Minggu, 17 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / Dua Dekade Damai Aceh di Mata Aktivis Papua

Dua Dekade Damai Aceh di Mata Aktivis Papua

Sabtu, 16 Agustus 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Rudi Kogoya, aktivis Asia Justice Human Rights (AJAR) yang berasal dari Papua. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua dekade sudah Aceh meninggalkan masa kelam konflik bersenjata ditandai sejak penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang merupakan titik awal perdamaian di Aceh.

Rudi Kogoya, aktivis Asia Justice Human Rights (AJAR) yang berasal dari Papua memberikan pandangan terhadap damai di Aceh. Menurutnya, damai sejati belum sepenuhnya mengakar, terutama dari perspektif korban.

“Kalau yang saya lihat secara sepintas, mungkin sejak ini karena saya pertama kali ke sini, memang sudah kelihatan damai secara fisik. Saya lihat sudah tidak ada lagi pos-pos militer seperti dulu,” ujar Rudi dalam perbincangan dengan media dialeksis.com di pelataran Kantor KontraS Aceh, Jumat (15/8/2025).

Ia mengenang cerita masa lalu, ketika di Aceh jarak 100 meter sudah ada pos militer. Kini, situasinya berbeda. Namun, kata Rudi, luka masa lalu belum sepenuhnya sembuh.

“Korban-korban, terutama korban kekerasan langsung, yang dilakukan di lapangan itu, hak-haknya belum dipenuhi. Keadilan belum tuntas. Kalau dari perspektif korban, saya bilang baru 50 persen. Masih banyak hal yang harus dilakukan,” ujarnya.

Menurut Rudi, keberlanjutan perdamaian Aceh tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Ia menilai pemuda Aceh harus menjadi motor yang mendorong penyelesaian masalah yang tersisa.

“Yang paling penting, pelajari sejarah. Siapa kita, budaya kita apa, dan bagaimana kekerasan itu terjadi. Sejarah itu seperti fondasi. Kalau fondasinya kuat, perubahan itu gampang. Kalau tidak ada dasar, susah untuk bergerak,” tegasnya.

Sebagai aktivis yang bekerja mendokumentasikan kekerasan struktural terhadap perempuan adat Papua, Rudi melihat kemiripan latar sejarah antara Aceh dan Papua.

“Dari perspektif orang Papua, kita sama-sama dijajah Indonesia. Wajah pertama Indonesia di Papua adalah militer dan kekerasan. Saya rasa di Aceh juga begitu,” katanya.

Aceh, ujarnya, adalah bangsa yang melawan. “Saya baca sejarah Aceh, melawan penjajahan berkali-kali. Di Papua juga sama, mulai dari gerakan kebudayaan Koreri untuk melawan pengaruh luar, baik kolonialisme, imperialisme, maupun misionaris yang merusak fondasi kehidupan kami dengan alam.” ucapnya.

Bagi Rudi, solidaritas antarwilayah menjadi kunci memperjuangkan keadilan. “Generasi muda Aceh bisa bersama Papua, begitu juga sebaliknya. Mau melanjutkan perdamaian atau menentukan masa depan, itu hak rakyat Aceh sendiri. Kami hanya mendukung keputusan rakyat Aceh, sama seperti kami berharap Aceh mendukung aspirasi rakyat Papua,” ungkapnya.

Berbicara soal kondisi Papua, Rudi menjelaskan bahwa operasi militer masih berlangsung hingga kini. “Bedanya, kalau di Aceh dulu ada status darurat militer, di Papua tidak ada. Tapi operasi militer jalan terus. Pasukan masuk ke kampung-kampung, bahkan menguasai ruang-ruang sipil seperti rumah sakit dan sekolah,” katanya.

Menurutnya, Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) bukan semata soal perlawanan bersenjata, melainkan mempertahankan tanah adat.

"Meskipun hanya dengan panah, mereka mempertahankan tanahnya dengan segenap hati,” ujar Rudi.

Meski Papua sudah mendapatkan Otonomi Khusus sejak 2003, Rudi menegaskan bahwa mayoritas rakyat Papua menolak skema tersebut.

“Kami tidak percaya Indonesia punya niat baik membangun Papua. Otsus jilid pertama kami tolak, jilid kedua juga kami tolak, tapi tetap dipaksakan,” katanya.

Lebih jauh, Rudi mengungkapkan adanya kebijakan dan pandangan rasis terhadap orang Papua yang semakin memperkuat ketidakpercayaan.

“Kebijakan rasis itu membuat kami yakin Indonesia tidak akan memajukan orang Papua,” tegasnya.

Bagi Rudi, peringatan 20 tahun damai Aceh bukan sekadar nostalgia. Ia berharap Aceh bisa menjadi contoh perjuangan yang tak hanya mengakhiri konflik secara fisik, tetapi juga menuntaskan keadilan bagi korban.

“Damai sejati bukan hanya ketika senjata diletakkan, tapi ketika hati korban disembuhkan dan hak-haknya dipenuhi,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI