Beranda / Berita / Nasional / Cerita Sukarno, Tan Malaka, Musso Ngekos

Cerita Sukarno, Tan Malaka, Musso Ngekos

Minggu, 06 Juni 2021 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Sumber : cnnindonesia.com

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Riwayat Sukarno sebagai tokoh politik tak lepas dari pengalamannya tinggal bersama petinggi Sarekat Islam, H.O.S Cokroaminoto. Jiwa nasionalismenya mulai terpupuk di sana.

Dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang dikarang Cindy Adams, Sukarno menceritakan dirinya kos di rumah Cokroaminoto saat masih sekolah di Hogere Burger School (HBS) Surabaya.

Kala itu, Cokroaminoto merupakan tokoh yang sangat disegani. Setiap hari selalu ada tamu penting yang datang dan membicarakan banyak hal tentang masa depan Indonesia. Sukarno tak jarang ikut bergabung dalam pertemuan.

Tokoh yang tinggal dan sering datang ke rumah Cokroaminoto antara lain Tan Malaka, Kartosoewirjo, Musso, Semaun, Alimin dan seterusnya. Di kemudian hari, mereka menjadi sosok yang memegang teguh pandangannya masing-masing dalam memajukan masyarakat Indonesia.

Kamar Kumuh

Rumah Cokroaminoto berada di sebuah perkampungan padat di Peneleh Gang 7. Sukarno menyebut rumah Cokroaminoto jelek dan dibagi menjadi 10 kamar-kamar berukuran kecil, termasuk loteng.

Sukarno diberi kamar dengan kondisi yang mengenaskan. Di kamar itu, hanya terdapat sebuah meja reot dan kursi, gantungan baju, dan selembar tikar pandan.

Meskipun rumah Cokro telah dialiri listrik, kamar Sukarno tetap saja gelap. Sebab, ia tak mampu untuk sekadar membeli bohlam. Jika belajar hingga larut malam, Sukarno menggunakan pelita. Dia pun tidak mampu membeli kelambu agar terhindar dari nyamuk.

"Kamar itu kecil seperti kandang ayam. Tidak ada udara segar dan menjadi sarang serangga," kata Sukarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Kamar yang buruk itu Sukarno sewa seharga Rp11 berikut uang makannya. Keuangan Sukarno sangat pas-pasan karena hanya diberi Rp12,5 setiap bulan dari ayahnya.

Berkat berhemat dan menabung, Sukarno mampu memenuhi kehidupan sehari-hari. Dia juga mendapat uang saku lebih ketika ayahnya pindah kerja ke Blitar.

Belajar di Rumah Cokro

Cokroaminoto bukan hanya seorang pria pemilik kos, melainkan tokoh penting pergerakan nasional kala itu. Dia memimpin organisasi Sarekat Islam yang memiliki 2,5 juta anggota.

Saat Sukarno tinggal di rumahnya, Cokro baru berusia 33 tahun. Menurut Sukarno, Cokro merupakan tokoh yang memiliki daya cipta, cita-cita tinggi, dan mencintai tanah airnya. Ia mengidolakan Cokro.

"Pak Cokro mengajariku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang dia ketahui atau pun tentang akan menjadi apa aku di masa depan," kata Sukarno.


Sumber : cnnindonesia.com

Sukarno muda digembleng oleh Cokro. Banyak wawasan yang dia peroleh. Termasuk juga tokoh-tokoh pemikir besar mancanegara, misalnya JJ Rousseau, Karl Marx, Cavour, dan seterusnya.

Selain mendapat buku-buku dari Cokro, Sukarno juga mendapat kesempatan menyimak percakapan Cokro dengan tamu-tamunya. Setiap hari, tokoh-tokoh partai atau pemimpin cabang berkunjung ke rumah itu. Bahkan, kadang mereka menginap selama beberapa hari.

Ketika anak yang lain menonton pertandingan bola, Sukarno muda memilih duduk di dekat kaki mereka dan mendengarkan diskusi.

"Kadang-kadang aku berbagi tempat tidur dengan salah seorang pemimpin itu dan berbicara dengan mereka hingga waktu fajar," kata Sukarno.

"Kadang-kadang aku berbagi tempat tidur dengan salah seorang pemimpin itu dan berbicara dengan mereka hingga waktu fajar," kata Sukarno.

Bagi Sukarno, Cokro bukan saja idola, melainkan guru pidato. Ia selalu mengikuti sosok itu ke mana-mana. Sukarno tidak membaca buku panduan pidato dan tidak pula berlatih di depan cermin. Namun demikian, secara diam-diam ia mengamati bagaimana Cokro berpidato.

Ia mengamati bagaimana Cokro menjatuhkan suara dan menggerakkan tubuhnya saat berpidato. Pengamatan ini lantas Sukarno praktikkan.

"Cerminku adalah Cokroaminoto," kata Sukarno

Pengalaman pertama Sukarno berpidato terjadi saat Cokro tidak bisa menghadiri suatu undangan rapat. Sukarno kemudian datang menggantikan Cokro.

Dalam forum itu, ia berhasil menarik perhatian hadirin dan membuat mereka terus memperhatikannya. Mereka terpesona dengan cara Sukarno berpidato. Mereka juga menganggap pidato Sukarno mudah dipahami.

"Suatu getaran mengalir ke seluruh tubuhku begitu aku tahu bahwa aku memiliki suatu kekuatan yang dapat menggerakkan massa," kata Sukarno.

Suatu hari, Cokroaminoto pernah berpesan kepada orang-orang terdekatnya. Setelah melakukan meditasi, pada satu malam yang diguyur hujan, Cokro menyampaikan pesan dengan serius.

"Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinya tempat berteduh di rumahku," pesan Cokro

Usai lulus dari HBS di Surabaya, Sukarno melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selain studi, Sukarno juga aktif berorganisasi dan menulis. Keberaniannya menyampaikan kritik kepada pemerintah kolonial membuat Sukarno semakin dikenal tokoh muda pergerakan.

(iam/bmw)

Sumber : cnnindonesia.com

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda