Beranda / Kolom / Kereta Api Aceh: Masa Lalu dan Masa Depannya

Kereta Api Aceh: Masa Lalu dan Masa Depannya

Sabtu, 13 April 2024 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis: Bisma Yadhi Putra Peneliti Sejarah


DIALEKSIS.COM | Kolom - Kereta api Aceh pernah hidup sebagai dua simbol. Pada masa jayanya, ia menjadi simbol kemajuan transportasi lokal. Namun, pada saat bersamaan ia pun dilihat rakyat yang antipenjajahan sebagai satu simbol kolonial.

Cerita kelahiran kereta api Aceh tidak dimulai dari perannya sebagai transportasi publik. Kereta api Aceh pertama kali dibangun pada 1876 oleh institusi militer kolonial, yakni Departemen Peperangan Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunan hingga penambahan stasiun, panjang rel, dan lokomotif dilakukan demi kepentingan perang. Gerbong-gerbong dipakai untuk mengangkut prajurit serta alat-alat tempurnya selama periode Perang Aceh (1873-1904).

Setelah Perang Aceh, pengelolaan kereta api dipidahkan ke sebuah perusahaan khusus perkerataapian, yaitu Atjeh Staatsspoorwegen (ASS). Berbagai pengembangan serta penyesuaian teknis dilakukan ASS untuk terus meningkatkan daya jelajah kereta api mereka. Rel-rel diganti dan diperpanjang dari total 511 kilometer yang sudah ada.

Namun, tekanan terhadap kereta api masih terus terjadi. Berakhirnya Perang Aceh tak ditandai dengan lenyapnya kebencian terhadap sistem perkeretaapian. Para pejuang Aceh terus melancarkan aksi perusakan rel karena kereta api masih dipandang sebagai simbol penjajahan sekaligus penunjang operasi tempur musuh mereka.

Pemerintah Hindia Belanda tentu tak diam menghadapi persoalan ini. Di samping aksi militer untuk mengejar para pelaku, upaya “permainan bahasa” juga ditempuh, yaitu dengan menyebut para pelaku perusakan rel dan kereta api sebagai “musuh bangsa Atjeh”. Pelabelan ini misalnya dilakukan dalam publikasi berjudul “Boekoe Peringatan dari Straatsspoor-En Tramwegen di Hindia-Belanda 1875-1925” (Topografische Inrichting Weltevreden, 1925).



Setelah kemerdekaan Indonesia, terbit banyak catatan tentang pengalaman naik kereta api di Aceh. Catatan-catatan itu ditulis oleh pejabat lokal, jurnalis, prajurit, serta para pendatang. Hal yang unik dalam catatan orang-orang dari luar Aceh adalah perbandingan antara kereta api yang ada di Aceh dengan yang ada di Jawa. Perbandingan itu soal ukuran gerbong serta kecapatan lajunya.

Gatot Iskandar dan Suroso, dua tentara pelajar asal Jawa, dikirim ke Aceh guna menyebarluaskan berita kemerdekaan Indonesia. Dalam buku “Kurir-Kurir Kemerdekaan: Kisah Nyata Para Pemuda Pembawa Berita Proklamasi 1945” (2001), Gatot dan Suroso mengisahkan mereka berangkat dari Medan ke Aceh dengan sebuah kereta api yang jalannya lambat sekali. Alhasil, kepanjangan ASS kerap dipelesetkan dari Atjeh Staatsspoorwegen menjadi “Asal Sampai Saja”. Keduanya berangkat waktu hari masih gelap dan tiba di Langsa saat hari sudah gelap kembali.

Kisah menarik lainnya ditulis Muhamad Radjab dalam “Catatan di Sumatra” (2020). Dalam catatan perjanalannya, Radjab meledek ukuran kereta api di Aceh yang ia lihat dan naiki: “Di Aceh ini kereta apinya kecil, lokomotof kecil, stasiun kecil, semua kecil. Sewaktu berjalan-jalan ke Stasiun Langsa, saya merasa masuk ke sebuah rumah kanak-kanak dan melihat kereta kanak-kanak. Orang Aceh sudah biasa dengan kereta kecil ini. Banyak mereka yang menyangka bahwa inilah kereta yang sebesar-besarnya di dunia”.

Setelah pendudukan Belanda, syariat Islam mulai masuk ke loket dan gerbong-gerbong kereta api. Di Langsa, Radjab menemukan sistem pengelolaan kereta api yang memisahkan tempat pembelian karcis bagi perempuan dengan laki-laki. Perempuan juga diangkut di gerbong yang terpisah dari kaum laki-laki.

Tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia merupakan masa-masa indah bagi kereta api Aceh. Rakyat suka naik kereta api untuk tujuan wisata, pergi kerja, mengangkut ternak dari kampung ke Kutaraja, membawa hasil pertanian, berdagang ke tempat lain, dan sebagainya.

Namun, saat meletus pemberontakan Darul Islam Aceh pada 1953 kereta api kembali dilihat sebagai satu simbol penjajahan. Banyak orang kembali menempatkan kereta api sebagai simbol sekaligus aset pemerintah yang harus dirusak secara konsisten. Aksi-aksi pembakaran stasiun, pembongkaran rel, dan pengeboman kereta api berulang-ulan terjadi selama periode riuh ini. Bahkan di Aceh Timur, seorang masinis tewas setelah kereta api yang ia kemudikan jatuh ke bawah jembatan yang relnya telah dirusak pemberontak.

Periode 1970-an hingga 1980-an adalah masa-masa sekarat kereta api Aceh. Menurut cerita orang-orang Aceh yang hidup di era kereta api, ada beberapa faktor yang membuat kereta api ditinggalkan. Bencana alam, kerugian keuangan, dan membaiknya jalan raya adalah tiga di antaranya.

Banjir bandang di Sungai Bengga, Pidie, pada 1976 menghancurkan jembatan rel. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai awal berakhirnya era kereta api Aceh. Kerusakan jembatan itu tak pernah diperbaiki oleh pemerintah. Kereta api kian tertekan saat kondisi jalan darat semakin bagus. Mobil atau angkutan umum semakin banyak melintas di jalan raya yang tak jauh dari rel kereta api. Orang-orang mulai beralih menggunakan mobil, bus, atau truk karena lebih mudah diakses dan cepat lajunya. Kereta api yang kecepatan lajunya masih sekitar 25-30 kilometer per jam, terus ditinggalkan.

Alhasil, Perusahaan Jawatan Kereta Api Aceh tak bisa menghindari merosotnya pendapatan serta kerugian. Pada 1982, kereta api Aceh resmi diakhiri operasinya. Sejak saat itu, besi-besi rel yang sudah berkarat dibongkar oleh otoritas maupun warga. Hunian-hunian mulai dibangun di sisi bekas rel, bahkan ada yang di atasnya.

Bertahun-tahun kemudian, muncul banyak upaya untuk menjadikan kereta api Aceh hidup berjaya seperti sediakala. Namun, tak satu pun ada kerja yang berhasil. Kekurangan dana, korupsi, kurangnya komitmen adalah kendala-kendala yang menyebabkan kereta api Aceh tak kunjung terestorasi. Sampai akhirnya, muncul gagasan yang terasa cukup masuk akal untuk situasi saat ini: kereta api cepat.


KA Cut Meutia Aceh(BKIP Kemenhub)

Gagasan menghadirkan kereta api cepat di Aceh datang dari PT KAI pada 2022 silam. Waktu itu, di Aceh sempat digelar sosialisasi bertema “Kereta Cepat untuk Indonesia Maju di Aceh”. Hal ini turut didengungkan oleh anggota DPR asal Aceh, Muslim. Gagasan tersebut merupakan bagian dari upaya pembangunan jalur kereta api trans-Sumatra (menghubungkan Sumatra dari ujung ke ujung).

Kehadiran kereta api cepat sangat tepat. Sekarang, warga Aceh sudah punya banyak pilihan untuk memperoleh moda transportasi darat berkecepatan tinggi untuk perjalanan antarkabupaten bahkan antarprovinsi. Perusahaan-perusahan angkutan umum yang ada terus memperbanyak unit mobil van multifungsi Hiace. Mobil ini diminati karena mampu melaju kencang sehingga penumpangnya bisa sampai di tempat tujuan dengan cepat. Orang naik Hiace di Lhokseumawe, tertidur, lalu lima jam kemudian terbangun sudah tiba di Banda Aceh.

Keunggulan lainnya: penumpang diantar langsung tepat di titik tujuan. Kereta api konvensional, yang saat ini terus dikembangkan panjang lintasannya di Aceh, mungkin akan kesulitan bersaing dengan moda transportasi ini. Dengan demikian, jenis kereta api yang mampu bersaing dengan “mobil Hiace” adalah kereta cepat. Meskipun tarifnya lebih tinggi dari naik Hiace, orang tentu lebih memilih kereta cepat yang bisa mengantarkan mereka ke kabupaten lain dalam hitungan menit. Apalagi risiko kecelakaan naik kereta api lebih kecil ketimbang naik mobil.

Pemerintah harus yakin bahwa masa depan perkeretaapian di Aceh akan cerah jika kereta api cepat dihadirkan. Era perkeratapian Aceh tentu bisa dikembalikan dengan menghadirkan sebatas kereta api konvensional. Akan tetapi, untuk membangun era perkeretaapian Aceh yang jaya seperti dahulu mesti melibatkan kereta api cepat.

Penulis: Bisma Yadhi Putra Peneliti Sejarah

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda