Sabtu, 17 Mei 2025
Beranda / Kolom / Musda Golkar Aceh: Untuk Siapa Restu Bahlil Dijatuhkan?

Musda Golkar Aceh: Untuk Siapa Restu Bahlil Dijatuhkan?

Sabtu, 17 Mei 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Aryos Nivada

Penulis: Aryos Nivada pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi


DIALEKSIS.COM | Kolom - Musyawarah Daerah (Musda) ke - 12 Partai Golkar Aceh, yang akan digelar pada Juni 2025, diprediksi menjadi panggung pertarungan panas penuh intrik dan kejutan. Persiapan terus dimatangkan oleh Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC), sementara atmosfer persaingan kian memuncak di balik layar.

Calon-calon kuat mulai bermunculan: Teuku Raja Keumangan (TRK), Andi Harianto Sinulingga, Lukman Cut Mukhtar, Muhammad Salim Fakhry, hingga Bustami Hamzah, yang pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh 2024. Namun sejauh ini baru Andi Harianto Sinulingga, putra Aceh Tenggara, yang berani bersuara meski masih terkesan setengah hati. Ia menyatakan kesiapannya apabila diperintah oleh DPP atau Ketua Umum, tetapi pernyataan itu terkesan lebih sebagai basa - basi politik daripada deklarasi tegas.

Sebagian besar kandidat memilih langkah senyap: menjalin komunikasi politik, memperluas jaringan, dan tentu saja memburu restu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Di Golkar, restu pusat lebih khusus restu Ketua Umum adalah tiket emas menuju kursi Ketua DPD I.

Sejarah pun mencatat, pada Musda 2020, persaingan antara Teuku Muhammad Nurlif dan Teuku Husen Banta langsung berubah drastis setelah Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Umum DPP, datang membawa mandat Ketua Umum Airlangga Hartarto untuk mendukung Nurlif. Begitu restu pusat turun, perlawanan nyaris tak terdengar karena suara DPD II segera berpihak.

Kini, aktor utama yang menentukan arah restu adalah Bahlil Lahadalia, Ketua Umum baru Partai Golkar. Semua mata tertuju padanya: untuk siapa restu itu akan dijatuhkan?

Tersiar kabar bahwa Teuku Muhammad Nurlif tengah melobi untuk maju kembali. Jika benar hendak bertarung untuk periode ketiga, ia membutuhkan diskresi khusus dari Ketua Umum. Selain soal jabatan, diskresi itu akan menjadi ujian integritas Golkar dalam menjaga semangat kaderisasi dan regenerasi.

Rekam jejak prestasinya selama memimpin sudah terbukti, namun ambisi untuk melanjutkan sampai tiga periode justru berpotensi merugikan institusi Partai Golkar. Meski begitu, semua itu menjadi mungkin tatkala restu Bahlil berada dalam genggamannya.

Atau mungkinkah diskresi itu justru ditujukan kepada Bustami Hamzah, yang tengah diisukan ingin maju sebagai Ketua DPD I Golkar Aceh? Wacana ini terasa logis, mengingat kedekatan emosional antara keduanya. Meski langkah semacam ini sah dalam dinamika politik Golkar bukan sesuatu yang baru namun tetap berpotensi menimbulkan kontroversi, karena dikhawatirkan mengabaikan suara akar rumput.

Di tengah riuhnya dinamika, gelombang aspirasi kader dan DPD II yang mendambakan darah segar semakin menguat. Di sinilah nama Andi Harianto Sinulingga mulai bersinar: sosok muda, enerjik, dan lahir dari dalam partai sendiri. Banyak yang menilai, hanya wajah baru dengan semangat progresif dan inovatif yang bisa menyegarkan citra Golkar Aceh di mata publik.

Jangan lupa, Teuku Muhammad Nurlif telah meletakkan fondasi kokoh 88 kursi DPRK, 9 kursi DPRA, 3 kursi DPR RI, serta kemenangan kader di berbagai pilkada. Prestasi tersebut wajib dicatat dalam sejarah, namun pondasi itu tidak boleh lapuk karena ambisi pribadi. Sebaliknya, ia harus menjadi warisan berharga untuk mengantarkan pemimpin baru lahir dari aspirasi kader dan DPD II.

Jika Nurlif memilih menyerahkan estafet kepada sosok muda seperti Andi HS, itu bukan simbol mundur, melainkan kenegarawanan. Ia akan dikenang sebagai tokoh yang berhasil menjembatani regenerasi sejati dalam tubuh Golkar Aceh sebuah ‘legacy’ yang abadi.

Sosok sekelas Nurlif telah membuktikan kebijaksanaannya dengan memberikan kesempatan bagi junior untuk tumbuh menjadi tokoh penting, bahkan pemimpin tertinggi Golkar Aceh. Setelah itu, ia pun siap berperan sebagai mentor, membimbing jalannya partai sesuai AD/ART. Pertanyaannya: siapkah ia menjalani peran tersebut? Biarlah waktu yang menjawab dan menguji komitmennya.

Musda kali ini bukan sekadar pemilihan ketua: ini momentum penentu masa depan. Akankah Golkar Aceh terus bertumbuh dengan semangat pembaruan, atau terjebak dalam lingkaran kekuasaan lama?

Satu hal pasti siapa pun yang duduk di pucuk beringin Aceh nanti harus mampu mempersatukan seluruh elemen partai, membangun kepengurusan yang rekonsiliatif dan akomodatif, serta menjadi motor penggerak menuju kemenangan Pemilu dan Pilkada tahun 2029 serta mampu bertindak nyata mendukung jalannya roda pemerintahan di kepemimpinan Muzakir Manaf dan Fadhlullah sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.

Selamat ber-Musda Golkar Aceh. Arahkan layar perahu beringin menuju masa depan. Jadikan semangat kaderisasi sebagai kompas, dan biarkan sejarah mencatat siapa yang layak mendapat restu Bahlil.Jayalah Partai Golkar Aceh di darat, laut, dan udara! sebagai The Party of Ideas.

Penulis: Aryos Nivada pendiri Jaringan Survei Inisiatif dan Lingkar Sindikasi

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes
hardiknas