaman.

Suatu hari, saya bertanya pada sekelompok ibu-ibu: "Kriteria menantu idaman?" Seorang ibu menjawab tegas: "Dosen Muhammadiyah! Pinter ngaji, sabar ngajar, dan nggak matre." Psikolog pun membenarkan: kombinasi kecerdasan intelektual, kedewasaan emosional, dan kedalaman spiritual mereka paripurna. Bonusnya? Siap jadi imam shalat keluarga atau pembicara seminar—multi-fungsi tanpa biaya tambahan.

Bagi para lajang, cobalah jelajahi kampus Muhammadiyah di kotamu. Bisa jadi jodohmu sedang duduk di sudut perpustakaan, menyiapkan materi kuliah sambil tersenyum pada proposal penelitiannya. Mereka mungkin tak mengendarai mobil mewah, tapi membawa "mobil pikiran" yang kaya ide. Bukan jas almamater yang membuatnya menarik, melainkan ketulusan saat mengajar mahasiswa sambil berbisik lirih: "Ini ladang amal saya."

Dosen Muhammadiyah adalah pahlawan kontemporer. Mereka membuktikan bahwa dedikasi sejati tak perlu panggung megah cukup ruang kelas sederhana, semangat membara, dan komitmen pada nilai-nilai. Bukan sekadar menantu idaman, tapi calon pendamping hidup yang paham arti pengabdian sesungguhnya. Di tangan merekalah, warisan KH Ahmad Dahlan terus bernafas: melahirkan intelektual yang tak hanya cerdas di otak, tapi juga bersinar di hati.**

Penulis: Andi Azhar Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas