Beranda / Kolom / Papua: Konflik dan Kesejahteraan

Papua: Konflik dan Kesejahteraan

Minggu, 06 September 2020 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Otto Syamsuddin Ishak, Pengajar Universitas Syiah Kuala


Indonesia, sebenarnya, memiliki keragaman pengalaman untuk perihal konflik dan perdamaian. Bayangkan saja, sejak kemerdekaan hingga hari ini tidak ada rezim yang bebas dari konflik, baik vertical dan horizontal. Bahkan kedua hal itu merupakan kelanjutan dari yang pertama.

Karena itu, Indonesia bukan saja ring of fire dalam hal bencana alam, tapi juga dapat dikatakan titik api dalam hal konflik, baik vertical maupun horizontal, serta titik kesejukan untuk perdamaian, yang terbentang dari Asia hingga Pasifik. Nusantara dilewati sabuk konflik dan damai.

Dalam konteks politik global kekinian, Rezim harus mempertimbangkan dinamika di Laut China Selatan dan garis kesinambungannya dengan Covid19, yang memicu resesi ekonomi global.

Tapi, ada baiknya, kita memandang kembali ke ring of conflict yang merentang dalam sejarah politik Indonesia sendiri. Hal utama, sejak Indonesia terbentuk sebagai sebuah republic yang memproklamirkan dirinya sejak 17 Agustus 1945. Bahkan kita bisa membaca kembali rezim demi rezim hingga saat ini.

Belanda membutuhkan waktu sekitar 60 tahun untuk mengakui Republik ini. Pada saat bersamaan muncul revolusi social di berbagai daerah. Kemudian konflik vertical berturut-turut dalam periode Rezim Soekarno. DI/TII 1949-1962 di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Operasi militer bergerak, kecuali Aceh berujung pada perdamaian, maka Kartosoewirjo, Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar dieksekusi mati.

Lalu dalam periode Rezim Soeharto, fenomena yang tak diselesaikan dengan komitmen politik damai itu dimanifestasikan dengan kemunculan komando jihad. Bahkan sejak peristiwa WTC 9/11, yang melahirkan isu terorisme global, maka seturut periode rezim dilakukan operasi bersenjata hingga hari ini.

Ada Republik Maluku Selatan 1950, yang tidak selesai, berfluktuasi dari manifest ke latent hingga saat ini. Meskipun operasi militer memenangkan pertarungan bersenjata, dan Chris Soumokil dieksekusi 1966. Kemudian muncul konflik horizontal berbasis agama pada 2011.

Ada Permesta yang muncul di kawasan Timur 1957-1962, dengan tuntutan desentralisasi lebih luas. Elite di Jakarta pecah, Operasi militer digelar. Isu kemunculan PKI dan Republik Persatuan Indonesia.

Di Sumatera muncul PRRI 1958-1961 yang menjalar dari Padang hingga ke Sulawesi, dengan tuntutan otonomi yang lebih luas. Rezim merespon dengan menggelar operasi militer dari bersandikan Operasi Tegas hingga Operasi Merdeka. 

Hal ini berdampak eksodus warga Minang, muncul stigma pemberontak hingga penghancuran tugu-tugu pembebasan. Apakah pernyataan Megawati dan Puan yang mengabaikan hal historis kelahiran Pancasila ada benang merah dengan peristiwa konflik vertical di masa lalu?

Pertanyaan tersebut, untuk konteks Aceh, adalah kelahiran gerakan Aceh Merdeka 4 Desember 1976. Dari sisi Aceh, begitu Megawati menerapkan status Darurat Militer untuk Aceh, yang bukan saja dengan terlebih dahulu mendestruksi proses damai yang dirintis Gus Dur, tapi mengangkat memori orang Aceh perihal status yang sama yang dahulu diberikan Soekarno untuk Aceh.

Sejarah berulang, buah jatuh tidak jauh dari pohon.

Lalu, bagaimana dengan penyelesaian Papua di masa Rezim Jokowi –dengan mengingat kebijakan dalam periode Soekarno dan Megawati, serta partai nasionalis yang tidak memiliki riwayat perdamaian dan negosiasi?

Memanglah, tidak ada negosiasi politik sebagai prasyarat menuju komitmen politik baru. Sementara di sisi lain, gerakan separatism kian terorganisasi dengan baik, kian bersenjata, kian andal dalam mengambil hati kekuatan politik dunia, khususnya kian mendapat tempat politik di dalam forum Negara-negara di kawasan Pasifik.

Namun, di lain pihak, ada inisiatif-inisiatif kecil untuk mempertimbangkan perihal pembangunan dan kesejahteraan di Papua. Padahal, adalah suatu kemuskilan, di mana pun di dunia ini, kesejahteraan terjadi dalam konteks (wilayah) konflik. Namun sebagai sebuah diskursus, silahkan lanjutkan. Siapa tahu mukjizat terjadi di ujung diskursus.

Mungkin harapan kesejahteraan bisa muncul bila ada gelagat-gelagat ikhtiar transformasi konflik. Namun, gelagat itu belum muncul hingga saat ini, sementara kita sudah berada dalam bayang-bayang resesi global.*

Penulis : Otto Syamsuddin Ishak, Pengajar Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda