DIALEKSIS.COM | Jakarta - Azhari Idris, putra Aceh yang kini menjabat sebagai Kepala Perwakilan SKK Migas Wilayah Kalimantan-Sulawesi, memandang industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia belum berada pada fase “sunset industry”, sebagaimana banyak diprediksi. Justru, menurutnya, sektor ini kembali bersinar dan masih menjadi tulang punggung energi nasional.
“Banyak yang dulu mengatakan industri migas ini akan habis. Tapi nyatanya, saat ini justru menjadi sunrise industry. Banyak sekali temuan baru dan prospek besar di wilayah Kalimantan dan Sulawesi,” ujar Azhari dalam sesi wawancara bersama media tribunkaltim dilansir media dialeksis.com, Selasa (21/10/2025).
Azhari Idris bukan sosok baru di dunia energi. Sebelum dipercaya memimpin wilayah strategis Kalimantan-Sulawesi, ia pernah menjabat sebagai Spesialis Madya Dukungan Bisnis SKK Migas dan juga pimpinan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pengelolaan migas di Aceh.
Pengalaman panjangnya di Aceh, tempat lahirnya semangat kemandirian daerah dalam pengelolaan sumber daya alam, menjadi bekal berharga saat ia memimpin di daerah dengan potensi produksi migas yang jauh lebih besar.
“Dulu saya sempat di-BKO-kan ke Aceh untuk membangun BPMA. Ini bukan sekadar pengalaman ‘cang panah’. Yang mahal itu adalah pengalaman lapangan. Kini saya belajar dari wilayah yang punya lifting migas jauh lebih tinggi dibanding Aceh,” ungkapnya.
Wilayah kerja yang dipimpin Azhari mencakup sebagian besar ladang migas terbesar Indonesia. Berdasarkan data SKK Migas, sekitar 29-30 persen produksi gas nasional dan 12 persen produksi minyak nasional berasal dari Kalimantan-Sulawesi.
“Artinya, hampir 42 persen energi migas nasional bersumber dari wilayah ini. Ini kontribusi yang sangat besar untuk kepentingan energi nasional dan juga bagi pendapatan negara serta daerah penghasil,” jelasnya.
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, menurut Azhari, tetap menjadi motor utama produksi migas Indonesia. Saat ini terdapat sekitar 186 sumur pengembangan aktif, baik yang baru maupun lama, yang terus dilakukan optimalisasi dan eksplorasi.
“Sumur-sumur lama tidak kita tinggalkan. Kita lakukan work over dan well service untuk mencari cadangan yang masih tersisa. Sementara eksplorasi baru juga terus berjalan, baik di Mahakam, lepas pantai Makassar, hingga Tarakan,” papar Azhari.
Salah satu kabar baik datang dari penemuan besar di Selat Makassar, yang menurut Azhari akan memperpanjang umur industri LNG di Bontang, Kalimantan Timur. Temuan itu diperkirakan memiliki cadangan hingga 6,5 triliun cubic feet (TCF).
“Cadangan besar ini diharapkan bisa memperpanjang usia produksi PT Badak LNG di Bontang. Dulu sempat kita khawatir pabrik LNG itu akan berhenti karena kehabisan pasokan gas. Tapi sekarang, Alhamdulillah, ada harapan baru,” ujarnya optimistis.
Selain itu, proyek-proyek strategis nasional seperti pengembangan lapangan Gang North, Konta, dan Geliga juga sedang berlangsung. SKK Migas memproyeksikan gas dari proyek-proyek tersebut dapat mulai berproduksi pada tahun 2028, bertepatan dengan target nasional peningkatan kapasitas LNG dan pasokan energi domestik.
“Kalau masih ada nelayan yang setiap pagi berangkat ke laut, artinya mereka yakin akan pulang membawa ikan. Begitu juga dengan kami. Selama para geolog masih mengebor, berarti kami masih yakin ada migas yang bisa kita angkat,” ujar Azhari menganalogikan.
Azhari menegaskan bahwa manfaat industri migas tidak berhenti pada Dana Bagi Hasil (DBH) saja. Melainkan juga mencakup multiplier effect yang besar bagi daerah, baik melalui lapangan kerja, kemitraan bisnis, maupun partisipasi BUMD.
“Selain DBH, daerah penghasil migas juga mendapat manfaat langsung melalui Partisipating Interest (PI) sebesar 10 persen yang diberikan kepada BUMD,” jelasnya.
Ia mencontohkan, BUMD MMP milik Pemprov Kalimantan Timur kini telah memiliki saham di Pertamina Hulu Mahakam, dan BUMD Kalimantan Utara juga telah resmi mendapatkan PI di Hulu Sanga-Sanga.
“Kalau produksi bagus, otomatis BUMD juga untung. Jadi bukan hanya daerah yang mendapatkan DBH, tapi juga hasil langsung dari saham dan kerja sama bisnis. Ini bentuk pemerataan manfaat migas,” ujarnya.
Saat ini, lebih dari 17 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) beroperasi di wilayah Kalimantan-Sulawesi, termasuk Pertamina Hulu Mahakam, ENI, Medco, JOB Simenggadis, Armada Akia, dan lainnya. Mereka tidak hanya berfokus pada produksi, tetapi juga membuka peluang bagi ratusan perusahaan lokal untuk menjadi bagian dari rantai pasok migas nasional.
Meski kini bertugas jauh dari tanah kelahiran, Azhari tak menutup mata terhadap potensi Aceh. Ia menilai pengalaman pengelolaan migas di Kalimantan-Sulawesi bisa menjadi pelajaran penting bagi daerah lain, termasuk Aceh, dalam mengembangkan sumber daya alam secara berkelanjutan dan profesional.
“Aceh punya potensi besar, tapi butuh keberanian, kapasitas teknis, dan dukungan ekosistem industri. Saya belajar dari Kalimantan-Sulawesi bahwa yang mahal bukan cadangannya, tapi bagaimana kita menjaga keberlanjutan, kolaborasi, dan kemampuan eksplorasi,” pungkasnya. [nh]