Sabtu, 20 Desember 2025
Beranda / Kolom / Murthalamuddin dalam Rumus Daud Beureueh

Murthalamuddin dalam Rumus Daud Beureueh

Jum`at, 19 Desember 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra
Peneliti sejarah, Bisma Yadhi Putra. Foto: for Dialeksis 

DIALEKSIS.COM | Kolom - Sepasukan tentara Brigade AA berangkat dari markasnya untuk melaksanakan misi yang tak biasa. Mereka diperintahkan komandannya menggerebek rumah seorang ulama yang sudah agak tua. Waktu matahari belum lama terbit, sekitar jam tujuh pagi, pasukan tiba di tempat misi akan dilaksanakan. Mereka segera mengepung rumah Daud Beureueh di Desa Beureueh lalu masuk dan mengubrak-abrik seisi rumah.

Daud Beureueh mendapat penjelasan dengan nada kasar bahwa penggerebekan rumahnya merupakan operasi razia yang resmi. Razia dilakukan untuk mencari senjata ilegal yang menurut tentara disembunyikan dalam rumahnya. Rumah Daud Beureueh di Usi dan Paleue juga digeledah dengan dalih yang sama keesokan harinya, yakni pada 30 dan 31 Agustus 1951. Tentara kembali ke rumah di Beureueh pada 4 September untuk penggerebekan lanjutan.

Razia-razia itu tentu bikin Daud Beureueh jengkel dan merasa tak dihormati. Apalagi tentara dengan lancang mengatainya sebagai “kepala perampok dan kepala pembunuh”. Daud Beureueh kemudian mengirim protes tertulis kepada Presiden Sukarno. Dalam surat bertanggal 8 Oktober 1951, dia memperingatkan Sukarno mengenai tiga tahap perasaan orang Aceh dalam menyikapi kesewenang-wenangan.

Tahap pertama, sabar. Tahap kedua, sikap “tak menghiruakan” karena merasa jijik. Tahap ketiga, melawan.

Kalau kesewenang-wenangan tak dihentikan waktu orang Aceh masih sanggup bersabar, perasaan yang tumbuh berikutnya adalah “tak menghiraukan”; orang Aceh akan menjauhi pihak yang bersikap sewenang-wenang karena sudah jijik. Lalu ketika kewesenang-wenangan rupanya terus berlanjut, sikap orang Aceh akan naik ke tingkat “melawan”.

Tiga tahap perasaan orang Aceh yang dijelaskan Daud Beureueh berguna untuk memahami alam pikir yang melandasi setiap tindakan orang Aceh. Saya lebih suka menyebut ketiga tahap tersebut dengan istilah “Rumus Sikap Beureueh”.

Rumus Sikap Beureueh bisa dipakai untuk membaca ungkapan “jangan asal bacot” yang dilontarkan Murthalamuddin saat menyanggah pernyataan seorang bawahan Presiden Prabowo di sebuah acara televisi. Banyak orang Aceh memuji keberanian Murthalamuddin karena protes yang ia utarakan mewakili kekecewaan mereka. Kekecewaan ini tumbuh karena sejak bencana banjir akhir November lalu para pejabat di Jawa silih berganti mengumbar omongan yang tak sesuai fakta di lapangan.

Pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah itu menggambarkan situasi di Aceh sudah terkendali; pemerintah telah berhasil mengendalikan keadaan; tidak ada korban banjir yang menderita. Orang Aceh muak mendengar penjelasan-penjelasan yang tak benar itu. Faktanya, dua minggu setelah bencana masih banyak korban banjir kelaparan, tidak punya tenda untuk berlindung, listrik padam berhari-hari.

Murthalamuddin, seperti banyak orang, tampaknya mulai jijik mendengar kebohongan-kebohongan para pejabat di Jawa. Ungkapan “jangan asal bacot” yang dipuji secara luas menjadi pertanda bahwa rakyat Aceh sudah beranjak dari “fase sabar” ke “fase jijik”. Kalau Murthalamuddin yang seorang pegawai negeri saja sudah sejijik itu dengan omongan birokrat, apalagi rakyat!

Sikap jijik dan melawan sebetulnya berjarak cukup dekat biarpun ada perbedaan menonjol antara keduanya. Ketika orang jijik atas sesuatu, dia akan menjauhi hal yang menjijikkan itu. Ketika orang ingin melawan suatu pihak, dia akan mendatangi pihak tersebut. Perbedaannya terletak di “menjauhi” dan “mendatangi”.

Namun, perasaan bisa berubah. Saat melangkah menjauhi hal yang menjijikkan, orang tinggal berbalik arah untuk melawan hal yang membuatnya jijik itu. Setelah dua tahun menjauhi pemerintah dan militer karena merasa jijik pada kesewenang-wenangan mereka, pada September 1953 rakyat Aceh mendatangi pos-pos polisi, markas-markas tentara, dan kantor-kantor pemerintah untuk merampas senjata, menghancurkan alat-alat kerja, dan membunuh siapa pun yang menghalangi perlawanan mereka.

Dalam menangani bencana banjir saat ini, pejabat-pejabat negara perlu memahami bahwa mereka sudah sangat menjijikkan. Dan, sekali lagi, fase jijik dan fase melawan cukup dekat karena kedua fase itu sama-sama disemai oleh kebencian atas dusta orang-orang berpangkat.

Penulis: Bisma Yadhi Putra, peneliti sejarah

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
pema