DIALEKSIS.COM | Denpasar - Perayaan Idul Adha di Bali tak hanya menjadi momentum religius bagi umat Islam, tetapi juga mencerminkan wajah toleransi dan harmoni antarpemeluk agama di Pulau Dewata. Tradisi berbagi daging kurban kepada warga nonmuslim, yang dikenal dengan istilah ngejot, kembali berlangsung hangat di berbagai wilayah seperti Denpasar, Badung, dan Tabanan.
Di Jalan Padang Griya II, Desa Padangsambian, Denpasar, suasana Idul Adha terasa semarak sejak pagi. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Bali menyembelih belasan ekor sapi dan puluhan kambing di halaman kantor mereka. Menjelang siang, daging kurban mulai dibagikan kepada warga sekitar, termasuk yang beragama Hindu.
Salah satunya adalah I Gusti Ayu Anjani. Mengenakan busana adat Bali, perempuan 48 tahun itu tampak sumringah menerima besek berisi daging kurban dari pengurus LDII.
“Selamat Hari Raya Idul Adha, mohon maaf lahir batin,” sapa Anjani sembari tersenyum, Jumat (6/6/2025). Meski sebagai umat Hindu ia tidak mengonsumsi daging sapi, Anjani tak pernah absen menerima daging kurban setiap tahun. Daging itu kemudian ia bagikan kepada para penghuni kos Muslim yang tinggal di sekitar rumahnya.
“Saya nggak makan sapi, jadi biasanya saya kasih ke anak-anak kos. Mereka semua Muslim,” ujarnya.
Anjani menganggap kegiatan berbagi ini sebagai bagian dari ngejot, tradisi khas Bali yang berarti saling memberi, terutama dalam momen hari raya. Tak hanya umat Islam, tradisi ini juga dijalankan oleh masyarakat Hindu saat Galungan dan Kuningan, di mana mereka membagikan buah atau makanan kepada tetangga lintas agama.
“Istilahnya, kami berbeda agama, tapi tetap saling menghormati,” ujar Anjani. “Saya juga suka ngejot buah yang belum dihaturkan, disusun seperti parsel untuk dibagikan.”
Hal serupa dirasakan Anak Agung Ngurah Suwarta, warga Hindu lainnya di kawasan yang sama. Pria 55 tahun itu menyambut bahagia pembagian daging kurban, terlebih jika mendapat daging kambing”jenis daging yang lebih disukainya dibanding sapi atau babi.
“Warga Muslim di sini sudah tahu saya nggak makan sapi, jadi biasanya saya dapat kambing atau ayam,” kata Suwarta. Ia sudah lama berhenti mengonsumsi daging babi karena alasan kesehatan.
Pagi itu, pengurus LDII Bali menyembelih 14 sapi dan 32 kambing. Daging kurban dibagikan kepada warga sekitar secara merata, tak memandang agama. Mereka yang menerima terlihat mengantre tertib, termasuk dari wilayah lain di Denpasar.
Ketua LDII Bali, Olih Solihat Karso, menegaskan bahwa berkurban merupakan kewajiban umat Islam. Namun, di Bali, kewajiban tersebut dilaksanakan selaras dengan budaya lokal yang menjunjung tinggi semangat berbagi.
“Berkurban itu ibadah bagi kami, tapi kami juga ingin menjaga nilai-nilai lokal. Tradisi ngejot ini memperkuat persaudaraan,” tutur Solihat.
Tak hanya di Denpasar, tradisi ngejot juga dijalankan warga Muslim di Kampung Angantiga, Kecamatan Petang, Badung. Kampung yang telah dihuni komunitas Muslim suku Bugis sejak 400 tahun lalu itu berada di tengah Desa Adat Angantiga, wilayah mayoritas Hindu. Meski berbeda agama, kedekatan antarkomunitas tetap terjaga.
Pada Jumat (6/6/2025), warga Angantiga menyembelih 24 kambing dan empat sapi. Sebagian daging kurban dibagikan kepada prajuru (pengurus adat), pemangku, pecalang, serta aparat desa setempat.
“Kami ngejot karena ini adalah tradisi leluhur yang harus diteruskan,” ujar Kepala Kampung Angantiga, M. Ramsudin. “Tujuannya untuk mempererat persaudaraan, agar keharmonisan tetap terjaga.”
Menurut Ramsudin, seluruh bagian daging kurban dibagikan kepada yang berhak dan tidak boleh diperjualbelikan. Pemotongan hewan kurban juga dilakukan dengan mengikutsertakan para sohibul qurban (pekurban), sesuai ajaran agama Islam.
Bendesa Adat Angantiga, I Nyoman Kamiana, mengapresiasi pelaksanaan ngejot oleh umat Muslim di desanya. Ia menegaskan bahwa tradisi ini adalah warisan turun-temurun yang telah menjadi jembatan kerukunan umat beragama di sana.
“Idul Adha, Galungan, atau hari raya lain, kami tetap berbagi. Semoga generasi berikutnya bisa melanjutkan,” ujar Kamiana.
Sementara itu, di Masjid Agung Al-Mujahidin Tabanan, tradisi ngejot juga tetap dilestarikan. Ketua Panitia Kurban, Muhammad Barlian, menyebut kegiatan berbagi kepada tetangga non - Muslim sebagai bentuk menjaga silaturahmi dan memperkuat toleransi.
“Kami tinggal berdampingan, sudah sepantasnya berbagi, terutama saat hari besar keagamaan seperti ini,” kata Barlian, Senin (2/6/2025).
Meski jumlah hewan kurban mengalami penurunan dari sembilan sapi tahun lalu menjadi tujuh ekor tahun ini semangat untuk berbagi tetap terjaga. Pemotongan hewan kurban dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Idul Adha, yakni pada 7 Juni 2025. Salat Id digelar di dua titik: Masjid Agung dan Lapangan Debes.
“Tempat di masjid tidak mencukupi, jadi kami siapkan dua lokasi. Selain itu, Idul Adha biasanya lebih banyak warga yang tinggal, tidak mudik seperti Idul Fitri,” tambahnya.
Tradisi ngejot yang dijalankan umat Islam di Bali bukan sekadar simbol kebaikan, melainkan juga pesan kuat bahwa keberagaman bukanlah sekat, melainkan jembatan yang mempersatukan. Di tengah perbedaan, masyarakat Bali tetap mengedepankan nilai saling memberi, menghormati, dan merawat harmoni lintas keyakinan nilai luhur yang kini kian langka di banyak tempat. [detik]