Beranda / Kolom / Pengadilan Meniadakan Hukum

Pengadilan Meniadakan Hukum

Kamis, 05 Januari 2023 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

2014, saat itu masa Pencapresan. Isu pelanggaran HAM pasang naik terkait salah satu Capres. Saya pun, sebagai komisioner Komnasham, mencoba menyelidiki untuk menjernihkan sengkarut masalah.

Langkah pertama, melayangkan surat pemanggilan untuk diminta keterangan pada seorang pensiunan jenderal, yang kebetulan mendukung salah satu capres.

Asyiknya, sang jenderal datang ke Komnasham, namun bukan di hari-hari kerja, yakni Sabtu. Apakah ini trik sang jenderal untuk mengakali tim komnasham RI?

Akhirnya, kami memutuskan untuk meminta pihak pengadilan, yang locusnya di Jakata Pusat, untuk melakukan pemanggilan paksa. Karena lama tak direspon, maka kami meminta melakukan audensi dengan Ketua Pengadilan.

Pada saat pertemuan, hakim yang mulia yang kebetulan Ketua Pengadilan, memberikan petuah yang dianggapnya bijak. Singkatnya, ia mengatakan bahwa sekarang di dalam penegakan hukum juga sudah memakai analisis dampak.

Atas dasar itu, dengan mempertimbangkan jelang Pilpres, dan subyek yang diminta Komnasham tersebut seorang tokoh yang berpengaruh, maka kami putuskan untuk menjaga situasi yang kondusif Pilpres, pemanggilan paksa tersebut kami tunda.

Analisis dampak lingkungannya bila pemanggilan paksa itu dilakukan, maka situasi akan berubah menjadi tak kondusif untuk Pilpres 2014.

2022. Pengadilan Negeri Banda Aceh menggelar peradilan untuk kasus penggusuran brutal (berkekerasan dan memaksa) yang dipimpin oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Samsul Rijal terhadap sejumlah rumah di Kopelma Darussalam (perkara Nomor 18/Pdt.G/2022/PN-Bna).

Tindakan itu dianggap illegal dan brutal. Pertama, di luar keputusan pengadilan, bahkan memunggungi pengadilan negeri itu sendiri.

Kedua, Rektor dan dan stafnya menggunakan alat kekerasan negara (polisi, satpol PP dan Satpam, yang tupoksinya untuk menjaga keamanan setiap warga negara), dan yang pengerahannya harus memiliki payung hukum.

Ketiga, proses lelang oleh Lembaga negara (KPKNL) tidak dilakukan secara transparan. Keempat, pemenang lelang adalah aparat keamanan negara.

Hal yang penting dicatat bahwa, selama persidangan berlangsung, baik dalam proses mediasi maupun kesaksian-kesaksian dari para pihak, para tergugat (4 tergugat) sama sekali tidak pernah hadir atau dihadirkan.

Namun, Majelis hakim - atas nama keadilan- dapat mengambil keputusan bahwa gugatan penggugat tidak diterima. Majelis tidak memutuskan sama sekali apa yang menjadi posisi legalnya (benar atau bersalah).

Keputusan sapujagat tersebut, pertama, melegalkan hakim untuk tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan penggugat. Lalu, apakah hakim mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan tergugat?

Bahkan, hakim mengabaikan bukti-bukti yang tidak bisa diajukan tergugat, di antaranya dokumen hibah Kopelma Darussalam dari Aset Pemerintahan Aceh menjadi asset Universitas Syiah Kuala, lalu menjadi asset pemerintah Pusat (yang tercatat pada Departemen Keuangan RI).

Kedua, Majelis Hakim juga mengabaikan keterangan-keterangan saksi yang berada di bawah sumpah (Al-Quran) dari para pihak. Lalu, apa arti sumpah…apa arti kesaksian. Celakanya lagi, ketiga, kesaksian-kesaksian para saksi dari pihak tergugat, meski telah disumpah, adalah menyalahi tempus.

Kejadian faktualnya pada 1 November, tetapi para saksi tergugat mengatakan 3 November, bahkan ada saksi yang mengatakan 6 November 2021. Apakah kesaksian palsu di pengadilan dapat diabaikan begitu saja oleh para hakim? Ada apa?

Begitulah peradilan berlangsung. Majelis melakukan manuver dengan melompati fakta-fakta untuk tiba pada keputusan yang dianggapnya berkeadilan. Majelis telah mendefinisikan apa itu negara hukum, sebagaimana yang tercantum di dalam konstitusi UUD 1945 NRI.

Hal mana majelis mengabaikan kesaksian dan bukti dari pihak penggugat; sementara bukti dan kesaksian dari pihak tergugat ada yang bodong dan belum dibuktikan, serta kesaksian palsu.

Kalaulah, kesaksian dan bukti yang diajukan salah satu pihak tidak dipertimbangkan secara positif, maka lebih tepat bila majelis hakim memutuskan bahwa peradilan itu batal demi hukum.

Apakah majelis hakim yang mulia itu sudah mempertimbangan apa dampak hukum –baik dalam hal rasa keadilan, maupun negara hukum—bahkan kemaslahatan dan kemudharatan—dari keputusan kolektifnya itu?

Apakah majelis menganggap keputusannya itu sudah memenuhi tujuan dan nilai-nilai dasar? Mungkinkah, sebaliknya, apalagi untuk mengatakan memenuhi unsur sosiologis.

Bahkan, secara sosiologis keputusan majelis hakim itu dapat dianggap justru memberi payung hukum untuk menjalankan aksi pemaksaan dengan brutal, sehingga kekerasan bisa berkelanjutan terhadap setiap warga negara di Republik ini.

Memanglah, keadilan dan kesetimpalan itu hanya milik Mu semata, ya Rabb!*

*Penulis adalah sosiolog, dan Alumni Lemhanas PPSA-XX.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda