Sabtu, 12 Juli 2025
Beranda / Kolom / Wakil Rakyat Bukan Centeng Kekuasaan

Wakil Rakyat Bukan Centeng Kekuasaan

Sabtu, 12 Juli 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Yulindawati

Yulindawati, Aktivis Perempuan Aceh. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Kolom - Dalam sistem demokrasi modern, keberadaan lembaga legislatif adalah tiang utama dalam arsitektur pemerintahan yang sehat. Montesquieu, dalam teorinya tentang trias politica, menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan untuk mencegah dominasi satu institusi atas yang lain. 

Namun, realitas politik hari ini, terutama di tingkat lokal, justru menunjukkan arah sebaliknya. Wakil rakyat, yang semestinya menjadi pengawas jalannya kekuasaan, kini tampak lebih sering bertindak sebagai penjaga gerbang bagi agenda eksekutif.

Ketika parlemen berubah menjadi pagar betis kekuasaan, maka prinsip check and balance hanya tinggal jargon dalam dokumen konstitusi. Fungsi kontrol yang mestinya melekat pada parlemen menjadi tumpul oleh kompromi, kepentingan pribadi, dan pragmatisme politik. Apa jadinya demokrasi ketika lembaga legislatif tidak lagi menjadi corong aspirasi rakyat, melainkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan?

Parlemen sejatinya bukan lembaga pengawalan, tapi lembaga pengawasan. Pengawalan tanpa evaluasi hanya menghasilkan pembenaran kebijakan yang tak pernah ditinjau kembali. Inilah yang disebut oleh ilmuwan politik seperti Guillermo O'Donnell sebagai delegative democracy di mana pemimpin dipilih secara demokratis, namun menjalankan kekuasaan secara otoriter karena lemahnya kontrol institusional.

Legislator bukanlah makelar anggaran yang berburu proyek atau aktor politik yang memelihara patronase dengan elit birokrasi. Mereka adalah representasi publik yang diberi mandat untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan anggaran negara berpihak pada kepentingan rakyat, bukan segelintir elite. 

Namun yang kita saksikan hari ini justru sebaliknya: pengawasan dikompromikan demi "hubungan baik" dengan eksekutif, kritik dibungkam atas nama stabilitas, dan fungsi kontrol dikorbankan demi kenyamanan politik.

Kondisi ini menggambarkan apa yang disebut oleh Fareed Zakaria sebagai illiberal democracy demokrasi yang berjalan dalam prosedur formal tetapi kehilangan esensi substantifnya, seperti akuntabilitas, transparansi, dan integritas moral.

Yang lebih mencemaskan, adalah kecenderungan legislatif untuk memusuhi penegak hukum ketika terjadi sorotan terhadap proyek-proyek pemerintah. Aparat penegak hukum dituduh menghambat pembangunan atau bahkan mengganggu stabilitas politik. Ini menunjukkan kegamangan identitas legislatif sehingga memunculkan pertanyaan kritisnya apakah mereka adalah pelayan publik atau pelindung kekuasaan?

Mengapa harus takut jika tak ada yang disembunyikan? Bukankah dalam negara hukum, setiap bentuk pengawasan adalah upaya memperbaiki sistem, bukan mengacaukannya?

Langkah-langkah penegakan hukum baik yang dilakukan oleh KPK, kejaksaan, atau kepolisian semestinya dipandang sebagai bentuk koreksi institusional yang dibutuhkan oleh demokrasi yang sehat. Justru tanpa pengawasan dan keberanian membuka ruang akuntabilitas, maka marwah pemerintahan akan terus terdegradasi oleh praktik koruptif yang sistemik.

Seorang legislator sejati adalah mereka yang berdiri tegak di sisi hukum dan akal sehat publik, bukan menciptakan narasi defensif seperti “kriminalisasi” atau “intervensi” setiap kali proyek atau kebijakan dipersoalkan. Demokrasi lokal kehilangan rohnya jika lembaga publik lebih mementingkan citra politik ketimbang moralitas kekuasaan.

Saat koordinasi antar-lembaga dijadikan alat tawar-menawar untuk melanggengkan dominasi politik, kita sedang menyaksikan arogansi kekuasaan dalam bentuknya yang paling telanjang. Lembaga - lembaga publik dijalankan bukan atas dasar regulasi dan etika, tapi atas kepentingan kelompok yang ingin mempertahankan status quo.

Dalam situasi seperti ini, wajar bila publik mulai kehilangan kepercayaan. Di sinilah relevansi teori social contract dari Rousseau menjadi penting karena kekuasaan berasal dari rakyat, dan ketika kekuasaan tidak lagi digunakan untuk kemaslahatan rakyat, maka legitimasi moral pemerintahan menjadi gugur.

Wakil rakyat bukan centeng kekuasaan. Mereka bukan juru bicara elite birokrasi, bukan pemadam kebakaran untuk skandal politik, apalagi negosiator proyek. Mereka adalah penjaga demokrasi, pengawal keadilan, dan perisai bagi rakyat dari kesewenang - wenangan kekuasaan.

Jika kompas moral ini ditinggalkan, maka yang tersisa hanyalah rutinitas kosong: pemilu lima tahun sekali yang hanya menghasilkan formalitas demokrasi tanpa substansi. Demokrasi kemudian hanya menjadi panggung kosmetik untuk pertunjukan kekuasaan.

Yang dipertaruhkan bukan sekadar proyek atau anggaran, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri. Sudah saatnya kita menagih kembali peran legislatif agar kembali ke relnya menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan pelindungnya.

Penulis: Yulindawati, Aktivis Perempuan Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI