DIALEKSIS.COM | Kolom - Banjir besar yang melanda Aceh pada akhir November 2025 tidak hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur dan terganggunya aktivitas sosial masyarakat, tetapi juga memperlihatkan adanya kerentanan sosial yang selama ini kerap luput dari perhatian.
Dalam situasi bencana, dampak yang dirasakan masyarakat tidaklah seragam dan tidak dapat disamaratakan. Perbedaan peran sosial, kondisi biologis, serta akses terhadap sumber daya membuat pengalaman kelompok tertentu, khususnya perempuan dan anak-anak, menjadi lebih berat dibandingkan kelompok lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana tidak pernah sepenuhnya netral, melainkan selalu berkaitan erat dengan struktur sosial yang telah ada sebelum bencana terjadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan memiliki peran yang sangat dekat dengan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, seperti pengelolaan air, pangan, sanitasi, serta pengasuhan anak. Kedekatan ini membuat perempuan berada pada posisi yang lebih rentan ketika bencana terjadi.
Saat banjir melanda, akses terhadap air bersih, sanitasi yang layak, dan bahan pangan menjadi terbatas. Di sisi lain, tanggung jawab sosial yang dilekatkan kepada perempuan justru meningkat. Dalam kondisi darurat, perempuan tetap diharapkan untuk mengurus anak, menjaga kesehatan anggota keluarga, serta memastikan kebutuhan rumah tangga terpenuhi, meskipun mereka sendiri berada dalam situasi yang penuh keterbatasan, tekanan, dan ketidakpastian.
Perspektif gender dalam kebencanaan membantu kita memahami bahwa kerentanan perempuan bukan hanya sekedar disebabkan oleh bencana alam itu sendiri, tetapi juga oleh kebijakan dan sistem penanggulangan bencana yang belum sepenuhnya mempertimbangkan perbedaan kebutuhan dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan. Hingga saat ini, banyak kebijakan kebencanaan masih menggunakan pendekatan netral gender, yaitu pendekatan yang menganggap seluruh korban bencana memiliki kebutuhan yang sama. Pendekatan semacam ini kerap dianggap objektif dan efisien, namun dalam praktiknya justru berpotensi mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan dan anak-anak.
Kebijakan kebencanaan yang belum berperspektif gender dapat terlihat dari bagaimana bantuan dan fasilitas disediakan di lokasi terdampak bencana. Bantuan sering kali difokuskan pada kebutuhan umum seperti makanan dan tempat tinggal sementara, sedangkan kebutuhan khusus perempuan tidak selalu mendapat perhatian yang memadai. Padahal, perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda, baik dari sisi biologis maupun sosial, yang memerlukan penanganan tersendiri agar mereka dapat bertahan dan pulih dengan lebih baik setelah bencana. Ketika kebutuhan ini tidak diakomodasi, perempuan harus menyesuaikan diri dengan kondisi yang tidak selalu aman dan layak bagi mereka.
Pengalaman pasca-banjir Aceh 2025 menunjukkan berbagai tantangan nyata yang dihadapi perempuan. Keterbatasan akses air bersih dan sanitasi yang layak masih menjadi persoalan utama di sejumlah lokasi pengungsian. Selain itu, layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan juga belum sepenuhnya tersedia secara menyeluruh. Di beberapa tempat, fasilitas pengungsian belum diupayakan secara khusus agar ramah bagi perempuan dan anak-anak. Posko pengungsian yang masih bercampur antara laki-laki dan perempuan menciptakan rasa tidak aman, terutama bagi perempuan dan anak-anak, serta meningkatkan kerentanan terhadap potensi kekerasan berbasis gender maupun pelecehan seksual.
Kebutuhan dasar perempuan seperti pembalut, popok anak, serta layanan kesehatan khusus perempuan sering kali belum menjadi prioritas utama dalam distribusi bantuan. Situasi ini memperlihatkan bahwa penanganan bencana masih cenderung berfokus pada aspek fisik dan logistik, sementara kebutuhan sosial yang lebih spesifik belum sepenuhnya terakomodasi. Akibatnya, perempuan harus beradaptasi dengan keterbatasan yang ada, meskipun kondisi tersebut berpotensi berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kerentanan perempuan menjadi semakin berlapis, bahkan dapat dipahami sebagai beban ganda, terutama bagi mereka yang sedang menstruasi, hamil, menyusui, melahirkan, dan berada dalam masa post partum. Kondisi-kondisi biologis ini menuntut penanganan khusus yang tidak dapat disamaratakan dengan kelompok korban lainnya. Dalam situasi bencana, perempuan pada fase-fase tersebut membutuhkan akses terhadap layanan kesehatan, sanitasi yang layak, serta lingkungan yang aman dan mendukung. Namun, dalam praktik penanganan bencana, kebutuhan ini masih sering terabaikan atau belum dianggap sebagai prioritas utama.
Selain persoalan fasilitas dan layanan, perempuan dalam situasi bencana juga kerap mengalami keterbatasan akses terhadap informasi dan ruang pengambilan keputusan. Minimnya pelibatan perempuan dalam perencanaan mitigasi dan penanganan bencana menyebabkan pengalaman serta pengetahuan lokal yang mereka miliki kurang diakomodasi dalam kebijakan. Padahal, perempuan memiliki pemahaman yang kuat tentang lingkungan tempat tinggal, sumber air, serta strategi bertahan hidup keluarga yang sangat relevan dalam konteks kebencanaan dan pemulihan pasca-bencana.
Ketika suara perempuan tidak dilibatkan secara bermakna, kebijakan kebencanaan cenderung bersifat teknis dan kurang menyentuh realitas sosial di lapangan. Kebijakan yang dihasilkan mungkin terlihat efektif dari sisi prosedural, namun belum tentu mampu menjawab kebutuhan nyata kelompok rentan. Oleh karena itu, pelibatan perempuan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan kebencanaan menjadi penting agar kebijakan yang dibuat lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat terdampak.
Pendekatan responsif gender dalam penanggulangan bencana menjadi salah satu upaya untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Pendekatan ini menekankan bahwa kebijakan kebencanaan tidak hanya berfokus pada penyelamatan fisik dan pemulihan infrastruktur, tetapi juga perlu memperhatikan pengalaman, kebutuhan, dan peran sosial perempuan. Dengan pendekatan ini, penanganan bencana diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih adil bagi seluruh kelompok masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, serta mendorong pemulihan yang lebih menyeluruh.
Hingga hampir satu bulan pasca-bencana banjir Aceh 2025, upaya penanganan yang sensitif gender masih belum terlihat terintegrasi secara menyeluruh dalam sistem penanggulangan bencana. Beberapa inisiatif berbasis komunitas dan kemanusiaan memang sudah muncul untuk membantu kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak-anak. Namun, pendekatan responsif gender tersebut masih bersifat terbatas dan belum sepenuhnya menjadi bagian utama dari kebijakan dan praktik penanganan bencana secara keseluruhan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa respons terhadap bencana masih cenderung bersifat umum dan belum secara sistematis menjawab kebutuhan spesifik perempuan dan anak-anak. Padahal, pengalaman bencana menunjukkan bahwa kelompok-kelompok inilah yang sering kali membutuhkan perhatian lebih dalam proses penanganan dan pemulihan pasca-bencana.
Banjir Aceh 2025 menjadi pengingat penting bahwa penanganan bencana perlu dilakukan dengan memperhatikan perspektif gender. Tanpa kebijakan yang responsif gender, perempuan akan terus berada dalam posisi rentan ketika bencana terjadi. Padahal, peran dan pengetahuan perempuan sangat penting dalam membangun ketahanan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, integrasi perspektif gender dalam kebijakan kebencanaan bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar penanganan bencana di Aceh dapat berjalan lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. [**]
Penulis: Maisarah (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh)