Beranda / Kolom / PDYM Malik Mahmud: 72 Jam Penjara

PDYM Malik Mahmud: 72 Jam Penjara

Selasa, 29 Maret 2022 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Muhammad Ridwansyah


Artikel ini ditulis sembari sarapan bersama dengan Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al-Haytar di salah satu hotel di Jakarta minggu ketiga Maret 2022. Maksud dari teks artikel ini hanya bagian dari perjalanan bangsa Aceh, tidak ada mengandung unsur apapun selain narasi historis yang ingin saya sampai disaat ulang tahun beliau yang ke 83 tahun ini (28 Maret 2022).

Di saat duduk bersama saya ingin mengetahui bagaimana sebenarnya kisah penahanan beliau oleh kepolisian Swedia kala itu bahkan membuat Kejaksaan Swedia turun ke Aceh untuk memgumpulkan bukti-bukti atas dugaan melakukan pembakaran dan penculikan (teror) di Aceh.

Saya langsung bertanya, mohon izin Yang Mulia bagaimana kisahnya dulu ditahan oleh Kepolisian Swedia atas tuduhan membuat teror di Indonesia dan khususnya di Aceh?

PDYM Malik Mahmud Al-Haytar tertegun ketika mendengar pertanyaan itu? Karena peristiwa itu sudah 18 tahun lamanya. Sambilan menyeruput kopi beliau menjelaskan demikian detail peristiwa tersebut.

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 15 Februari 2002, Malik Mahmud ditahan oleh Kepolisian Swedia sekitar pukul 07.00 di apartemen beliau di Kota Stockhlom. Kejadian ini sebenarnya sudah diprediksi lebih awal karena ada tim dari pihak Indonesia yang menginformasikan akan ada penahanan dari pihak yang berwajib.

Bahkan beliau sudah menghubungi seorang pengacara yang terkenal di Stockhlom yakni Leif Silbersky dan menceritakan semua fakta-fakta yang sebenarnya. Ada dua hal yang disampaikan.

Pertama, mengenai historis Aceh dan politik Aceh saat itu, bahwa historis Aceh sudah sejak dari dulu sudah menjadi daerah yang berdaulat tepatnya pada abad ke-17 Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di Kawasan Selat Malaka. Kemudian secara politik tidak pernah takluk atas penjajahan Kolonial Belanda ketika perang Aceh berlanjut, uraian demi uraian terus beliau sampaikan kepada sang pengacara.

Kedua, secara hukum beliau menjelaskan menghormati konstitusi yang berlaku di Swedia dan beliau menyatakan bahwa pada saat itu masih berkedudukan sebagai warga negara Singapura, tidak mungkin Malik Mahmud ketika itu diekstradisi ke Indonesia.

Pada saat penggeledahan dan penahanan dihari pertama, Malik Mahmud ketika itu masih di kamar apartemen, pagi-pagi sekali karena musim dingin. Semua sudut kamar diperiksa, termasuk berkas-berkas, pakaian, lemari, uang belanja pribadi dan catatan-catatan tentang Aceh dibawa oleh pihak kepolisian.

Ketika sampai di Kantor Kepolisian langsung ditempatkan dikamar 2 x 3 meter persegi, digedung bawah tanah, posisi kamar tidak ada toilet, tempat tidur hanya beralasan lantai ubin saja. Sel dengan tembok bercat krem muda, dibatasi dengan pintu besi dan kaca berwarna gelap, kaca gelap itu menyebabkan orang dari luar bisa melihat kondisi tahanan di dalam.

Saat itu saya bertanya, Yang Mulia apakah bisa tidur? 15-16 Februari 2002.

Malik Mahmud, “Saya sebenarnya sudah perkirakan ini dan siap menerima konsekuensi apapun atas perjuangannya untuk Aceh mencapai keadilan yang bermartabat”.

Malam itu rupaya beliau tertidur lelap sampai mimpi dengan abangnya Tgk. Haji Amir Rashid Bin Tgk, Haji Mahmood mendatangi beliau ke penjara. Mungkin sebab rindu kepada abangnya dan sudah tidak ada komunikasi dalam dua hari ini.

Kondisi kamar penjara yang tidak ada toilet, ketika ingin ketoilet maka harus tekan bel dan terkadang penjaga penjara sering sekali lamban mungkin hal ini sengaja untuk menekan psikologis tersangka ketika pemeriksaan nanti. Tetapi bagi Malik Mahmud hal ini pantang bagi orang Aceh yang memang sudah dikenal sejak dari dahulu sebagai pejuang tangguh.

Penulis dalam ini teringat, pada sosok Nelson Mandela yang dipenjara oleh kaum Apartheid. Beliau sangat tegar bahkan ketika dipenjara beliau mendapat semacam anugerah semangat terbesarnya dipenjara untuk menjadi seorang revolusioner antiapartheid bahkan menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan dikemudian hari.

Pada tanggal 16-17 Juni 2002, Malik Mahmud dimintai keterangan oleh penyidik Kepolisian Stockholm dan didampingi oleh pengacara Leif Silbersky. Malik Mahmud mempunyai kesempatan emas untuk menceritakan bagaimana historis Aceh dan menjelaskan secara urut kepada penyidik.

Malik Mahmud menjelaskan panjang lebar bahwa kedudukan Aceh selevel dengan negara-negara di Eropa, pernah menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat melalui konsulat mereka di Singapura, pernah menjalin kerjsama dengan pihak Kerajaan Inggris, Turki, dan lain-lain.

Bahwa bangsa Aceh adalah bangsa yang sudah lama ada dan berdiri atas diri sendiri. Kepala Penyidik Gunnar Akersten yang beranggotakan Therese Naes, dan Bjorn Erlandsson semakin memahami bahwa konteks kasus Aceh ini tidak ada pelanggaran hukum di Swedia bahkan jauh dari perbuatan teror seperti Pemerintah Indonesia tuduhkan kala itu.

Disamping itu juga, pihak Pemerintah Indonesia melalui Direktur Eroa Barat Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri Repulik Indonesia 2014-2024) dan Juru Bicara Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa (Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 2009-2014) dan Kapolri Dai Bachtiar didukung oleh Pangdam Iskandar Muda Mayjen Jenderal TNI Endang Suwarya sudah menyiapkan barang bukti 1.500 lembar naskah sampai mengirimkan penerjemah bahasa Aceh.

Tidak main-main, tuduhan pada saat itu adalah bahwa Malik Mahmud dan kawan-kawan melakukan aksi pengeboman Bursa Efek Jakarta Atrium Senen, Mal Cijantung, pembunuhan Teungku Nazaruddin Daud, dan Profesor Dayan Daud (Rektor USK).

Kategori pelanggaran HAM berat terhadap hukum internasional hal ini dikemukakan oleh Kepala Kejaksaan Distrik Stockholm Tomas Lindstrand, Wakil Kepala Kejaksaan Stockholm Agnetha Hiding Qvarnstorm berserta pihak kepolisian.

Pada saat sidang pada tanggal 18 Juni 2002, Majelis Hakim Pengadilan Distrik Huddinge Stockholm ternyata membebaskan Malik Mahmud dan kawan-kawan atas tuduhan terorisme di Indonesia khususnya di Aceh. Bukti-bukti yang dikumpulkan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan sama sekali tidak bisa digunakan untuk menjerat pihak yang bersangkutan. Pengadilan Distrik Huddinge Stockholm Swedia memutuskan untuk membebaskan dan menyatakan Malik Mahmud bebas dari tahanan kejaksaan mendapatkan kompensasi pemulihan martabat.

Pernah ada pengakuan, Kepala Kejaksaan Thomas Lindstrand kebingungan untuk memperpanjang masa tahanan mereka karena Sebagian barang bukti yang disita tidak ada sangkut pautnya dengan Malik Mahmud yang dituduhkan pihak Indonesia.

Sementara itu, hukum acara pidana di Swedia, penahanan tersangka tidak boleh melebihi 3 hari atau 72 jam penjara. Oleh sebab itu Panitera Pengadilan Huddinge Olof Larsberger menjelaskan kepada pihak media bahwa Malik Mahmud tidak lagi ditahan akibat bukti-bukti yang disampaikan kepada pengadilan tidak cukup kuat.

Saya bertanya kembali, bagaimana perasaan Yang Mulia saat dibebaskan?

“Alhamdulillah senang dan memang saya tidak pernah melakukan tuduhan-tuduhan Pemerintah Indonesia. Bahkan kala itu Pemerintah Swedia memberi kompensasi sebesar 10.000 kronor atau sebesar 12.25 juta atas penahanan beliau tetapi saya tidak mengambilnya,” sebut PDYM Malik Mahmud.

  Muhammad Ridwansyah, M.H., adalah Mahasiswa Program Studi Doktoral Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda